Kupang (AntaraNews NTT) - Sebanyak tiga kampung adat yang menjadi pusat budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur serta menjadi kawasan tujuan wisata unggulan, hangus terbakar dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
Kampung Adat Tarung di Kabupaten Sumba Barat yang berada di tengah ibu kota Sumba Barat, Waikabubak, hangus terbakar pada Oktober 2017 lalu.
Kampung adat ini menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di kabupaten itu. Hampir setiap hari kurang lebih 20-30 wisatawan berkunjung ke kampung itu untuk mengetahui kebudayaan asli masyarakat Sumba.
Berbagai macam hiasan seperti tanduk kerbau, hiasan-hiasan tentang kebudayaan setempat hangus dalam sekejap. Kebakaran kampung adat kedua terjadi pada 13 Agustus bulan lalu, yang terjadi di Kampung Adat Gurusina, Kabupaten Ngada, Pulau Flores.
Sekitar 27 rumah adat hangus terbakar dan hanya meninggalkan puing-puing rumah adat tersebut.
Kerugian akibat kebakaran itu diperkirakan mencapai miliaran rupiah, karena sejumlah harta benda pun hangus terbakar, dan kawasan wisata unggulan di kabupaten Ngada itupun tinggal kenangan.
Kebakaran kampung adat yang ketiga yakni Bodu Maroto atau Bondo Morotuo di Desa Kalembu Kuni, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumba Barat, yang baru saja terjadi pada Selasa (11/9) dini hari, pukul 00.30 WITA.
Sebanyak 17 rumah warga yang dihuni oleh 34 kepala keluarga yang terdiri atas 141 jiwa, serta satu rumah pertemuan yang merupakan bantuan dari Yayasan Pengembangan Sosial Donders, hangus terbakar.
Kampung adat Gurusina di Kecamatan Jerebu'u. Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Senin (13/8) terbakar yang mengakibatkan 27 dari 33 rumah adat yang ada ludes dijilat si jago merah. (ANTARA Foto/dok)
Lagi-lagi kampung adat yang menjadi kawasan wisata hangus dilahap di jago merah. Puluhan ekor ternak terbakar dan sebagian melarikan diri.
Kerugian terbakarnya kampung itu juga diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Tentu, penyebab kebakaran menjadi perhatian pemerintah daerah setempat bahkan bagi pemerintah provinsi untuk menjaga agar kejadian tersebut tidak menimpa kampung adat lainnya.
Kornelis Tagu Bore warga Bodo Maroto mengungkapkan api berawal dari sebuah rumah kecil dekat jalan masuk menuju kampung.
Api dengan cepat merambat dan mebakar habis rumah adat dan seluruh isinya karena bahan bangunan rumah adat terbuat dari kayu yang beratapkan ilalang yang berdekatan satu sama lainya.
"Api mulai dari rumah kecil, pemiliknya bapak Bena Kabulu Mete, di sebelah kiri masuk kampung. Pada saat terbakar semua warga sedang tidur lelap, dan ketika mendengar bunyi bambu terbakar, seorang ibu keluar berteriak ada api sehingga semua warga keluar menyelamatkan diri dan barang," kata Kornelis.
Menurut Kornelis, pada saat kejadian sekitar seratus enam puluh penghuni kampung hanya bisa menyelamatkan sebagin kecil barang dalam rumah karena api begitu cepat, hingga semua bahan makanan juga habis terbakar, begitu juga sebagian besar barang adat peninggalan leluhur dan sebagian besar ternak peliharaan.
"Kami berusaha menelpon mobil pemadam, tetapi tidak datang. Kami berusaha memadamkan api dengan cara menyiram dengan ember, tetapi kobaran api kian cepat membesar, apalagi ada hembusan angin malam itu," tutur Kornelis.
Dari sejumlah kasus kebakaran itu, penyebab kebakaran kampung adat bermula dari hubungan arus pendek listrik dari salah satu rumah yang berujung pada rumah adat lainnya.
Sebuah perkampungan adat di Sumba Barat, Pulau Sumba, NTT ludes dialalap si jago merah. (ANTARA Foto/dok)
Perlu diketahui kampung adat yang dibangun di NTT, seluruh bangunannya terbuat dari kayu yang mudah terbakar. Sementara atapnya terbuat dari alang-alang atau rumput liar yang diambil dari kawasan padang rumput.
