Jakarta (ANTARA) - Tanda-tanda yang memperlihatkan sinyal adanya secercah cahaya dalam penyelesaian damai yang langgeng dengan terbentuknya negara Palestina tampaknya belum bisa diharapkan dalam masa depan yang dekat.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett belum lama ini diberitakan oleh media bahwa dia menyepelekan gagasan tentang langkah menuju negosiasi baru perdamaian dengan Palestina setelah pertemuan tingkat tertinggi Israel-Palestina berlangsung dalam beberapa tahun.
Para pengamat politik tentu mafhum atas sikap yang ditunjukkan Bennett itu. Isu Palestina di dalam perpolitikan domestik Israel ibarat bola membara, yang jika salah mengelolanya, dampaknya akan menimbulkan keguncangan di pemerintahan, yang tak mustahil berujung pada kejatuhan sang perdana menteri itu sendiri.
Sebelum Bennett mengemukakan sikapnya yang menganggap sepele pembicaraan damai dengan Palestina itu, Menteri Pertahanan Benny Gantz dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas melakukan pertemuan.
Media utama Israel mengutip seorang sumber yang dekat dengan perdana menteri, yang mengatakan pertemuan itu hanya membahas isu-isu rutin. Sumber itu mengatakan, tak ada proses diplomatik dengan masyarakat Palestina, dan tak akan pernah ada.
Namun, pengakuan di pihak Palestina sebagaimana dikemukakan oleh Hussein Al Sheikh, seorang anggota Komite Pusat Fatah pimpinan Abbas, menyebutkan bahwa pembicaraan Abbas dan Gantz tersebut mencakup semua aspek hubungan Palestina dan Israel.
Gantz, yang mengepalai partai tengah, dan Abbas melakukan pertemuan dua hari setelah Bennett bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington.
Bennett merupakan seorang politikus ultrakanan yang menolak kenegaraan Palestina. Visi ideologis ini tentu menjadikan ikhtiar menemukan solusi dua negara yang diidamkan elite politik Palestina ibarat menegakkan benang basah. Sedikitnya kiasan ini berlaku selama Bennett menjadi penguasa di pemerintahan.
Sebuah pernyataan dari Gedung Putih menyebutkan Joe Biden menegaskan sikapnya kepada Bennett bahwa ia mendukung solusi dua negara terkait konflik Israel-Palestina. Biden juga menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Palestina.
Sementara itu, Bennett tidak menyebut Palestina dalam pernyataan publik saat berada di Gedung Putih. Pidatonya secara garis besar memusatkan perhatian pada program nuklir Iran, yang merupakan musuh bebuyutan negaranya.
Berbeda dengan Bennett yang menyepelekan pembicaraan damai dengan Palestina, Gantz merasa perlu untuk menyerukan agar proses perdamaian dengan Palestina dimulai kembali.
Palestina bercita-cita mendirikan negara di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Israel merebut wilayah-wilayah itu dalam perang Timur Tengah 1967.
Namun, setiap langkah baru terkait isu kemerdekaan Palestina dapat mengguncang pemerintahan Bennett, yang terdiri dari partai-partai sayap kiri, kanan, tengah, dan Arab.
Koalisi itu pada Juni mengakhiri 12 tahun masa jabatan Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri.
Perselisihan dalam Koalisi
Sebagai pertanda adanya perselisihan di dalam koalisi pemerintahan Bennett atas kenegaraan Palestina, Mossi Raz, seorang legislator dari partai sayap kiri Meretz, menyebut penolakan di kubu Bennett atas prospek pembicaraan yang diperbarui --mengenai pencarian solusi damai dengan Palestina-- dinilai "keterlaluan".
"Proses perdamaian adalah kepentingan Israel," tulis Raz di Twitter.
Apa yang dikemukakan Raz tentu juga menjadi pandangan banyak kalangan di tataran global.
Tanpa perdamaian, Israel sendiri akan selalu dibayang-bayangi ancaman roket-roket yang diluncurkan oleh kelompok-kelompok garis keras, seperti Hamas, yang membuat warga negara dan pemimpin di Israel tak nyenyak dalam tidur mereka.
Jika solusi perdamaian antara Palestina dan Israel tercapai, konsekuensi ikutannya juga akan cukup masif. Setidaknya banyak-bayang kekhawatiran di kubu Israel atas ancaman nuklir Iran akan mereda --kalau bukan sirna sama sekali.
