Kupang (ANTARA) - Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyerukan penghentian penggunaan kemasan plastik sekali pakai seperti sachet dan lainnya yang sampahnya tidak dapat didaur ulang secara aman dan berkelanjutan sehingga mencemari lingkungan.
"Kami lakukan kampanye stop sachet untuk mengubah narasi daur ulang kemasan sachet menjadi guna ulang dan isi ulang secara signifikan, kata Perwakilan AZWI Rahyang Nusantara dalam keterangan yang diterima di Kupang, Senin (18/7).
Pihaknya juga mendorng adanya kepatuhan terhadap kebijakan nasional mengenai konsumsi dan konsumsi plastik oleh produsen.
Sementara itu Manager Program ECOTON, Dr Daru Setyorini menjabarkan sejumlah fakta yang ditemukan dalam pelaksanaan Program Ekspedisi Sungai Nusantara yang digelar sejak awal 2022.
Tim ekspedisi menemukan Sungai Ciliwung yang kini dibanjiri sampah sachet yang diproduksi perusahaan domestik dan global.
Sachet merupakan sampah kemasan plastik fleksibel berukuran kecil yang tidak bisa didaur ulang.
Ia menjelaskan kemasan sachet ini mudah tersebar dan tersangkut di dahan dan akar pohon tepi sungai, melepaskan jutaan partikel mikroplastik yang mengandung bahan kimia ftalat dan EVOH yang beracun yang bisa mengganggu sistem hormon dan pemicu kanker.
Co-Founder Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, menjelaskan bahwa kemasan sekali pakai berbahan plastik berpotensi memindahkan senyawa kimia berbahaya seperti PFAS ke makanan.
Untuk membuat kemasan tahan cuaca, kata dia juga digunakan senyawa-senyawa berbahaya lainnya seperti UV-328.
“Penggunaan senyawa-senyawa berbahaya dalam kemasan sachet ini bukan hanya berbahaya terhadap kesehatan konsumen tetapi juga terakumulasi di lingkungan. Kimia-kimia ini juga akan menyebabkan ekonomi sirkular yang toksik,” jelas Yuyun.
AZWI menilai tanggung jawab untuk menyelesaikan krisis sampah sachet sejatinya tak hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga produsen.
Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, setiap produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan.
Sementara itu Founder Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some, mengatakan sejauh ini tanggung jawab produsen terhadap sampahnya masih kecil.
Dia mencontohkan proses daur ulang yang dilakukan Unilever dari sampah rumah tangga yang sudah tidak berjalan lagi sejak 2019.
Koordinator Program Break Free From Plastic Asia Pasifik, Miko Aliño menyebutkan bahwa beberapa daerah di Indonesia dan Asia pada umumnya memiliki kapasitas terbatas untuk menangani limbah sachet plastik dengan aman, dan seringkali memaksa pemerintah daerah untuk memilih opsi penanganan yang sangat berpolusi seperti teknologi insinerasi.
Alhasil, katanya, penanganan yang diberikan hanya sebatas solusi semu yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah.
"Kami meminta perusahaan untuk berhenti memproduksi dan membakar sachet, dan sebaliknya berinvestasi secara signifikan dalam sistem penggunaan kembali dan isi ulang," katanya.
Sebelumnya, hasil brand audit Greenpeace Indonesia Juni 2022 mengungkap tiga merek pencemar terbesar di Pulau Tidung.
Di antaranya, bungkus Indomie produk Indofood paling banyak ditemukan, kemudian bungkus rokok Gudang Garam, dan bungkus biskuit Roma produk Mayora. Sedang tipe sampah tidak bermerek yang paling banyak ditemukan adalah puntung rokok, sedotan plastik, dan kantong plastik/kresek.
Greenpeace menyebutkan pencegahan sampah plastik ini tidak hanya tanggung jawab konsumen yang membuang sampah di pinggir pantai saja, tapi sudah saatnya produsen juga bertanggung jawab dengan polusi plastik dengan mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai untuk produknya.
"Kami akan terus mengkampanyekan pemakaian guna ulang ini melalui sosial media," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi.