Dengan bentuk rumah seperti itu, terkena api sekecil apapun pasti akan langsung menjadi bencana seperti yang terjadi di tiga kampung ada di NTT itu.
Diperlukan Hidran
Tiga kampung adat yang terbakar ini menjadi perhatian khusus dari Dinas Pariwisata NTT. Kadis Pariwisata NTT Marius Ardu Jelamu menyatakan kampung-kampung adat perlu dilengkapi dengan hidran guna mengantisipasi terjadinya kebakaran.
"Kampung-kampung adat kita di NTT yang jumlahnya mencapai ratusan ini perlu dilengkapi dengan hidran air sehingga ketika terjadi kebakaran bisa cepat dipadamkan," ujarnya.
Marius mengakui kondisi kampung adat dengan rumah-rumah yang dibangun mengunakan bahan-bahan tradisional seperti kayu, alang-alang, dan bambu rawan terbakar ketika disambar api.
Untuk itu, dibutuhkan upaya antisipasi dini dengan pengadaan fasilitas pemadaman seperti hidran air untuk mencegah sambaran api di rumah-rumah yang pada umumnya saling berdekatan.
Ia mencontohkan, salah satu kampung adat yang sudah dilengkapi fasilitas hidran yaitu Bena, di Kabupaten Ngada, Pulau Flores.
Sementara, ada ratusan kampung adat lainnya yang dimiliki NTT yang pada umumnya belum ada fasilitas hidran itu. Jika, tidak dijaga dengan baik, maka kasus seperti tiga kampung sebelumnya bisa saja terjadi lagi.
Untuk itu, pemerintah kabupaten yang memiliki kampung adat, agar mengadakan fasilitas hidran untuk mengurangi risiko kebakaran agar aset wisata budaya itu terjaga.
Kejadian terbakarnya kampung adat?diharapkan menjadi perhatian bagi warga di kampung adat lainnya untuk selalu memperhatikan kondisi tungku api di dapurnya masing-masing sebelum beraktivitas di luar rumah.
Kampung adat Gurusina di Kecamatan Jerebu'u. Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sebelum terbakar pada Senin (13/8) sore. (ANTARA Foto)
"Warga juga harus waspada, jangan sampai tungku api dibiarkan menyala dan dekat dengan langit-langit rumah atau dinding yang semuanya dari bahan mudah terbakar," katanya.
Tak hanya soal hidran, ia juga meminta instalasi kelistrikan di lokasi wisata kampung-kampung adat dirancang secara khusus sehingga terlindung dari bahaya hubungan pendek arus listrik.
Ia mencontohkan Kampung Adat Gurusina di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, yang terbakar beberapa waktu lalu yang diduga kuat akibat hubungan pendek arus listrik.
"Sebelumnya juga ada kampung adat Tarung di Pulau di Sumba dengan dugaan yang sama, kami berharap peristiwa ini tidak terjadi pada kampung-kampung adat lain di NTT," katanya.
Untuk itu, Marius meminta sistem kelistrikan pada ratusan kampung adat di NTT agar dibangun dengan rancangan khusus. "Misalnya ketika korsleting secara otomatis padam semua atau seperti apalah rancangannya," katanya.
Perbaikan Kampung Adat
Terbakarnya tiga kampung adat itu tentu menjadi perhatian bagi sejumlah pihak untuk memberikan bantuan perbaikan agar kawasan kampung adat itu bisa kembali seperti semula.
Kasus terbakarnya Kampung Adat Tarung di Sumba Barat pada Oktober 2017 lalu mendapat perhatian serius dari Kemenpar RI dan langsung memberikan bantuan berupa perbaikan kampung adat itu.
Salah satu perkampungan adat di Sumba, NTT (ANTARA Foto/dok)
Hingga saat ini Kampung Adat Tarung sedang dalam pembangunan agar menjadi kawasan wisata lagi.
Selain Kampung Adat Tarung, Kampung Adat Gurusina di Ngada juga menjadi perhatian dari pemerintah pusat melalui sejumlah badan usaha milik negara (BUMN).
Salah satunya adalah PT Jasa Raharja yang memberikan bantuan peralatan rumah tangga senilai Rp87 juta lebih bagi para korban.
