Jakarta (ANTARA) - Bagi para pembelajar komunikasi, model komunikasi Laswell “siapa mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa, dengan dampak apa” merupakan sebuah model klasik yang mendasari segala bentuk komunikasi.
Bila tidak memenuhi seluruh unsur tersebut, maka bentuk komunikasi yang terjadi tidak bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi yang baik. Begitu pula dengan komunikasi massa yang memiliki banyak definisi, menurut para ahli dari yang paling klasik, hingga yang paling kontemporer.
Inti dari komunikasi massa adalah bentuk penyampaian pesan dari komunikator kepada khalayak menggunakan media massa. Dalam perkembangannya, media massa telah mengalami banyak perubahan, mengikuti perkembangan teknologi informasi seiring dengan revolusi industri.
Penciptaan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada 1455, pengembangan radio dan televisi mulai abad 20, hingga kemunculan internet dan media sosial telah mengubah bentuk-bentuk komunikasi massa.
Menurut Weight, bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim, pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, dan bersifat sekilas, terutama untuk media elektronik, seperti siaran radio dan televisi (Rakhmat dalam Komala, dalam Karlinah, dalam Romli, 2016).
Sedangkan Baran dan Davis (2010) berpendapat ketika sebuah organisasi menggunakan teknologi sebagai sebuah media untuk berkomunikasi dengan khalayak yang besar, maka akan terjadi komunikasi massa.
Para praktisi pers dan jurnalistik menggunakan media cetak dan surat kabar untuk menjangkau pembaca mereka. Para penulis, produser, pembuat film, dan para praktisi lainnya di rumah produksi menggunakan beragam teknologi audio dan video, satelit, televisi kabel, serta pemancar rumah untuk berkomunikasi dengan khalayak mereka.
Di era media sosial, para kreator konten dan pemengaruh menggunakan media sosial untuk menjangkau khalayak dan pengikut mereka. Terdapat beberapa definisi media sosial, menurut para ahli komunikasi.
Namun, secara ringkas, media sosial dapat disebut sebagai media di internet yang memungkinkan komunikator menyampaikan pesan tanpa ada campur tangan sensor atau penyuntingan, sebagaimana terjadi pada media massa konvensional yang memungkinkan interaksi dan kerja sama dengan khalayak, bahkan membentuk ikatan secara virtual.
Menurut Boyd (2009), media sosial merupakan kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain.
Media sosial memiliki kekuatan pada user-generated content, yaitu konten yang dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa (Nasrullah, 2017).
Sedangkan Van Dijk (2013) berpendapat media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi.
Karena itu, media sosial dapat dilihat sebagai medium atau fasilitator daring yang menguatkan hubungan antarpengguna, sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial (Nasrullah, 2017).
Perubahan Komunikasi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan kemunculan internet dan media sosial telah mengubah bentuk-bentuk komunikasi massa. Internet dan media sosial telah mendekatkan para komunikator dengan khalayaknya dengan jangkauan yang semakin luas.
Baca juga: Opini - N-250 Gatotkoco, pembuktian kemampuan anak bangsa
Dengan internet dan media sosial, siapa pun bisa menjadi komunikator dan memiliki khalayaknya sendiri. Bila sebelumnya seorang pejabat negara ingin menyampaikan kebijakan negara yang baru kepada khalayak harus menggelar jumpa pers dan mengundang media massa, internet dan media sosial memungkinkan seorang pejabat negara langsung menjangkau khalayak tanpa harus melalui media massa.
Saat ini, khalayak tidak perlu lagi menyalakan pesawat televisi dan memilih saluran televisi berita untuk mengikuti pidato presiden di depan parlemen setiap 16 Agustus karena Kantor Staf Kepresidenan menyiarkannya langsung melalui kanal Youtube resmi kepresidenan.
Khalayak tidak perlu lagi membaca koran untuk mengetahui presiden dan sejumlah pejabat negara hadir di acara perkawinan seorang figur publik karena Kementerian Sekretariat Negara menginformasikannya langsung melalui akun Twitter resmi kementerian.
Bila komunikator dapat menjangkau khalayak secara langsung menggunakan media sosial, lalu bagaimana eksistensi media konvensional yang dikelola perusahaan pers dan jurnalis?
Bersamaan dengan itu, perilaku konsumsi informasi khalayak berubah.
Media sosial saat ini telah menjadi sumber informasi khalayak, daripada media konvensional; bahkan pers dan jurnalis tidak jarang mengambil informasi yang ada di media sosial untuk pemberitaannya.
Media sosial pada dasarnya adalah platform berbagi yang terhubung dengan jaringan internet. Siapa pun dan di mana pun, selama dia memiliki gawai, akun media sosial, dan jaringan internet; dapat membuat dan menyebarluaskan konten apa pun.
Baca juga: Opini - Indonesia Merdeka, akhir dari kisah panjang perjuangan bangsa
Konten di media sosial tidak terikat pada aturan-aturan sebagaimana terjadi pada media konvensional. Kreator konten relatif tidak terikat pada aturan dan tidak memiliki kode etik, sehingga kredibilitas informasi yang dibuat di media sosial menjadi dipertanyakan.
Sebaliknya, pers dan media massa memiliki kredibilitas dan kode etik. Karena itu, pers dan media massa memiliki peran untuk memberikan informasi yang benar dan terpercaya untuk masyarakat.
Di era media sosial dan hoaks, pers dan media massa memiliki peran untuk melawan hoaks dan disinformasi serta sebagai clearing house. Pers dan media massa masih memiliki peran untuk memberikan informasi yang kredibel dan terpercaya, serta menjernihkan hoaks dan disinformasi yang ada di media, salah satunya melalui berita cek fakta.
