Kupang (AntaraNews NTT) - Ketika menyampaikan pidatonya di hadapan pimpinan dan anggota MPR, DPR dan DPD di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2013, Presiden RRC Xi Jinping melukiskan hubungan diplomatik Indonesia-China, ibarat nyanyian Bengawan Solo.
Selama ribuan tahun lamanya, hubungan China dan Indonesia telah mengalami perjalanan yang penuh liku, seperti lirik lagu Bengawan Solo, karya Gesang. "Mata airmu dari Solo, terkurung Gunung Seribu. Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut..."
Itulah perkembangan hubungan Indonesia-China yang dianalogikan oleh Presiden Xi Jinping dalam pidatonya dihadapan parlemen Indonesia pada saat itu.
Sebab, pada zaman dahulu, dinasti Han dan kerajaan-kerajaan yang ada di kepulauan Nusantara telah mampu menyingkirkan halangan laut dan membuka pintu gerbang untuk saling berinteraksi.
Berbagai kisah tentang pertukaran persahabatan kedua bangsa, masih banyak disebut orang hingga sekarang, seperti di China, misalnya, terdapat karya sastra klasik berjudul "Impian di Bilik Merah" yang berisi tentang harta kekayaan di Jawa.
Di Museum Nasional Indonesia, juga terdapat koleksi keramik China. "Semuanya ini menjadi bukti akan pertukaran persahabatan kedua masyarakat, sekaligus membuktikan bahwa kedua negara yang berjauhan jaraknya dapat menjadi sahabat yang karib," ujar Xi Jinping.
Dalam pandangan RRC, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling dini menjalin hubungan diplomatik dengan China. Pada tahun 1955, Indonesia dan China juga bersama-sama dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai model hubungan internasional yang baru.
Atas dasar itu, Presiden Xi Jinping optimistis bahwa dengan jumlah populasi penduduk kedua negara yang mencapai sekitar 1,6 miliar jiwa ini, menjadi sebuah kekuatan yang mahabesar dan menciptakan keajaiban baru dalam sejarah perkembangan umat manusia.
Gambaran tentang hubungan Indonesia-China yang dipaparkan oleh Presiden Xi Jinping tersebut mengisyaratkan adanya kedekatan persahabatan sejati di antara kedua negara, meski mengalami pasang dan surut serta perjalanan yang penuh liku seperti nyanyian Bengawan Solo.
Kondisi tersebut sempat dirasakan oleh 10 wartawan Indonesia asal Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur saat berkunjung ke Beijing, ibu kota RRC serta beberapa kota lainnya di China pada Mei 2015 atas undangan dari Konjen RRC di Denpasar, Bali.
Baca juga: NTT targetkan gaet 10 persen wisatawan China
Presiden Joko Widodo bersama Presiden RRC Xi Jinping (ANTARA Foto/Setpres)
Sekretaris Asosiasi Jurnalis China (saat itu) Zhang Yang dengan penuh senyum menyambut kedatangan delegasi wartawan Indonesia di pintu masuk gedung tempat berteduhnya para jurnalis itu.
Ketua Asosiasi Jurnalis China Fang Xinjian bersama sejumlah anggota asosiasi lainnya sudah menunggu delegasi wartawan Indonesia untuk membahas gagasan Presiden Joko Widodo dan Presiden RRC Xi Jinping tentang Tol Laut dan Jalur Sutra Laut dalam Satu Kawasan dan Satu Jalur (One Belt One Road).
Lewat semboyan One Belt One Road, China mau melakukan investasi besar-besaran di Indonesia untuk membangun infrastruktur wilayah serta sektor perhubungan laut guna mendukung sebuah kiat besar pembangunan bernama "Jalur Sutra Laut".
Jalur Sutra Laut yang digagas Presiden Xi Jinping itu dengan sebuah harapan besar agar negara-negara yang ada di kawasan tersebut, seperti Indonesia, segera membangun ekonominya untuk membebaskan rakyatnya dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.
Presiden Xi Jinping telah menunjukkan hal itu pada negaranya sendiri. China atau Tiongkok kini menjadi sebuah raksasa ekonomi dunia sehingga mengharapkan negara-negara yang berada di jalur Sutra Laut ikut merasakan denyut kemajuan ekonomi tersebut.
Para jurnalis China, tidak terlalu pesimistis dalam memandang hal tersebut karena Tiongkok memiliki niat yang besar untuk menanamkan investasinya di Indonesia lewat konsep Jalur Sutra Laut yang digagas Presiden Tiongkok Xi Jinping tersebut.