Sejak 2014, pertemuan di tingkat pejabat tinggi antara Israel dan Palestina yang ditengahi AS berhenti. Pertemuan di Kota Ramallah antara Gantz dan Abbas itu tentu mendapat restu dari Bennett.
Gantz, yang merupakan ketua partai sentris, mengatakan kepada Abbas bahwa Israel akan menempuh langkah-langkah untuk memperkuat ekonomi Palestina.
Pembicaraan Abbas dan Gantz itu juga menjadi momen penting di tengah terbentuknya konstelasi politik Timur Tengah yang ditandai oleh kesepakatan normalisasi relasi antara Israel dan sejumlah negara Arab, di bawah dukungan AS.
Pascakabinet Netanyahu, pemerintahan baru Israel mencakup bongkar pasang dari partai-partai yang membentang dari paling kiri hingga paling kanan dan untuk pertama kalinya melibatkan faksi Islam kecil.
PM Bennett, yang juga ketua partai ultranasionalis, yang anti Palestina merdeka, senantiasa dirundung kesulitan setiap harus mengambil keputusan kebijakan yang sensitif mengenai konflik Israel.
Sikap Bennet yang menyepelekan itu memprovokasi Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang menuduh Israel "menghancurkan prospek penyelesaian politik berdasarkan solusi dua negara" melalui permukiman di Tepi Barat yang direbutnya dalam perang Timur Tengah 1967.
Ketika berbicara di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) pada September tahun ini lewat video dari Tepi Barat, Abbas mendesak dunia internasional untuk bertindak menyelamatkan solusi dua negara, yang selama beberapa dekade menjadi landasan diplomasi untuk konflik Israel-Palestina.
Sebagian besar negara memandang permukiman di Tepi Barat itu ilegal.
Presiden Abbas mengancam akan mencabut pengakuan Palestina atas Israel jika Israel tidak menarik diri dari Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur dalam waktu satu tahun.
Penegasan AS
Presiden AS Joe Biden menegaskan kembali dukungannya untuk solusi dua negara. Pernyataan tersebut diungkapkan Biden saat berbicara di SMU PBB pada September.
Biden akan memastikan "masa depan Israel sebagai negara demokratis yang hidup dalam damai bersama dengan negara Palestina yang demokratis dan berlangsung selamanya."
Amerika Serikat juga menyatakan menentang keras rencana Israel memperluas permukiman Yahudi di Tepi Barat yang didudukinya dan bahwa tindakan itu merusak masa depan perdamaian antara Israel dan Palestina.
Kecaman itu merupakan kritik paling keras yang pernah dilontarkan pemerintah Presiden Joe Biden selama ini terhadap kebijakan Israel menyangkut permukiman.
Namun, tampaknya Israel kurang menggubris oleh kritik-kritik semacam itu. Israel juga menyepelekan apa yang dilontarkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada Oktober yang mengadopsi dua resolusi pro-Palestina pada sidang dewan eksekutif ke-212 yang diadakan di Paris.
Baca juga: Artikel - Mengenal Desa Wisata Coal penyangga KSPN Labuan Bajo
Kementerian Luar Negeri Palestina melalui pernyataan mengatakan bahwa para anggota dewan eksekutif UNESCO secara bulat menyatakan status Yerusalem Timur harus dibebaskan dari pendudukan dan menyerukan Israel segera menghentikan tindakan ilegal mereka di kota suci Yerusalem.
Menyambut resolusi tersebut, komunitas internasional dan UNESCO diminta untuk menekan Israel agar menghentikan aksi ilegal dan upaya mereka untuk merusak secara sengaja warisan kebudayaan milik Palestina.
Kemlu Palestina juga mendesak dunia agar mengambil langkah nyata untuk memastikan implementasi resolusi UNESCO mengenai Palestina yang diduduki dan lembaga pendidikan serta kebudayaan di wilayah pendudukan Arab dan yang terkait dengan Al-Haram Al-Sharif, Kota Tua Yerusalem, Masjid Ibrahim, dan kota tua Hebron.
Kemlu juga meminta masyarakat internasional untuk menuntut Israel agar menghentikan penggalian ilegal di Yerusalem.
Baca juga: artikel - Kisah anak Papua dan Sepeda Presiden
Tampaknya berbagai desakan terhadap Israel terkait upaya mencapai Palestina merdeka masih belum menjadi faktor penentu.