Kepala PT Jasa Raharja Cabang Nusa Tenggara Timur, Prastio Surahmanto, dalam penjelasannya mengatakan bantuan kemanusiaan bagi korban kebakaran di Gurisina dilakukan melalui program Bina Lingkungan PT Jasa Raharja.
PT Jasa Raharja sebagai salah satu BUMN yang melaksanakan UU No.33 tahun 1964 juga memiliki tangungjawab sosial untuk memberdayakan masyarakat.
Terlepas dari bantuan untuk perbaikan dan bagi warga yang kehilangan sejumlah barangnya, kejadian serupa diharapkan tidak terulang lagi. Masyarakat, warga dan wisatawan diimbau untuk lebih berhati-hati menjaga dan melindungi warisan lelulur yang ada di kampung adat itu.
Kampung adat Gurusina di Kecamatan Jerebu'u. Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sebelum terbakar pada Senin (13/8) sore. (ANTARA Foto/dok)
Kampung Adat Tarung di Kabupaten Sumba Barat yang berada di tengah ibu kota Sumba Barat, Waikabubak, hangus terbakar pada Oktober 2017 lalu.
Kampung adat ini menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di kabupaten itu. Hampir setiap hari kurang lebih 20-30 wisatawan berkunjung ke kampung itu untuk mengetahui kebudayaan asli masyarakat Sumba.
Berbagai macam hiasan seperti tanduk kerbau, hiasan-hiasan tentang kebudayaan setempat hangus dalam sekejap. Kebakaran kampung adat kedua terjadi pada 13 Agustus bulan lalu, yang terjadi di Kampung Adat Gurusina, Kabupaten Ngada, Pulau Flores.
Sekitar 27 rumah adat hangus terbakar dan hanya meninggalkan puing-puing rumah adat tersebut.
Kerugian akibat kebakaran itu diperkirakan mencapai miliaran rupiah, karena sejumlah harta benda pun hangus terbakar, dan kawasan wisata unggulan di kabupaten Ngada itupun tinggal kenangan.
Kebakaran kampung adat yang ketiga yakni Bodu Maroto atau Bondo Morotuo di Desa Kalembu Kuni, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumba Barat, yang baru saja terjadi pada Selasa (11/9) dini hari, pukul 00.30 WITA.
Sebanyak 17 rumah warga yang dihuni oleh 34 kepala keluarga yang terdiri atas 141 jiwa, serta satu rumah pertemuan yang merupakan bantuan dari Yayasan Pengembangan Sosial Donders, hangus terbakar.
Kerugian terbakarnya kampung itu juga diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Tentu, penyebab kebakaran menjadi perhatian pemerintah daerah setempat bahkan bagi pemerintah provinsi untuk menjaga agar kejadian tersebut tidak menimpa kampung adat lainnya.
Kornelis Tagu Bore warga Bodo Maroto mengungkapkan api berawal dari sebuah rumah kecil dekat jalan masuk menuju kampung.
Api dengan cepat merambat dan mebakar habis rumah adat dan seluruh isinya karena bahan bangunan rumah adat terbuat dari kayu yang beratapkan ilalang yang berdekatan satu sama lainya.
"Api mulai dari rumah kecil, pemiliknya bapak Bena Kabulu Mete, di sebelah kiri masuk kampung. Pada saat terbakar semua warga sedang tidur lelap, dan ketika mendengar bunyi bambu terbakar, seorang ibu keluar berteriak ada api sehingga semua warga keluar menyelamatkan diri dan barang," kata Kornelis.
Menurut Kornelis, pada saat kejadian sekitar seratus enam puluh penghuni kampung hanya bisa menyelamatkan sebagin kecil barang dalam rumah karena api begitu cepat, hingga semua bahan makanan juga habis terbakar, begitu juga sebagian besar barang adat peninggalan leluhur dan sebagian besar ternak peliharaan.
"Kami berusaha menelpon mobil pemadam, tetapi tidak datang. Kami berusaha memadamkan api dengan cara menyiram dengan ember, tetapi kobaran api kian cepat membesar, apalagi ada hembusan angin malam itu," tutur Kornelis.
Dari sejumlah kasus kebakaran itu, penyebab kebakaran kampung adat bermula dari hubungan arus pendek listrik dari salah satu rumah yang berujung pada rumah adat lainnya.
Dengan bentuk rumah seperti itu, terkena api sekecil apapun pasti akan langsung menjadi bencana seperti yang terjadi di tiga kampung ada di NTT itu.
