Jakarta (ANTARA) - Bagi yang pernah melihat langsung nestapa ratusan ribu pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh seperti ANTARA saksikan pada 2017, kesengsaraan akibat kebengisan militer Myanmar memang nyata sekali.
Selalu ada testimoni sama mengenai pembumihangusan, pembantaian, pemerkosaan dan kebengisan-kebengisan lain yang dilakukan secara sistematis yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan universal dan hukum internasional. Bukti-buktinya pun kuat termasuk foto dan video satelit.
Tak heran PBB menyebut apa yang dilakukan rezim Myanmar, terutama militernya yang biasa disebut Tatmadaw, sebagai pembersihan etnis.
Sekitar sejuta orang mengungsi dari Rakhine di Myanmar ke Bangladesh, sementara ribuan lainnya mati di tangan Tatmadaw dan milisi-milisi pendukungnya.
ANTARA sendiri sempat melihat kampung-kampung Rohingnya yang dibumihanguskan di pesisir Rakhine, dari kejauhan di sisi Bangladesh Sungai Naf yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar.
Dunia merasa kekejaman seperti itu cukup sekali saja terjadi. Tapi ternyata, empat tahun kemudian indikasi ke arah itu terjadi lagi.
Tatmadaw tidak jera. Segera setelah mengkudeta pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, laku bengis mereka diulang.
Media massa internasional dan sejumlah kecil media lokal seperti laman The Irrawaddy, intensif mewartakan situasi yang kian mengerikan di Myanmar.
Di antara yang paling mengguncang adalah laporan investigatif Associated Press mengenai penghancuran para penentang junta di Myanmar.
Jika melihat apa yang dialami Rohingya, sulit membantah kebenaran laporan media apalagi mereka didukung data dan keterangan dari organisasi-organisasi terkemuka seperti Human Rights Watch.
Junta sendiri menutup diri dari dunia luar dan media termasuk ANTARA yang empat tahun silam berusaha masuk Myanmar tapi ditolak. Bahkan mereka tak kunjung mewujudkan janji membuka akses kepada ASEAN.
Perlawanan meluas
Berbeda dengan empat tahun lalu, yang menjadi sasaran junta kali ini adalah hampir semua etnis yang sebagian besar memang sudah lama memberontak dan kini berkoalisi dengan kelompok anti-junta pendukung Suu Kyi.
Tatmadaw menggulingkan Suu Kyi pada Februari 2021 dengan alasan kecurangan dalam pemilu 2020 padahal partai yang dipimpin pemimpin kharismatis ini menang telak dalam pemilu yang demokratis. Suu Kyi ditahan, kabinetnya dibubarkan, orang-orangnya ditahan.
Pembangkangan sipil pun terjadi, tapi kemudian ditindas dengan brutal oleh junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing, sampai pesawat tempur pun akhirnya dikerahkan ketika gerakan sipil menjadi pemberontakan nasional.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP), sejak kudeta, Tatmadaw dan polisi telah membunuh lebih dari 1.375 orang dan menangkap 11.200 orang.
Pembunuhan kerap dilakukan sistematis dan dalam skala massal. Human Rights Watch menyebut salah satu kasus pertama pembunuhan massal terjadi pada 14 Maret di Hlaing Tharyar di dekat Yangon.
Saksi mata mengatakan tentara menembaki demonstran dengan senapan serbu sampai menewaskan sedikitnya 65 orang.
Awalnya penentangan terhadap junta berlangsung damai lewat pembangkangan sipil. Namun karena junta kian brutal, sebagian gerakan perlawanan damai itu memutuskan angkat senjata.
Mei tahun lalu oposisi utama, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) membentuk sayap militer Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF). Empat bulan kemudian PDF memproklamasikan "perang defensif" melawan junta.
Kelompok-kelompok gerilya berbeda afiliasi juga bermunculan di pelosok negeri dengan tak semuanya bersetia kepada NUG. Junta pun kian kalap dengan menyerang siapa pun yang melindungi NUG dan semua afiliasinya.
Ironisnya perlawanan sipil bukannya menyurut, justru menyebar ke seluruh pelosok negeri, mulai dari Sagaing di bagian utara yang berbatasan dengan India, sampai Kayin yang berbatasan dengan Thailand.
Pun demikian dengan Kachin yang juga di utara tapi berbatasan dengan China, lalu Chin di bagian barat yang berbatasan dengan Bangladesh dan India. Kemudian Shan di bagian timur yang berbatasan dengan China dan Thailand, Kayah yang berbatasan dengan China, dan Magwwe yang berada di Myanmar tengah.
Tentara desersi
Konflik pun semakin brutal dari hari ke hari, apalagi Tatmadaw kerap melancarkan taktik bumi hangus yang disebut Kyaw Moe Tun sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan." Moe Tun sampai kini menolak meninggalkan posnya sebagai duta besar Myanmar untuk PBB kendati junta ingin menggantinya.