Dunia masih harus menanti datangnya secercah cahaya di lorong panjang penyelesaian damai yang langgeng untuk melihat terbentuknya negara Palestina.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett belum lama ini diberitakan oleh media bahwa dia menyepelekan gagasan tentang langkah menuju negosiasi baru perdamaian dengan Palestina setelah pertemuan tingkat tertinggi Israel-Palestina berlangsung dalam beberapa tahun.
Para pengamat politik tentu mafhum atas sikap yang ditunjukkan Bennett itu. Isu Palestina di dalam perpolitikan domestik Israel ibarat bola membara, yang jika salah mengelolanya, dampaknya akan menimbulkan keguncangan di pemerintahan, yang tak mustahil berujung pada kejatuhan sang perdana menteri itu sendiri.
Sebelum Bennett mengemukakan sikapnya yang menganggap sepele pembicaraan damai dengan Palestina itu, Menteri Pertahanan Benny Gantz dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas melakukan pertemuan.
Media utama Israel mengutip seorang sumber yang dekat dengan perdana menteri, yang mengatakan pertemuan itu hanya membahas isu-isu rutin. Sumber itu mengatakan, tak ada proses diplomatik dengan masyarakat Palestina, dan tak akan pernah ada.
Namun, pengakuan di pihak Palestina sebagaimana dikemukakan oleh Hussein Al Sheikh, seorang anggota Komite Pusat Fatah pimpinan Abbas, menyebutkan bahwa pembicaraan Abbas dan Gantz tersebut mencakup semua aspek hubungan Palestina dan Israel.
Gantz, yang mengepalai partai tengah, dan Abbas melakukan pertemuan dua hari setelah Bennett bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington.
Bennett merupakan seorang politikus ultrakanan yang menolak kenegaraan Palestina. Visi ideologis ini tentu menjadikan ikhtiar menemukan solusi dua negara yang diidamkan elite politik Palestina ibarat menegakkan benang basah. Sedikitnya kiasan ini berlaku selama Bennett menjadi penguasa di pemerintahan.
Sebuah pernyataan dari Gedung Putih menyebutkan Joe Biden menegaskan sikapnya kepada Bennett bahwa ia mendukung solusi dua negara terkait konflik Israel-Palestina. Biden juga menggarisbawahi pentingnya langkah-langkah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Palestina.
Sementara itu, Bennett tidak menyebut Palestina dalam pernyataan publik saat berada di Gedung Putih. Pidatonya secara garis besar memusatkan perhatian pada program nuklir Iran, yang merupakan musuh bebuyutan negaranya.
Berbeda dengan Bennett yang menyepelekan pembicaraan damai dengan Palestina, Gantz merasa perlu untuk menyerukan agar proses perdamaian dengan Palestina dimulai kembali.
Palestina bercita-cita mendirikan negara di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Israel merebut wilayah-wilayah itu dalam perang Timur Tengah 1967.
Namun, setiap langkah baru terkait isu kemerdekaan Palestina dapat mengguncang pemerintahan Bennett, yang terdiri dari partai-partai sayap kiri, kanan, tengah, dan Arab.
Koalisi itu pada Juni mengakhiri 12 tahun masa jabatan Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri.
Perselisihan dalam Koalisi
Sebagai pertanda adanya perselisihan di dalam koalisi pemerintahan Bennett atas kenegaraan Palestina, Mossi Raz, seorang legislator dari partai sayap kiri Meretz, menyebut penolakan di kubu Bennett atas prospek pembicaraan yang diperbarui --mengenai pencarian solusi damai dengan Palestina-- dinilai "keterlaluan".
"Proses perdamaian adalah kepentingan Israel," tulis Raz di Twitter.
Apa yang dikemukakan Raz tentu juga menjadi pandangan banyak kalangan di tataran global.
Tanpa perdamaian, Israel sendiri akan selalu dibayang-bayangi ancaman roket-roket yang diluncurkan oleh kelompok-kelompok garis keras, seperti Hamas, yang membuat warga negara dan pemimpin di Israel tak nyenyak dalam tidur mereka.
Jika solusi perdamaian antara Palestina dan Israel tercapai, konsekuensi ikutannya juga akan cukup masif. Setidaknya banyak-bayang kekhawatiran di kubu Israel atas ancaman nuklir Iran akan mereda --kalau bukan sirna sama sekali.
Sejak 2014, pertemuan di tingkat pejabat tinggi antara Israel dan Palestina yang ditengahi AS berhenti. Pertemuan di Kota Ramallah antara Gantz dan Abbas itu tentu mendapat restu dari Bennett.
