Jakarta (ANTARA) - Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek menghadirkan kisah hidup tokoh Kassian Chepas dalam pertunjukan monolog "Di Tepi Sejarah" musim kedua.
Kassian Cephas merupakan fotografer profesional bumiputera pertama pada masa Hindia Belanda yang memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan dunia fotografi negeri ini. Monolog yang diberi judul "Mata Kamera" itu menjadi judul kedua "Di Tepi Sejarah" setelah pada pekan lalu mementaskan "Kacamata Sjafruddin".
Penulis naskah "Mata Kamera" Hasta Indriyana memandang sosok Kassian Chepas sebagai fotografer yang menangkap identitas bangsa melalui kamera. Teknologi bagi Chepas bukan menjadi sebuah tujuan melainkan menjadi alat untuk membawa kabar mengenai kondisi di Hindia Belanda kepada dunia luar.
"Kassian Chepas seperti lensa yang memantulkan apa-apa yang ada di sekitarnya, lensa yang memancarkan keindahan sekaligus kepedihan secara apa adanya," kata Hasta melalui keterangan resminya, Kamis, (21/4).
Kassian Cephas lahir di Sleman pada 1845 dan menjadi anak angkat misionaris Belanda, Christina Petronella Philips. Ia mendapatkan didikan ala Eropa dan mendapatkan ilmu fotografi.
Chepas pernah menjadi abdi dalem penewu atau abdi dalem yang mendapatkan tugas khusus fotografi di Keraton Mataram. Pada saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mendukung Cephas untuk dapat mengakses perkembangan teknologi fotografi pada masanya.
Cephas membuat potret raja, keluarga kerajaan, upacara-upacara keraton, dan aktivitas masyarakat kebanyakan. Karya-karya Cephas kemudian bisa diakses masyarakat luas, termasuk dikenalkan ke dunia luar melalui buku-buku karangan Isaac Groneman.
Pada 1889, Cephas ditunjuk pemerintah Hindia Belanda sebagai fotografer profesional dalam proyek Karmawibangga yang mengeksplorasi Candi Borobudur untuk dikenalkan kepada dunia. Kemudian ia dikenal sebagai fotografer oleh masyarakat Eropa, khususnya melalui Kerajaan Belanda.
Karya-karya Kassian Cephas menjadi koleksi KITLV dan menjadi dokumentasi penting bagi titik mula fotografi Indonesia.
Monolog "Mata Kamera" disutaradarai dan diperankan oleh Muhammad Nur Qomaruddin, seorang aktor yang telah cukup lama bergabung di Teater Garasi. Ia mengatakan penciptaan semesta karakter tokoh di atas panggung menjadi tantangan dalam memerankan tokoh sejarah.
Dalam konteks Cephas yang hidup pada pengujung abad 19, Qomaruddin mengatakan keterbatasan sumber informasi yang dapat mendukung perwujudan peran atau membayangkan kehidupan pada masa tersebut menjadi tantangan utama.
Baca juga: Artikel - Teater Tungku Haram protes atas perdagangan manusia
"Tantangan itu justru merupakan peluang bagi saya untuk mengajukan bacaan dan tafsir personal saya atas Cephas," ujarnya.
Baca juga: Kritik terhadap RKUHP, mahasiswa Unwira gelar Teater Siluet
Pementasan "Mata Kamera" digelar dengan penonton terbatas di Gedung Kesenian Jakarta pada 20 dan 21 April. Sama seperti produksi "Di Tepi Sejarah" sebelumnya, monolog "Mata Kamera" akan ditayangkan secara daring di Indonesiana TV pada Agustus mendatang.
Kassian Cephas merupakan fotografer profesional bumiputera pertama pada masa Hindia Belanda yang memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan dunia fotografi negeri ini. Monolog yang diberi judul "Mata Kamera" itu menjadi judul kedua "Di Tepi Sejarah" setelah pada pekan lalu mementaskan "Kacamata Sjafruddin".
Penulis naskah "Mata Kamera" Hasta Indriyana memandang sosok Kassian Chepas sebagai fotografer yang menangkap identitas bangsa melalui kamera. Teknologi bagi Chepas bukan menjadi sebuah tujuan melainkan menjadi alat untuk membawa kabar mengenai kondisi di Hindia Belanda kepada dunia luar.
"Kassian Chepas seperti lensa yang memantulkan apa-apa yang ada di sekitarnya, lensa yang memancarkan keindahan sekaligus kepedihan secara apa adanya," kata Hasta melalui keterangan resminya, Kamis, (21/4).
Kassian Cephas lahir di Sleman pada 1845 dan menjadi anak angkat misionaris Belanda, Christina Petronella Philips. Ia mendapatkan didikan ala Eropa dan mendapatkan ilmu fotografi.
Chepas pernah menjadi abdi dalem penewu atau abdi dalem yang mendapatkan tugas khusus fotografi di Keraton Mataram. Pada saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mendukung Cephas untuk dapat mengakses perkembangan teknologi fotografi pada masanya.
Cephas membuat potret raja, keluarga kerajaan, upacara-upacara keraton, dan aktivitas masyarakat kebanyakan. Karya-karya Cephas kemudian bisa diakses masyarakat luas, termasuk dikenalkan ke dunia luar melalui buku-buku karangan Isaac Groneman.
Pada 1889, Cephas ditunjuk pemerintah Hindia Belanda sebagai fotografer profesional dalam proyek Karmawibangga yang mengeksplorasi Candi Borobudur untuk dikenalkan kepada dunia. Kemudian ia dikenal sebagai fotografer oleh masyarakat Eropa, khususnya melalui Kerajaan Belanda.
Karya-karya Kassian Cephas menjadi koleksi KITLV dan menjadi dokumentasi penting bagi titik mula fotografi Indonesia.
Monolog "Mata Kamera" disutaradarai dan diperankan oleh Muhammad Nur Qomaruddin, seorang aktor yang telah cukup lama bergabung di Teater Garasi. Ia mengatakan penciptaan semesta karakter tokoh di atas panggung menjadi tantangan dalam memerankan tokoh sejarah.
Dalam konteks Cephas yang hidup pada pengujung abad 19, Qomaruddin mengatakan keterbatasan sumber informasi yang dapat mendukung perwujudan peran atau membayangkan kehidupan pada masa tersebut menjadi tantangan utama.
Baca juga: Artikel - Teater Tungku Haram protes atas perdagangan manusia
"Tantangan itu justru merupakan peluang bagi saya untuk mengajukan bacaan dan tafsir personal saya atas Cephas," ujarnya.
Baca juga: Kritik terhadap RKUHP, mahasiswa Unwira gelar Teater Siluet
Pementasan "Mata Kamera" digelar dengan penonton terbatas di Gedung Kesenian Jakarta pada 20 dan 21 April. Sama seperti produksi "Di Tepi Sejarah" sebelumnya, monolog "Mata Kamera" akan ditayangkan secara daring di Indonesiana TV pada Agustus mendatang.