Jakarta (ANTARA) - Penulis dan sineas Indonesia Djenar Maesa Ayu berharap film-film Indonesia bisa menjadi wadah untuk meningkatkan kesadaran (awareness) akan isu-isu sosial yang terjadi di sekitar.
Film terbaru yang ia bintangi, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", salah satunya, menyinggung soal toxic masculinity dan mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin; berlatar di tahun 1980-an.
"Terlepas dari apakah setting ini berada di tahun '80-an atau tidak, saya yang berperan sebagai Rona Merah di sini rasanya menjadi... bittersweet. Saya sangat mengagumi karya-karya Eka Kurniawan (sastrawan), saya sangat mengagumi Edwin (sutradara), dan bahagia bisa bekerja sama dengan banyak kawan film lainnya," kata Djenar dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu, (17/11).
"Tapi, ketika memerankan langsung, saya merasakan bahwa segala sesuatu -- represi -- itu bukan hal yang baik dan tidak akan pernah baik. Ini adalah tema yang ingin diusung Eka Kurniawan dari awal dan energi inilah yang diteruskan oleh Edwin lewat filmnya," ujarnya menambahkan.
Edwin, sebelumnya mengatakan bahwa kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia hari ini, di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang di era 80an/90an.
"Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi," kata Edwin.
Melanjutkan, Djenar mengatakan penting untuk menyoroti hal-hal yang menjadi konstruksi sosial seperti maskulinitas dan feminitas yang pada akhirnya membuat seseorang lebih merasa berkuasa, dan kekuasaan ini bisa melakukan apa saja untuk manipulasi orang lain.
Ia ingin hal ini tidak terjadi lagi. "Mungkin dihentikan masih susah, ini adalah perjuangan panjang kita semua. Tapi, paling tidak melalui film ini, ada awareness-nya," kata Djenar.
Ia menambahkan, "Baik di naskah (film) dan novelnya, ini adalah sesuatu yang sangat serius. Ada unsur kekerasan, politik, tapi diceritakan dengan sangat ringan, dan itu luar biasa. Harapan saya sangat besar untuk film ini, bukan hanya untuk awareness, tapi juga penonton bisa datang ke bioskop dan menjadi titik balik kita semua untuk merayakan film-film Indonesia kembali."
Sementara itu, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" segera tayang mulai 2 Desember di bioskop seluruh Indonesia. Film ini mendapatkan klasifikasi 17+ dari Lembaga Sensor Film, meski Palari Films mengimbau film ini untuk 18+ (Khusus Dewasa).
Baca juga: Menyelami rasa takut dalam film Paranoia
Baca juga: Film Penyalin Cahaya borong 12 Piala Citra FFI 2021
Film terbaru yang ia bintangi, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", salah satunya, menyinggung soal toxic masculinity dan mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin; berlatar di tahun 1980-an.
"Terlepas dari apakah setting ini berada di tahun '80-an atau tidak, saya yang berperan sebagai Rona Merah di sini rasanya menjadi... bittersweet. Saya sangat mengagumi karya-karya Eka Kurniawan (sastrawan), saya sangat mengagumi Edwin (sutradara), dan bahagia bisa bekerja sama dengan banyak kawan film lainnya," kata Djenar dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu, (17/11).
"Tapi, ketika memerankan langsung, saya merasakan bahwa segala sesuatu -- represi -- itu bukan hal yang baik dan tidak akan pernah baik. Ini adalah tema yang ingin diusung Eka Kurniawan dari awal dan energi inilah yang diteruskan oleh Edwin lewat filmnya," ujarnya menambahkan.
Edwin, sebelumnya mengatakan bahwa kejantanan adalah tolok ukur kelelakian. Budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia hari ini, di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang di era 80an/90an.
"Saya melihat Indonesia berusaha keras mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi," kata Edwin.
Melanjutkan, Djenar mengatakan penting untuk menyoroti hal-hal yang menjadi konstruksi sosial seperti maskulinitas dan feminitas yang pada akhirnya membuat seseorang lebih merasa berkuasa, dan kekuasaan ini bisa melakukan apa saja untuk manipulasi orang lain.
Ia ingin hal ini tidak terjadi lagi. "Mungkin dihentikan masih susah, ini adalah perjuangan panjang kita semua. Tapi, paling tidak melalui film ini, ada awareness-nya," kata Djenar.
Ia menambahkan, "Baik di naskah (film) dan novelnya, ini adalah sesuatu yang sangat serius. Ada unsur kekerasan, politik, tapi diceritakan dengan sangat ringan, dan itu luar biasa. Harapan saya sangat besar untuk film ini, bukan hanya untuk awareness, tapi juga penonton bisa datang ke bioskop dan menjadi titik balik kita semua untuk merayakan film-film Indonesia kembali."
Sementara itu, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" segera tayang mulai 2 Desember di bioskop seluruh Indonesia. Film ini mendapatkan klasifikasi 17+ dari Lembaga Sensor Film, meski Palari Films mengimbau film ini untuk 18+ (Khusus Dewasa).
Baca juga: Menyelami rasa takut dalam film Paranoia
Baca juga: Film Penyalin Cahaya borong 12 Piala Citra FFI 2021