Gantz, yang merupakan ketua partai sentris, mengatakan kepada Abbas bahwa Israel akan menempuh langkah-langkah untuk memperkuat ekonomi Palestina.
Pembicaraan Abbas dan Gantz itu juga menjadi momen penting di tengah terbentuknya konstelasi politik Timur Tengah yang ditandai oleh kesepakatan normalisasi relasi antara Israel dan sejumlah negara Arab, di bawah dukungan AS.
Pascakabinet Netanyahu, pemerintahan baru Israel mencakup bongkar pasang dari partai-partai yang membentang dari paling kiri hingga paling kanan dan untuk pertama kalinya melibatkan faksi Islam kecil.
PM Bennett, yang juga ketua partai ultranasionalis, yang anti Palestina merdeka, senantiasa dirundung kesulitan setiap harus mengambil keputusan kebijakan yang sensitif mengenai konflik Israel.
Sikap Bennet yang menyepelekan itu memprovokasi Presiden Palestina Mahmoud Abbas, yang menuduh Israel "menghancurkan prospek penyelesaian politik berdasarkan solusi dua negara" melalui permukiman di Tepi Barat yang direbutnya dalam perang Timur Tengah 1967.
Ketika berbicara di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) pada September tahun ini lewat video dari Tepi Barat, Abbas mendesak dunia internasional untuk bertindak menyelamatkan solusi dua negara, yang selama beberapa dekade menjadi landasan diplomasi untuk konflik Israel-Palestina.
Sebagian besar negara memandang permukiman di Tepi Barat itu ilegal.
Presiden Abbas mengancam akan mencabut pengakuan Palestina atas Israel jika Israel tidak menarik diri dari Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur dalam waktu satu tahun.
Penegasan AS
Presiden AS Joe Biden menegaskan kembali dukungannya untuk solusi dua negara. Pernyataan tersebut diungkapkan Biden saat berbicara di SMU PBB pada September.
Biden akan memastikan "masa depan Israel sebagai negara demokratis yang hidup dalam damai bersama dengan negara Palestina yang demokratis dan berlangsung selamanya."
Amerika Serikat juga menyatakan menentang keras rencana Israel memperluas permukiman Yahudi di Tepi Barat yang didudukinya dan bahwa tindakan itu merusak masa depan perdamaian antara Israel dan Palestina.
Kecaman itu merupakan kritik paling keras yang pernah dilontarkan pemerintah Presiden Joe Biden selama ini terhadap kebijakan Israel menyangkut permukiman.
Namun, tampaknya Israel kurang menggubris oleh kritik-kritik semacam itu. Israel juga menyepelekan apa yang dilontarkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada Oktober yang mengadopsi dua resolusi pro-Palestina pada sidang dewan eksekutif ke-212 yang diadakan di Paris.
Baca juga: Artikel - Mengenal Desa Wisata Coal penyangga KSPN Labuan Bajo
Kementerian Luar Negeri Palestina melalui pernyataan mengatakan bahwa para anggota dewan eksekutif UNESCO secara bulat menyatakan status Yerusalem Timur harus dibebaskan dari pendudukan dan menyerukan Israel segera menghentikan tindakan ilegal mereka di kota suci Yerusalem.
Menyambut resolusi tersebut, komunitas internasional dan UNESCO diminta untuk menekan Israel agar menghentikan aksi ilegal dan upaya mereka untuk merusak secara sengaja warisan kebudayaan milik Palestina.
Kemlu Palestina juga mendesak dunia agar mengambil langkah nyata untuk memastikan implementasi resolusi UNESCO mengenai Palestina yang diduduki dan lembaga pendidikan serta kebudayaan di wilayah pendudukan Arab dan yang terkait dengan Al-Haram Al-Sharif, Kota Tua Yerusalem, Masjid Ibrahim, dan kota tua Hebron.
Kemlu juga meminta masyarakat internasional untuk menuntut Israel agar menghentikan penggalian ilegal di Yerusalem.
Baca juga: artikel - Kisah anak Papua dan Sepeda Presiden
Tampaknya berbagai desakan terhadap Israel terkait upaya mencapai Palestina merdeka masih belum menjadi faktor penentu.
Dunia masih harus menanti datangnya secercah cahaya di lorong panjang penyelesaian damai yang langgeng untuk melihat terbentuknya negara Palestina.