Salah satu kasus pertama pembumihangusan sistematis terjadi pada 9 Juli ketika tentara membanjiri Desa Yin dekat kota Kani di wilayah administratif Sagaing.
16 orang tewas setelah tentara menembaki warga secara membabi buta sampai berlarian masuk hutan. Tentara lalu mengepung satu kelompok warga di hutan itu, kata seorang wanita yang kemudian ditangkap bersama abangnya.
Sang wanita dibebaskan tetapi abangnya tidak. Tiga hari kemudian dia menemukan sang abang di hutan dalam keadaan membusuk dengan tubuh terikat ke pohon dan menyisakan bekas penyiksaan.
"Kami semua hidup dalam ketakutan," kata sang wanita yang seperti penduduk desa lainnya meminta tidak disebutkan namanya atas alasan keselamatan kepada Associated Press.
Bukannya takut, sebagian rakyat Myanmar memutuskan angkat senjata dengan motivasi berbeda-beda, termasuk menuntut balas atas kematian keluarga dan tetangga yang dibantai tentara.
Perlawanan pun semakin militan dan luas, sebaliknya respons junta juga semakin buas dan brutal.
Baca juga: Pemberontak Myanmar kubur 30 jasad tewas dalam serangan biadab
Penindasan yang semakin sporadis dan perlawanan yang semakin berani dari masyarakat itu sendiri telah mendemoralisasi Tatmadaw dan polisi sampai ribuan di antaranya melakukan desersi.
Menurut NUG, sejak kudeta Februari tahun lalu, 2.000 tentara dan 6.000 polisi melakukan desersi termasuk menyeberang ke daerah-daerah yang dikuasai pemberontak.
Mereka di antaranya difasilitasi oleh People’s Embrace and People’s Soldiers yang dibentuk para mantan tentara yang bersimpati kepada NUG dan kelompok-kelompok perlawanan etnis minoritas di negeri itu.
Asingkan junta
Nada yang tidak lagi sinkron dalam jajaran elite Tatmadaw sepertinya juga sudah mulai terlihat. Indikasinya dari dua jenderal penting Tatmadaw yang baru-baru ini dimutasi tiba-tiba seperti dilaporkan The Irrawaddy belakangan hari ini.
Keduanya adalah Letjen Aung Lin Dwe yang dicopot dari jabatan kepala pengadilan militer dan Kepala Staf Angkatan Udara Jenderal Maung Maung Kyaw yang dipaksa pensiun lebih cepat dari yang seharusnya.
Menurut laman The Irrawaddy, junta menyebut pencopotan kedua jenderal soal prosedur belaka, tetapi perwira-perwira pembelot menyebut kedua jenderal itu mungkin sudah tak mau lagi mendengar pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing.
Para desertir sendiri menilai Tatmadaw yang berkekuatan 300.000 prajurit tengah di ambang perpecahan. Indikasinya terlihat dari skala pembelotan yang begitu besar yang tak pernah terjadi selama enam puluh tahun terakhir. Selain itu ada ketidakpuasan dari kalangan prajurit yang merasa hanya dijadikan kacung oleh atasan mereka.
Hal itu kian dikuatkan oleh semakin brutalnya Tatmadaw yang justru memperlihatkan kefrustrasian mereka dalam melawan suara kritis dalam internalnya dan dalam menghadapi perlawanan yang semakin luas dan sengit baik dari NUG maupun dari kelompok-kelompok etnis minoritas.
Dialog damai seperti dimintakan ASEAN pun tidak diadopsi junta Myanmar padahal mereka sudah menjanjikan solusi damai kepada ASEAN.
Dan kenyataan seperti ini mesti membuat ASEAN semakin keras menekan junta. Jangan sampai tragedi kemanusiaan dan genosida seperti dialami Rohingya terjadi lagi di sana karena bisa merusak citra dan merongrong kredibilitas ASEAN, selain karena kekhawatiran menimbulkan masalah kompleks di kawasan.
Baca juga: Utusan PBB desak ASEAN lakukan pendekatan inklusif dalam krisis Myanmar
Sikap tegas seperti ditunjukkan Indonesia untuk tidak memberikan pengakuan kepada junta dengan mengecualikan mereka dari pertemuan-pertemuan ASEAN, harus dilanjutkan oleh organisasi kawasan ini.
Sebaliknya manuver seperti ditempuh PM Kamboja Hun Sen yang mengunjungi junta di Naypyidaw baru-baru ini, tak boleh terjadi lagi seperti ditegaskan dalam kritik para pemimpin ASEAN lainnya, termasuk PM Singapura Lee Hsien Loong belum lama ini.