"Kami melihat hubungan Indonesia dan Tiongkok makin membaik dengan sikap saling mengunjungi antara Presiden Jinping dan Presiden Joko Widodo. Ini sebuah pertanda bahwa ke depan, hubungan kedua negara akan makin terus ditingkatkan pada hal-hal yang konkrit," ujar Fang Xinjian.
Para jurnalis China juga menyadari akan hal tersebut sehingga hubungan kerja sama antarmedia kedua negara menjadi sesuatu yang sangat menentukan sebagai langkah awal untuk mempererat tali persahabatan kedua negara.
"Kami akan terus berupaya membangun hubungan kerja sama dengan asosiasi jurnalis di Indonesia, seperti yang sudah kami lakukan dengan 60 organisasi atau asosiasi serupa di seluruh dunia. Karena bagaimana pun, media memiliki peran yang sangat strategis dalam mempererat kerja sama antarnegara," ujarnya.
Presiden Joko Widodo terlihat akrab dengan Presiden RRC Xi Jinping (ANTARA Foto/Setpres)
Bulan madu RI-China
Dalam konteks pelaksanaan kebijakan luar negeri, hubungan diplomatik Indonesia-China sedari awal bermakna amat penting. Dibukanya hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1949 merupakan ekspresi nyata ketidakberpihakan, suatu elemen utama prinsip kebijakan luar negeri bebas-aktif.
Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut, keutuhan bangsa dari Sabang hingga Merauke dapat dipertahankan di tengah konstelasi Perang Dingin saat itu. Era Soekarno kemudian menjadi tonggak penting hubungan persahabatan Indonesia-Tiongkok.
Liu Hong, dalam "China and the Shaping of Indonesia, 1949-1965" mengungkap bahwa pada masa itu Tiongkok bagaikan mercusuar, penunjuk ke arah mana dan bagaimana Indonesia harus dibangun.
Model pembangunan ala Tiongkok diperbincangkan para cendekiawan. Kisah-kisah mengenai Tiongkok dimuat dalam surat-surat kabar, dan bahkan karya-karya sastra, sehingga menyentuh luas di masyarakat. Sungguh tidak berlebihan apabila masa ini dijuluki sebagai masa bulan madu hubungan Indonesia-Tiongkok.
Interaksi dan pertukaran bukan hanya terjadi di tingkat elite, melainkan juga di akar rumput. Selain itu, dalam konteks hubungan luar negeri, Indonesia amat penting bagi Tiongkok yang saat itu bukan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tiongkok, bagi Indonesia, juga tak kalah penting, apalagi setelah Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada awal 1965. Keduanya menjalin suatu kemitraan dalam membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Pola interaksi saling menguntungkan ini terus berulang dalam evolusi hubungan bilateral keduanya. Pada era Soeharto, normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok pada awal 1990-an amat bernilai bagi Tiongkok, yang saat itu dikecam Barat setelah peristiwa Tiananmen.
Yeremia Lalisang, Mahasiswa Program Doktor di Universitas Xiamen, Tiongkok mengatakan, bagi Indonesia, dalam sektor ekonomi, hubungan dengan Tiongkok menjadi sangat penting, terutama setelah negara ini dihantam badai krisis finansial Asia pada tahun 1997.
Kini, China adalah negara dengan perekonomian nomor dua terbesar di dunia. Dengan latar belakang itu, Indonesia setelah reformasi, menurut I Wibowo (almarhum), sinolog (Ilmu pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan China) kawakan Indonesia, terus melakukan upaya merangkul China.
Presiden Abdurrahman (Gus Dur) Wahid (almarhum) mengusulkan pembentukan poros Jakarta-Beijing-New Delhi, menunjukkan pandangannya akan nilai strategis Tiongkok dalam mandala diplomasi Indonesia. Sedang, Presiden Megawati Soekarnoputri merawat hubungan kedua negara melalui "diplomasi dansa".
Baca juga: NTT harapkan penerbangan langsung Beijing-Labuan Bajo
Presiden Joko Widodo dan Presiden RRC Xi Jinping (ANTARA Foto/Setpres)
Hal-hal yang sudah dirintis tersebut kemudian dikelola dengan baik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dalam dua periode kepemimpinannya menandatangani dua perjanjian penting, monumen kedekatan hubungan Indonesia-Tiongkok, yaitu Kemitraan Strategis (2005), yang kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif (2013).
Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melukiskan hubungan diplomatik antara RI-China di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bersifat tegas dan bermartabat, pro rakyat, membumi dan tidak berjarak dengan kepentingan rakyat.
Apakah prinsip saling menguntungkan yang menjadi sifat hubungan Indonesia-China yang telah dibangun sebelumnya dapat tetap dipertahankan dalam bingkai baru diplomasi Indonesia tersebut?
Semoga hubungan kekerabatan kedua negara, Indonesia-China tak lagi seperti nyanyian Bengawan Solo.
Presiden Joko Widodo tampak akrab dengan Presiden RRC Xi Jinping (ANTARA Foto/Setpres)
Selama ribuan tahun lamanya, hubungan China dan Indonesia telah mengalami perjalanan yang penuh liku, seperti lirik lagu Bengawan Solo, karya Gesang. "Mata airmu dari Solo, terkurung Gunung Seribu. Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut..."
Itulah perkembangan hubungan Indonesia-China yang dianalogikan oleh Presiden Xi Jinping dalam pidatonya dihadapan parlemen Indonesia pada saat itu.
Sebab, pada zaman dahulu, dinasti Han dan kerajaan-kerajaan yang ada di kepulauan Nusantara telah mampu menyingkirkan halangan laut dan membuka pintu gerbang untuk saling berinteraksi.
Berbagai kisah tentang pertukaran persahabatan kedua bangsa, masih banyak disebut orang hingga sekarang, seperti di China, misalnya, terdapat karya sastra klasik berjudul "Impian di Bilik Merah" yang berisi tentang harta kekayaan di Jawa.
Di Museum Nasional Indonesia, juga terdapat koleksi keramik China. "Semuanya ini menjadi bukti akan pertukaran persahabatan kedua masyarakat, sekaligus membuktikan bahwa kedua negara yang berjauhan jaraknya dapat menjadi sahabat yang karib," ujar Xi Jinping.
Dalam pandangan RRC, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling dini menjalin hubungan diplomatik dengan China. Pada tahun 1955, Indonesia dan China juga bersama-sama dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai model hubungan internasional yang baru.
Atas dasar itu, Presiden Xi Jinping optimistis bahwa dengan jumlah populasi penduduk kedua negara yang mencapai sekitar 1,6 miliar jiwa ini, menjadi sebuah kekuatan yang mahabesar dan menciptakan keajaiban baru dalam sejarah perkembangan umat manusia.
Gambaran tentang hubungan Indonesia-China yang dipaparkan oleh Presiden Xi Jinping tersebut mengisyaratkan adanya kedekatan persahabatan sejati di antara kedua negara, meski mengalami pasang dan surut serta perjalanan yang penuh liku seperti nyanyian Bengawan Solo.
Kondisi tersebut sempat dirasakan oleh 10 wartawan Indonesia asal Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur saat berkunjung ke Beijing, ibu kota RRC serta beberapa kota lainnya di China pada Mei 2015 atas undangan dari Konjen RRC di Denpasar, Bali.
Baca juga: NTT targetkan gaet 10 persen wisatawan China
Ketua Asosiasi Jurnalis China Fang Xinjian bersama sejumlah anggota asosiasi lainnya sudah menunggu delegasi wartawan Indonesia untuk membahas gagasan Presiden Joko Widodo dan Presiden RRC Xi Jinping tentang Tol Laut dan Jalur Sutra Laut dalam Satu Kawasan dan Satu Jalur (One Belt One Road).
Lewat semboyan One Belt One Road, China mau melakukan investasi besar-besaran di Indonesia untuk membangun infrastruktur wilayah serta sektor perhubungan laut guna mendukung sebuah kiat besar pembangunan bernama "Jalur Sutra Laut".
Jalur Sutra Laut yang digagas Presiden Xi Jinping itu dengan sebuah harapan besar agar negara-negara yang ada di kawasan tersebut, seperti Indonesia, segera membangun ekonominya untuk membebaskan rakyatnya dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.
Presiden Xi Jinping telah menunjukkan hal itu pada negaranya sendiri. China atau Tiongkok kini menjadi sebuah raksasa ekonomi dunia sehingga mengharapkan negara-negara yang berada di jalur Sutra Laut ikut merasakan denyut kemajuan ekonomi tersebut.
Para jurnalis China, tidak terlalu pesimistis dalam memandang hal tersebut karena Tiongkok memiliki niat yang besar untuk menanamkan investasinya di Indonesia lewat konsep Jalur Sutra Laut yang digagas Presiden Tiongkok Xi Jinping tersebut.