Dia menambahkan kampanye Greenpeace saat ini juga lebih mendorong ke arah produsen dengan mengajak masyarakat ikut meminta mereka agar beralih ke produk-produk refil dan mengurangi produk sekali pakai.
"Kami lakukan kampanye stop sachet untuk mengubah narasi daur ulang kemasan sachet menjadi guna ulang dan isi ulang secara signifikan, kata Perwakilan AZWI Rahyang Nusantara dalam keterangan yang diterima di Kupang, Senin (18/7).
Pihaknya juga mendorng adanya kepatuhan terhadap kebijakan nasional mengenai konsumsi dan konsumsi plastik oleh produsen.
Sementara itu Manager Program ECOTON, Dr Daru Setyorini menjabarkan sejumlah fakta yang ditemukan dalam pelaksanaan Program Ekspedisi Sungai Nusantara yang digelar sejak awal 2022.
Tim ekspedisi menemukan Sungai Ciliwung yang kini dibanjiri sampah sachet yang diproduksi perusahaan domestik dan global.
Sachet merupakan sampah kemasan plastik fleksibel berukuran kecil yang tidak bisa didaur ulang.
Ia menjelaskan kemasan sachet ini mudah tersebar dan tersangkut di dahan dan akar pohon tepi sungai, melepaskan jutaan partikel mikroplastik yang mengandung bahan kimia ftalat dan EVOH yang beracun yang bisa mengganggu sistem hormon dan pemicu kanker.
Co-Founder Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, menjelaskan bahwa kemasan sekali pakai berbahan plastik berpotensi memindahkan senyawa kimia berbahaya seperti PFAS ke makanan.
Untuk membuat kemasan tahan cuaca, kata dia juga digunakan senyawa-senyawa berbahaya lainnya seperti UV-328.
“Penggunaan senyawa-senyawa berbahaya dalam kemasan sachet ini bukan hanya berbahaya terhadap kesehatan konsumen tetapi juga terakumulasi di lingkungan. Kimia-kimia ini juga akan menyebabkan ekonomi sirkular yang toksik,” jelas Yuyun.
AZWI menilai tanggung jawab untuk menyelesaikan krisis sampah sachet sejatinya tak hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga produsen.
Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, setiap produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan.
Sementara itu Founder Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some, mengatakan sejauh ini tanggung jawab produsen terhadap sampahnya masih kecil.
Dia mencontohkan proses daur ulang yang dilakukan Unilever dari sampah rumah tangga yang sudah tidak berjalan lagi sejak 2019.
Koordinator Program Break Free From Plastic Asia Pasifik, Miko Aliño menyebutkan bahwa beberapa daerah di Indonesia dan Asia pada umumnya memiliki kapasitas terbatas untuk menangani limbah sachet plastik dengan aman, dan seringkali memaksa pemerintah daerah untuk memilih opsi penanganan yang sangat berpolusi seperti teknologi insinerasi.
Alhasil, katanya, penanganan yang diberikan hanya sebatas solusi semu yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah.
"Kami meminta perusahaan untuk berhenti memproduksi dan membakar sachet, dan sebaliknya berinvestasi secara signifikan dalam sistem penggunaan kembali dan isi ulang," katanya.
Sebelumnya, hasil brand audit Greenpeace Indonesia Juni 2022 mengungkap tiga merek pencemar terbesar di Pulau Tidung.
Di antaranya, bungkus Indomie produk Indofood paling banyak ditemukan, kemudian bungkus rokok Gudang Garam, dan bungkus biskuit Roma produk Mayora. Sedang tipe sampah tidak bermerek yang paling banyak ditemukan adalah puntung rokok, sedotan plastik, dan kantong plastik/kresek.
Greenpeace menyebutkan pencegahan sampah plastik ini tidak hanya tanggung jawab konsumen yang membuang sampah di pinggir pantai saja, tapi sudah saatnya produsen juga bertanggung jawab dengan polusi plastik dengan mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai untuk produknya.
"Kami akan terus mengkampanyekan pemakaian guna ulang ini melalui sosial media," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi.
Dia menambahkan kampanye Greenpeace saat ini juga lebih mendorong ke arah produsen dengan mengajak masyarakat ikut meminta mereka agar beralih ke produk-produk refil dan mengurangi produk sekali pakai.