*) Dewanto Samodro adalah dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Quo vadis pers dan jurnalisme di era media sosial
Bila tidak memenuhi seluruh unsur tersebut, maka bentuk komunikasi yang terjadi tidak bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi yang baik. Begitu pula dengan komunikasi massa yang memiliki banyak definisi, menurut para ahli dari yang paling klasik, hingga yang paling kontemporer.
Inti dari komunikasi massa adalah bentuk penyampaian pesan dari komunikator kepada khalayak menggunakan media massa. Dalam perkembangannya, media massa telah mengalami banyak perubahan, mengikuti perkembangan teknologi informasi seiring dengan revolusi industri.
Penciptaan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada 1455, pengembangan radio dan televisi mulai abad 20, hingga kemunculan internet dan media sosial telah mengubah bentuk-bentuk komunikasi massa.
Menurut Weight, bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim, pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, dan bersifat sekilas, terutama untuk media elektronik, seperti siaran radio dan televisi (Rakhmat dalam Komala, dalam Karlinah, dalam Romli, 2016).
Sedangkan Baran dan Davis (2010) berpendapat ketika sebuah organisasi menggunakan teknologi sebagai sebuah media untuk berkomunikasi dengan khalayak yang besar, maka akan terjadi komunikasi massa.
Para praktisi pers dan jurnalistik menggunakan media cetak dan surat kabar untuk menjangkau pembaca mereka. Para penulis, produser, pembuat film, dan para praktisi lainnya di rumah produksi menggunakan beragam teknologi audio dan video, satelit, televisi kabel, serta pemancar rumah untuk berkomunikasi dengan khalayak mereka.
Di era media sosial, para kreator konten dan pemengaruh menggunakan media sosial untuk menjangkau khalayak dan pengikut mereka. Terdapat beberapa definisi media sosial, menurut para ahli komunikasi.
Namun, secara ringkas, media sosial dapat disebut sebagai media di internet yang memungkinkan komunikator menyampaikan pesan tanpa ada campur tangan sensor atau penyuntingan, sebagaimana terjadi pada media massa konvensional yang memungkinkan interaksi dan kerja sama dengan khalayak, bahkan membentuk ikatan secara virtual.
Menurut Boyd (2009), media sosial merupakan kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain.
Media sosial memiliki kekuatan pada user-generated content, yaitu konten yang dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa (Nasrullah, 2017).
Sedangkan Van Dijk (2013) berpendapat media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi.
Karena itu, media sosial dapat dilihat sebagai medium atau fasilitator daring yang menguatkan hubungan antarpengguna, sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial (Nasrullah, 2017).
Perubahan Komunikasi
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan kemunculan internet dan media sosial telah mengubah bentuk-bentuk komunikasi massa. Internet dan media sosial telah mendekatkan para komunikator dengan khalayaknya dengan jangkauan yang semakin luas.
Baca juga: Opini - N-250 Gatotkoco, pembuktian kemampuan anak bangsa
Dengan internet dan media sosial, siapa pun bisa menjadi komunikator dan memiliki khalayaknya sendiri. Bila sebelumnya seorang pejabat negara ingin menyampaikan kebijakan negara yang baru kepada khalayak harus menggelar jumpa pers dan mengundang media massa, internet dan media sosial memungkinkan seorang pejabat negara langsung menjangkau khalayak tanpa harus melalui media massa.
Saat ini, khalayak tidak perlu lagi menyalakan pesawat televisi dan memilih saluran televisi berita untuk mengikuti pidato presiden di depan parlemen setiap 16 Agustus karena Kantor Staf Kepresidenan menyiarkannya langsung melalui kanal Youtube resmi kepresidenan.
Khalayak tidak perlu lagi membaca koran untuk mengetahui presiden dan sejumlah pejabat negara hadir di acara perkawinan seorang figur publik karena Kementerian Sekretariat Negara menginformasikannya langsung melalui akun Twitter resmi kementerian.
Bila komunikator dapat menjangkau khalayak secara langsung menggunakan media sosial, lalu bagaimana eksistensi media konvensional yang dikelola perusahaan pers dan jurnalis?
Bersamaan dengan itu, perilaku konsumsi informasi khalayak berubah.
Media sosial saat ini telah menjadi sumber informasi khalayak, daripada media konvensional; bahkan pers dan jurnalis tidak jarang mengambil informasi yang ada di media sosial untuk pemberitaannya.
Media sosial pada dasarnya adalah platform berbagi yang terhubung dengan jaringan internet. Siapa pun dan di mana pun, selama dia memiliki gawai, akun media sosial, dan jaringan internet; dapat membuat dan menyebarluaskan konten apa pun.
Baca juga: Opini - Indonesia Merdeka, akhir dari kisah panjang perjuangan bangsa
Konten di media sosial tidak terikat pada aturan-aturan sebagaimana terjadi pada media konvensional. Kreator konten relatif tidak terikat pada aturan dan tidak memiliki kode etik, sehingga kredibilitas informasi yang dibuat di media sosial menjadi dipertanyakan.
Sebaliknya, pers dan media massa memiliki kredibilitas dan kode etik. Karena itu, pers dan media massa memiliki peran untuk memberikan informasi yang benar dan terpercaya untuk masyarakat.
Di era media sosial dan hoaks, pers dan media massa memiliki peran untuk melawan hoaks dan disinformasi serta sebagai clearing house. Pers dan media massa masih memiliki peran untuk memberikan informasi yang kredibel dan terpercaya, serta menjernihkan hoaks dan disinformasi yang ada di media, salah satunya melalui berita cek fakta.
*) Dewanto Samodro adalah dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Quo vadis pers dan jurnalisme di era media sosial