"Kami melihat hubungan Indonesia dan Tiongkok makin membaik dengan sikap saling mengunjungi antara Presiden Jinping dan Presiden Joko Widodo. Ini sebuah pertanda bahwa ke depan, hubungan kedua negara akan makin terus ditingkatkan pada hal-hal yang konkrit," ujar Fang Xinjian.
Para jurnalis China juga menyadari akan hal tersebut sehingga hubungan kerja sama antarmedia kedua negara menjadi sesuatu yang sangat menentukan sebagai langkah awal untuk mempererat tali persahabatan kedua negara.
"Kami akan terus berupaya membangun hubungan kerja sama dengan asosiasi jurnalis di Indonesia, seperti yang sudah kami lakukan dengan 60 organisasi atau asosiasi serupa di seluruh dunia. Karena bagaimana pun, media memiliki peran yang sangat strategis dalam mempererat kerja sama antarnegara," ujarnya.
Dalam konteks pelaksanaan kebijakan luar negeri, hubungan diplomatik Indonesia-China sedari awal bermakna amat penting. Dibukanya hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1949 merupakan ekspresi nyata ketidakberpihakan, suatu elemen utama prinsip kebijakan luar negeri bebas-aktif.
Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut, keutuhan bangsa dari Sabang hingga Merauke dapat dipertahankan di tengah konstelasi Perang Dingin saat itu. Era Soekarno kemudian menjadi tonggak penting hubungan persahabatan Indonesia-Tiongkok.
Liu Hong, dalam "China and the Shaping of Indonesia, 1949-1965" mengungkap bahwa pada masa itu Tiongkok bagaikan mercusuar, penunjuk ke arah mana dan bagaimana Indonesia harus dibangun.
Model pembangunan ala Tiongkok diperbincangkan para cendekiawan. Kisah-kisah mengenai Tiongkok dimuat dalam surat-surat kabar, dan bahkan karya-karya sastra, sehingga menyentuh luas di masyarakat. Sungguh tidak berlebihan apabila masa ini dijuluki sebagai masa bulan madu hubungan Indonesia-Tiongkok.
Interaksi dan pertukaran bukan hanya terjadi di tingkat elite, melainkan juga di akar rumput. Selain itu, dalam konteks hubungan luar negeri, Indonesia amat penting bagi Tiongkok yang saat itu bukan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tiongkok, bagi Indonesia, juga tak kalah penting, apalagi setelah Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada awal 1965. Keduanya menjalin suatu kemitraan dalam membangun solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Pola interaksi saling menguntungkan ini terus berulang dalam evolusi hubungan bilateral keduanya. Pada era Soeharto, normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok pada awal 1990-an amat bernilai bagi Tiongkok, yang saat itu dikecam Barat setelah peristiwa Tiananmen.
Yeremia Lalisang, Mahasiswa Program Doktor di Universitas Xiamen, Tiongkok mengatakan, bagi Indonesia, dalam sektor ekonomi, hubungan dengan Tiongkok menjadi sangat penting, terutama setelah negara ini dihantam badai krisis finansial Asia pada tahun 1997.
Kini, China adalah negara dengan perekonomian nomor dua terbesar di dunia. Dengan latar belakang itu, Indonesia setelah reformasi, menurut I Wibowo (almarhum), sinolog (Ilmu pengetahuan tentang bahasa dan kebudayaan China) kawakan Indonesia, terus melakukan upaya merangkul China.
Presiden Abdurrahman (Gus Dur) Wahid (almarhum) mengusulkan pembentukan poros Jakarta-Beijing-New Delhi, menunjukkan pandangannya akan nilai strategis Tiongkok dalam mandala diplomasi Indonesia. Sedang, Presiden Megawati Soekarnoputri merawat hubungan kedua negara melalui "diplomasi dansa".
Baca juga: NTT harapkan penerbangan langsung Beijing-Labuan Bajo
Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melukiskan hubungan diplomatik antara RI-China di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bersifat tegas dan bermartabat, pro rakyat, membumi dan tidak berjarak dengan kepentingan rakyat.
Apakah prinsip saling menguntungkan yang menjadi sifat hubungan Indonesia-China yang telah dibangun sebelumnya dapat tetap dipertahankan dalam bingkai baru diplomasi Indonesia tersebut?
Semoga hubungan kekerabatan kedua negara, Indonesia-China tak lagi seperti nyanyian Bengawan Solo.