Jakarta (ANTARA) - Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) dan Jaringan HAM Sikka meminta Mabes Polri untuk mengambil alih penanganan kasus empat anak yang hilang/melarikan diri dari Shelter Santa Monika di NTT.
"TRUK-F dan Jaringan HAM di Sikka mengambil sikap tegas yakni melakukan advokasi ke tingkat nasional agar Mabes Polri dapat terlibat aktif dalam penanganan kasus ini," kata Utusan dari Truk-F dan Jaringan HAM Sikka, Suster Fransiska Imakulata dalam acara konferensi pers daring bertajuk "Laporan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Terhadap 17 Anak di Maumere" yang diikuti di Jakarta, Rabu, (30/3).
Pihaknya meminta agar kasus ini ditangani secara serius karena persoalan perdagangan orang di NTT cukup tinggi.
Kasus ini bermula ketika 17 anak diamankan tim Subdit IV Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTT saat merazia tempat hiburan malam di Kota Maumere pada 14 Juni 2021.
Tujuh belas anak itu rinciannya 4 anak dari Bandung, 12 anak dari Cianjur dan 1 anak dari Karawang.
Mereka diamankan dari empat tempat hiburan malam di Maumere yakni 8 anak diduga bekerja di Bintang Pub, 5 anak di Shasari Pub, 3 anak diduga pekerja di Pub 999 serta 1 anak diduga pekerja di Libra Pub.
Tujuh belas anak tersebut lalu dititipkan di Shelter Santa Monica TRUK untuk pendampingan.
Kemudian empat anak hilang secara misterius dari shelter pada 27 Juni 2021.
Kasus ini sudah dilaporkan ke Polda NTT dan Polres Sikka tapi empat anak tersebut hingga kini belum juga ditemukan.
"Polda NTT dan Polres Sikka terkesan tidak mampu atau kurang termotivasi untuk menangani kasus ini hingga tuntas," katanya.
Pihaknya menduga empat anak yang hilang itu ada kaitannya dengan pemilik Libra Pub dan pemilik Pub 999.
Baca juga: Polisi tangkap pelaku TPPO yang beroperasi lewat laut
Fransiska menambahkan sejauh ini, dalam kasus dugaan TPPO 17 anak tersebut, baru satu dari tiga pelaku yang diproses hukum yakni R, pemilik Pub Bintang dan Shasari.
Baca juga: Kejati NTT prioritas tangani perkara TPPO
"Pelaku lainnya belum tersentuh hukum sama sekali. Bahkan mereka masih dengan leluasa membuka pub-nya," katanya.
"TRUK-F dan Jaringan HAM di Sikka mengambil sikap tegas yakni melakukan advokasi ke tingkat nasional agar Mabes Polri dapat terlibat aktif dalam penanganan kasus ini," kata Utusan dari Truk-F dan Jaringan HAM Sikka, Suster Fransiska Imakulata dalam acara konferensi pers daring bertajuk "Laporan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Terhadap 17 Anak di Maumere" yang diikuti di Jakarta, Rabu, (30/3).
Pihaknya meminta agar kasus ini ditangani secara serius karena persoalan perdagangan orang di NTT cukup tinggi.
Kasus ini bermula ketika 17 anak diamankan tim Subdit IV Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTT saat merazia tempat hiburan malam di Kota Maumere pada 14 Juni 2021.
Tujuh belas anak itu rinciannya 4 anak dari Bandung, 12 anak dari Cianjur dan 1 anak dari Karawang.
Mereka diamankan dari empat tempat hiburan malam di Maumere yakni 8 anak diduga bekerja di Bintang Pub, 5 anak di Shasari Pub, 3 anak diduga pekerja di Pub 999 serta 1 anak diduga pekerja di Libra Pub.
Tujuh belas anak tersebut lalu dititipkan di Shelter Santa Monica TRUK untuk pendampingan.
Kemudian empat anak hilang secara misterius dari shelter pada 27 Juni 2021.
Kasus ini sudah dilaporkan ke Polda NTT dan Polres Sikka tapi empat anak tersebut hingga kini belum juga ditemukan.
"Polda NTT dan Polres Sikka terkesan tidak mampu atau kurang termotivasi untuk menangani kasus ini hingga tuntas," katanya.
Pihaknya menduga empat anak yang hilang itu ada kaitannya dengan pemilik Libra Pub dan pemilik Pub 999.
Baca juga: Polisi tangkap pelaku TPPO yang beroperasi lewat laut
Fransiska menambahkan sejauh ini, dalam kasus dugaan TPPO 17 anak tersebut, baru satu dari tiga pelaku yang diproses hukum yakni R, pemilik Pub Bintang dan Shasari.
Baca juga: Kejati NTT prioritas tangani perkara TPPO
"Pelaku lainnya belum tersentuh hukum sama sekali. Bahkan mereka masih dengan leluasa membuka pub-nya," katanya.