Jakarta (ANTARA) - Perwujudan daerah tujuan wisata (DTW) super premium di Labuan Bajo, Pulau Komodo dan berbagai daerah lain di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih menghadapi beberapa tantangan yang perlu menjadi perhatian.
Hal itu disampaikan Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores, Shana Fatina, saat berdialog dengan tim tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) yang datang melakukan peninjauan lapangan terkait pemulihan pariwisata di NTT, Rabu, (29/12).
Sebagaimana siaran pers KSP, dia mengatakan isu konektivitas dari dan menuju Labuan Bajo masih menjadi permasalahan.
Misalnya saja, kata dia, harga tiket pesawat dari dan menuju Labuan Bajo masih sangat mahal. Selain itu, rute penyeberangan kapal laut untuk menghubungkan Pulau Flores ke Pulau Lembata, Pulau Rote ke Pulau Sawu, dan Labuan Bajo ke Pulau Sumba juga masih belum tersedia.
Menurut dia, pemerintah perlu mendorong ASDP agar dapat membangun penyeberangan umum antar pulau demi mewujudkan kawasan wisata yang terintegrasi, sekaligus memangkas ongkos logistik pengiriman barang dan perpindahan orang.
“Labuan Bajo memasok sekitar 85 persen kebutuhan barang dari luar provinsi NTT, sehingga kita ingin memaksimalkan konsumsi produk lokal dari NTT untuk pariwisata ini. Tetapi terbentur di ongkos logistik yang mahal,” katanya.
Sementara itu, daerah tujuan wisata premium Labuan Bajo Flores memiliki tujuh fokus indikator, yakni pelestarian lingkungan, SDM, manajemen perjalanan, sajian masakan, kesehatan, keamanan dan keselamatan, infrastruktur dan amenitas, serta aktivitas.
Dalam bidang SDM, dia mengatakan, perlu ada sosialisasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat terkait pentingnya membangun kreatifitas lokal untuk menggairahkan geliat pariwisata Labuan Bajo Flores.
“Namun dengan ada sosialisasi ini, pemerintah pusat juga perlu menegaskan ini bukan berarti mengambil alih fungsi otoritas daerah, tapi ini untuk memberi stimulus agar mereka dapat berlari lebih kencang dalam mewujudkan pariwisata premium. Labuan Bajo tidak boleh selamanya dikelola badan otoritas pemerintah pusat,” jelasnya.
Adapun KSPi berfungsi memberikan dukungan percepatan pelaksanaan, monitor dan evaluasi program prioritas nasional dan isu strategis.
Segala permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan program prioritas nasional juga akan diselesaikan secara komprehensif oleh KSP.
“Kami melihat ada permasalahan komunikasi baik itu antar otoritas di daerah, antar kementerian/lembaga terkait, maupun antara pemerintah dan publik. Masih belum ada persamaan perspektif dalam mewujudkan Destinasi Wisata Super Premium ini,” kata Tenaga Ahli Utama KSP, Agung Rulianto.
Ia pun mengatakan bahwa salah satu upaya penyelesaian permasalahan dalam program prioritas nasional yang dilakukan oleh KSP adalah melalui pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi.
“KSP akan membantu menjembatani komunikasi antara Kementerian/Lembaga terkait dan juga menjembatani komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga semua hambatan yang saat ini dialami mampu diuraikan dan semua kebutuhan destinasi wisata premium Labuan Bajo Flores dapat dipenuhi,” kata dia.
Hal itu disampaikan Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores, Shana Fatina, saat berdialog dengan tim tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) yang datang melakukan peninjauan lapangan terkait pemulihan pariwisata di NTT, Rabu, (29/12).
Sebagaimana siaran pers KSP, dia mengatakan isu konektivitas dari dan menuju Labuan Bajo masih menjadi permasalahan.
Misalnya saja, kata dia, harga tiket pesawat dari dan menuju Labuan Bajo masih sangat mahal. Selain itu, rute penyeberangan kapal laut untuk menghubungkan Pulau Flores ke Pulau Lembata, Pulau Rote ke Pulau Sawu, dan Labuan Bajo ke Pulau Sumba juga masih belum tersedia.
Menurut dia, pemerintah perlu mendorong ASDP agar dapat membangun penyeberangan umum antar pulau demi mewujudkan kawasan wisata yang terintegrasi, sekaligus memangkas ongkos logistik pengiriman barang dan perpindahan orang.
“Labuan Bajo memasok sekitar 85 persen kebutuhan barang dari luar provinsi NTT, sehingga kita ingin memaksimalkan konsumsi produk lokal dari NTT untuk pariwisata ini. Tetapi terbentur di ongkos logistik yang mahal,” katanya.
Sementara itu, daerah tujuan wisata premium Labuan Bajo Flores memiliki tujuh fokus indikator, yakni pelestarian lingkungan, SDM, manajemen perjalanan, sajian masakan, kesehatan, keamanan dan keselamatan, infrastruktur dan amenitas, serta aktivitas.
Dalam bidang SDM, dia mengatakan, perlu ada sosialisasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat terkait pentingnya membangun kreatifitas lokal untuk menggairahkan geliat pariwisata Labuan Bajo Flores.
“Namun dengan ada sosialisasi ini, pemerintah pusat juga perlu menegaskan ini bukan berarti mengambil alih fungsi otoritas daerah, tapi ini untuk memberi stimulus agar mereka dapat berlari lebih kencang dalam mewujudkan pariwisata premium. Labuan Bajo tidak boleh selamanya dikelola badan otoritas pemerintah pusat,” jelasnya.
Adapun KSPi berfungsi memberikan dukungan percepatan pelaksanaan, monitor dan evaluasi program prioritas nasional dan isu strategis.
Segala permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan program prioritas nasional juga akan diselesaikan secara komprehensif oleh KSP.
“Kami melihat ada permasalahan komunikasi baik itu antar otoritas di daerah, antar kementerian/lembaga terkait, maupun antara pemerintah dan publik. Masih belum ada persamaan perspektif dalam mewujudkan Destinasi Wisata Super Premium ini,” kata Tenaga Ahli Utama KSP, Agung Rulianto.
Ia pun mengatakan bahwa salah satu upaya penyelesaian permasalahan dalam program prioritas nasional yang dilakukan oleh KSP adalah melalui pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi.
“KSP akan membantu menjembatani komunikasi antara Kementerian/Lembaga terkait dan juga menjembatani komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga semua hambatan yang saat ini dialami mampu diuraikan dan semua kebutuhan destinasi wisata premium Labuan Bajo Flores dapat dipenuhi,” kata dia.