Dunia dan ASEAN harus terus menekan junta dan tak memberi panggung yang bisa mengesankan adanya pengakuan untuk kudeta dan laku brutal mereka terhadap rakyatnya sendiri.
Selalu ada testimoni sama mengenai pembumihangusan, pembantaian, pemerkosaan dan kebengisan-kebengisan lain yang dilakukan secara sistematis yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan universal dan hukum internasional. Bukti-buktinya pun kuat termasuk foto dan video satelit.
Tak heran PBB menyebut apa yang dilakukan rezim Myanmar, terutama militernya yang biasa disebut Tatmadaw, sebagai pembersihan etnis.
Sekitar sejuta orang mengungsi dari Rakhine di Myanmar ke Bangladesh, sementara ribuan lainnya mati di tangan Tatmadaw dan milisi-milisi pendukungnya.
ANTARA sendiri sempat melihat kampung-kampung Rohingnya yang dibumihanguskan di pesisir Rakhine, dari kejauhan di sisi Bangladesh Sungai Naf yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar.
Dunia merasa kekejaman seperti itu cukup sekali saja terjadi. Tapi ternyata, empat tahun kemudian indikasi ke arah itu terjadi lagi.
Tatmadaw tidak jera. Segera setelah mengkudeta pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, laku bengis mereka diulang.
Media massa internasional dan sejumlah kecil media lokal seperti laman The Irrawaddy, intensif mewartakan situasi yang kian mengerikan di Myanmar.
Di antara yang paling mengguncang adalah laporan investigatif Associated Press mengenai penghancuran para penentang junta di Myanmar.
Jika melihat apa yang dialami Rohingya, sulit membantah kebenaran laporan media apalagi mereka didukung data dan keterangan dari organisasi-organisasi terkemuka seperti Human Rights Watch.
Junta sendiri menutup diri dari dunia luar dan media termasuk ANTARA yang empat tahun silam berusaha masuk Myanmar tapi ditolak. Bahkan mereka tak kunjung mewujudkan janji membuka akses kepada ASEAN.
Perlawanan meluas
Berbeda dengan empat tahun lalu, yang menjadi sasaran junta kali ini adalah hampir semua etnis yang sebagian besar memang sudah lama memberontak dan kini berkoalisi dengan kelompok anti-junta pendukung Suu Kyi.
Tatmadaw menggulingkan Suu Kyi pada Februari 2021 dengan alasan kecurangan dalam pemilu 2020 padahal partai yang dipimpin pemimpin kharismatis ini menang telak dalam pemilu yang demokratis. Suu Kyi ditahan, kabinetnya dibubarkan, orang-orangnya ditahan.
Pembangkangan sipil pun terjadi, tapi kemudian ditindas dengan brutal oleh junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing, sampai pesawat tempur pun akhirnya dikerahkan ketika gerakan sipil menjadi pemberontakan nasional.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP), sejak kudeta, Tatmadaw dan polisi telah membunuh lebih dari 1.375 orang dan menangkap 11.200 orang.
Pembunuhan kerap dilakukan sistematis dan dalam skala massal. Human Rights Watch menyebut salah satu kasus pertama pembunuhan massal terjadi pada 14 Maret di Hlaing Tharyar di dekat Yangon.
Saksi mata mengatakan tentara menembaki demonstran dengan senapan serbu sampai menewaskan sedikitnya 65 orang.
Awalnya penentangan terhadap junta berlangsung damai lewat pembangkangan sipil. Namun karena junta kian brutal, sebagian gerakan perlawanan damai itu memutuskan angkat senjata.
Mei tahun lalu oposisi utama, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) membentuk sayap militer Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF). Empat bulan kemudian PDF memproklamasikan "perang defensif" melawan junta.
Kelompok-kelompok gerilya berbeda afiliasi juga bermunculan di pelosok negeri dengan tak semuanya bersetia kepada NUG. Junta pun kian kalap dengan menyerang siapa pun yang melindungi NUG dan semua afiliasinya.
Ironisnya perlawanan sipil bukannya menyurut, justru menyebar ke seluruh pelosok negeri, mulai dari Sagaing di bagian utara yang berbatasan dengan India, sampai Kayin yang berbatasan dengan Thailand.
Pun demikian dengan Kachin yang juga di utara tapi berbatasan dengan China, lalu Chin di bagian barat yang berbatasan dengan Bangladesh dan India. Kemudian Shan di bagian timur yang berbatasan dengan China dan Thailand, Kayah yang berbatasan dengan China, dan Magwwe yang berada di Myanmar tengah.
Tentara desersi
Konflik pun semakin brutal dari hari ke hari, apalagi Tatmadaw kerap melancarkan taktik bumi hangus yang disebut Kyaw Moe Tun sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan." Moe Tun sampai kini menolak meninggalkan posnya sebagai duta besar Myanmar untuk PBB kendati junta ingin menggantinya.
