Mataram (ANTARA) - Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) menemukan indikasi keterlibatan pejabat dalam kasus penggelapan aset Pemerintah Kabupaten Lombok Barat berupa lahan pertanian seluas 6,79 hektare.
"Dari proses penanganan, penyidik menemukan unsur pidana korupsi yang melibatkan oknum ASN (aparatur sipil negara)," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan, di Mataram, Rabu, (3/11).
Dengan adanya indikasi demikian, Dedi memastikan penanganan dari kasus yang masuk dalam tahap penyidikan ini telah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peran tersangka dalam kasus ini akan segera terungkap.
Pada tahun 2017, aset yang berada di bawah pengelolaan Dinas Pertanian dan Perkebunan Lombok Barat tersebut muncul dengan status hak milik perorangan. Munculnya klaim kepemilikan itu berdasarkan adanya gugatan perdata.
Dari penelusuran laman resmi di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, gugatan perdata kepemilikan lahan ini diajukan pada 13 Februari 2018.
Penggugat berinisial GHK yang mengklaim lahan seluas 6,97 hektare tersebut sebagai warisan dari orangtuanya. Dia menggugat pengelola lahan berinisial IW.
Dalam gugatannya di Pengadilan Negeri Mataram, GHK meminta hakim untuk memerintahkan IW menyerahkan lahan tersebut. Namun majelis hakim dalam putusan perdata di tingkat pertama, menolak seluruh isi gugatan GHK.
Terkait hal itu, GHK kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB. Dalam upaya hukum lanjutannya, majelis hakim menerima pengajuan banding GHK dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram.
Dalam putusan bandingnya, majelis hakim menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah milik GHK yang diperoleh dari orangtuanya berinisial GGK, dan memerintahkan agar tergugat menyerahkan lahan tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat kepada GHK.
Namun dalam proses gugatan yang memenangkan pihak penggugat, pihak kejaksaan melihat ada yang kurang beres dan telah menindaklanjutinya dengan meminta BPN Lombok Barat untuk membekukan penerbitan surat hak milik (SHM).
Munculnya persoalan ini pun diduga akibat ulah pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya dan secara sadar telah memperjualbelikan lahan pemerintah tersebut dalam bentuk kaveling.
Terkait dengan kerugian negara dalam kasus ini, pihak kejaksaan telah menggandeng ahli audit. Namun dari hasil kajian sementara, nilai penjualan lahan dalam bentuk kaveling itu kini menjadi nominal kerugian negara. Taksiran nilai mencapai Rp6,97 miliar.
Baca juga: Gubernur NTB lepas atlet Peparnas ke Papua
Baca juga: NTB tempati peringkat ketiga daftar provinsi informatif
"Dari proses penanganan, penyidik menemukan unsur pidana korupsi yang melibatkan oknum ASN (aparatur sipil negara)," kata Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan, di Mataram, Rabu, (3/11).
Dengan adanya indikasi demikian, Dedi memastikan penanganan dari kasus yang masuk dalam tahap penyidikan ini telah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Peran tersangka dalam kasus ini akan segera terungkap.
Pada tahun 2017, aset yang berada di bawah pengelolaan Dinas Pertanian dan Perkebunan Lombok Barat tersebut muncul dengan status hak milik perorangan. Munculnya klaim kepemilikan itu berdasarkan adanya gugatan perdata.
Dari penelusuran laman resmi di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, gugatan perdata kepemilikan lahan ini diajukan pada 13 Februari 2018.
Penggugat berinisial GHK yang mengklaim lahan seluas 6,97 hektare tersebut sebagai warisan dari orangtuanya. Dia menggugat pengelola lahan berinisial IW.
Dalam gugatannya di Pengadilan Negeri Mataram, GHK meminta hakim untuk memerintahkan IW menyerahkan lahan tersebut. Namun majelis hakim dalam putusan perdata di tingkat pertama, menolak seluruh isi gugatan GHK.
Terkait hal itu, GHK kembali mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi NTB. Dalam upaya hukum lanjutannya, majelis hakim menerima pengajuan banding GHK dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram.
Dalam putusan bandingnya, majelis hakim menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah milik GHK yang diperoleh dari orangtuanya berinisial GGK, dan memerintahkan agar tergugat menyerahkan lahan tersebut dalam keadaan kosong dan tanpa syarat kepada GHK.
Namun dalam proses gugatan yang memenangkan pihak penggugat, pihak kejaksaan melihat ada yang kurang beres dan telah menindaklanjutinya dengan meminta BPN Lombok Barat untuk membekukan penerbitan surat hak milik (SHM).
Munculnya persoalan ini pun diduga akibat ulah pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya dan secara sadar telah memperjualbelikan lahan pemerintah tersebut dalam bentuk kaveling.
Terkait dengan kerugian negara dalam kasus ini, pihak kejaksaan telah menggandeng ahli audit. Namun dari hasil kajian sementara, nilai penjualan lahan dalam bentuk kaveling itu kini menjadi nominal kerugian negara. Taksiran nilai mencapai Rp6,97 miliar.
Baca juga: Gubernur NTB lepas atlet Peparnas ke Papua
Baca juga: NTB tempati peringkat ketiga daftar provinsi informatif