Diperlukan Hidran
Tiga kampung adat yang terbakar ini menjadi perhatian khusus dari Dinas Pariwisata NTT. Kadis Pariwisata NTT Marius Ardu Jelamu menyatakan kampung-kampung adat perlu dilengkapi dengan hidran guna mengantisipasi terjadinya kebakaran.
"Kampung-kampung adat kita di NTT yang jumlahnya mencapai ratusan ini perlu dilengkapi dengan hidran air sehingga ketika terjadi kebakaran bisa cepat dipadamkan," ujarnya.
Marius mengakui kondisi kampung adat dengan rumah-rumah yang dibangun mengunakan bahan-bahan tradisional seperti kayu, alang-alang, dan bambu rawan terbakar ketika disambar api.
Untuk itu, dibutuhkan upaya antisipasi dini dengan pengadaan fasilitas pemadaman seperti hidran air untuk mencegah sambaran api di rumah-rumah yang pada umumnya saling berdekatan.
Ia mencontohkan, salah satu kampung adat yang sudah dilengkapi fasilitas hidran yaitu Bena, di Kabupaten Ngada, Pulau Flores.
Sementara, ada ratusan kampung adat lainnya yang dimiliki NTT yang pada umumnya belum ada fasilitas hidran itu. Jika, tidak dijaga dengan baik, maka kasus seperti tiga kampung sebelumnya bisa saja terjadi lagi.
Untuk itu, pemerintah kabupaten yang memiliki kampung adat, agar mengadakan fasilitas hidran untuk mengurangi risiko kebakaran agar aset wisata budaya itu terjaga.
Kejadian terbakarnya kampung adat?diharapkan menjadi perhatian bagi warga di kampung adat lainnya untuk selalu memperhatikan kondisi tungku api di dapurnya masing-masing sebelum beraktivitas di luar rumah.
Tak hanya soal hidran, ia juga meminta instalasi kelistrikan di lokasi wisata kampung-kampung adat dirancang secara khusus sehingga terlindung dari bahaya hubungan pendek arus listrik.
Ia mencontohkan Kampung Adat Gurusina di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, yang terbakar beberapa waktu lalu yang diduga kuat akibat hubungan pendek arus listrik.
"Sebelumnya juga ada kampung adat Tarung di Pulau di Sumba dengan dugaan yang sama, kami berharap peristiwa ini tidak terjadi pada kampung-kampung adat lain di NTT," katanya.
Untuk itu, Marius meminta sistem kelistrikan pada ratusan kampung adat di NTT agar dibangun dengan rancangan khusus. "Misalnya ketika korsleting secara otomatis padam semua atau seperti apalah rancangannya," katanya.
Perbaikan Kampung Adat
Terbakarnya tiga kampung adat itu tentu menjadi perhatian bagi sejumlah pihak untuk memberikan bantuan perbaikan agar kawasan kampung adat itu bisa kembali seperti semula.
Kasus terbakarnya Kampung Adat Tarung di Sumba Barat pada Oktober 2017 lalu mendapat perhatian serius dari Kemenpar RI dan langsung memberikan bantuan berupa perbaikan kampung adat itu.
Selain Kampung Adat Tarung, Kampung Adat Gurusina di Ngada juga menjadi perhatian dari pemerintah pusat melalui sejumlah badan usaha milik negara (BUMN).
Salah satunya adalah PT Jasa Raharja yang memberikan bantuan peralatan rumah tangga senilai Rp87 juta lebih bagi para korban.
Kepala PT Jasa Raharja Cabang Nusa Tenggara Timur, Prastio Surahmanto, dalam penjelasannya mengatakan bantuan kemanusiaan bagi korban kebakaran di Gurisina dilakukan melalui program Bina Lingkungan PT Jasa Raharja.
PT Jasa Raharja sebagai salah satu BUMN yang melaksanakan UU No.33 tahun 1964 juga memiliki tangungjawab sosial untuk memberdayakan masyarakat.
Terlepas dari bantuan untuk perbaikan dan bagi warga yang kehilangan sejumlah barangnya, kejadian serupa diharapkan tidak terulang lagi. Masyarakat, warga dan wisatawan diimbau untuk lebih berhati-hati menjaga dan melindungi warisan lelulur yang ada di kampung adat itu.