Salah satu kasus pertama pembumihangusan sistematis terjadi pada 9 Juli ketika tentara membanjiri Desa Yin dekat kota Kani di wilayah administratif Sagaing.
16 orang tewas setelah tentara menembaki warga secara membabi buta sampai berlarian masuk hutan. Tentara lalu mengepung satu kelompok warga di hutan itu, kata seorang wanita yang kemudian ditangkap bersama abangnya.
Sang wanita dibebaskan tetapi abangnya tidak. Tiga hari kemudian dia menemukan sang abang di hutan dalam keadaan membusuk dengan tubuh terikat ke pohon dan menyisakan bekas penyiksaan.
"Kami semua hidup dalam ketakutan," kata sang wanita yang seperti penduduk desa lainnya meminta tidak disebutkan namanya atas alasan keselamatan kepada Associated Press.
Bukannya takut, sebagian rakyat Myanmar memutuskan angkat senjata dengan motivasi berbeda-beda, termasuk menuntut balas atas kematian keluarga dan tetangga yang dibantai tentara.
Perlawanan pun semakin militan dan luas, sebaliknya respons junta juga semakin buas dan brutal.
Baca juga: Pemberontak Myanmar kubur 30 jasad tewas dalam serangan biadab
Penindasan yang semakin sporadis dan perlawanan yang semakin berani dari masyarakat itu sendiri telah mendemoralisasi Tatmadaw dan polisi sampai ribuan di antaranya melakukan desersi.
Menurut NUG, sejak kudeta Februari tahun lalu, 2.000 tentara dan 6.000 polisi melakukan desersi termasuk menyeberang ke daerah-daerah yang dikuasai pemberontak.
Mereka di antaranya difasilitasi oleh People’s Embrace and People’s Soldiers yang dibentuk para mantan tentara yang bersimpati kepada NUG dan kelompok-kelompok perlawanan etnis minoritas di negeri itu.
Asingkan junta
Nada yang tidak lagi sinkron dalam jajaran elite Tatmadaw sepertinya juga sudah mulai terlihat. Indikasinya dari dua jenderal penting Tatmadaw yang baru-baru ini dimutasi tiba-tiba seperti dilaporkan The Irrawaddy belakangan hari ini.
Keduanya adalah Letjen Aung Lin Dwe yang dicopot dari jabatan kepala pengadilan militer dan Kepala Staf Angkatan Udara Jenderal Maung Maung Kyaw yang dipaksa pensiun lebih cepat dari yang seharusnya.
Menurut laman The Irrawaddy, junta menyebut pencopotan kedua jenderal soal prosedur belaka, tetapi perwira-perwira pembelot menyebut kedua jenderal itu mungkin sudah tak mau lagi mendengar pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing.
Para desertir sendiri menilai Tatmadaw yang berkekuatan 300.000 prajurit tengah di ambang perpecahan. Indikasinya terlihat dari skala pembelotan yang begitu besar yang tak pernah terjadi selama enam puluh tahun terakhir. Selain itu ada ketidakpuasan dari kalangan prajurit yang merasa hanya dijadikan kacung oleh atasan mereka.
Hal itu kian dikuatkan oleh semakin brutalnya Tatmadaw yang justru memperlihatkan kefrustrasian mereka dalam melawan suara kritis dalam internalnya dan dalam menghadapi perlawanan yang semakin luas dan sengit baik dari NUG maupun dari kelompok-kelompok etnis minoritas.
Dialog damai seperti dimintakan ASEAN pun tidak diadopsi junta Myanmar padahal mereka sudah menjanjikan solusi damai kepada ASEAN.
Dan kenyataan seperti ini mesti membuat ASEAN semakin keras menekan junta. Jangan sampai tragedi kemanusiaan dan genosida seperti dialami Rohingya terjadi lagi di sana karena bisa merusak citra dan merongrong kredibilitas ASEAN, selain karena kekhawatiran menimbulkan masalah kompleks di kawasan.
Baca juga: Utusan PBB desak ASEAN lakukan pendekatan inklusif dalam krisis Myanmar
Sikap tegas seperti ditunjukkan Indonesia untuk tidak memberikan pengakuan kepada junta dengan mengecualikan mereka dari pertemuan-pertemuan ASEAN, harus dilanjutkan oleh organisasi kawasan ini.
Sebaliknya manuver seperti ditempuh PM Kamboja Hun Sen yang mengunjungi junta di Naypyidaw baru-baru ini, tak boleh terjadi lagi seperti ditegaskan dalam kritik para pemimpin ASEAN lainnya, termasuk PM Singapura Lee Hsien Loong belum lama ini.
Dunia dan ASEAN harus terus menekan junta dan tak memberi panggung yang bisa mengesankan adanya pengakuan untuk kudeta dan laku brutal mereka terhadap rakyatnya sendiri.