Waikabubak, Sumba Barat (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Timur, meminta Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah untuk menindak manajemen resor yang berlokasi di Pantai Lima Bidadari atau Pantai Aili karena diduga melanggar sempadan pantai.
“Pemerintah harus menegakkan aturan,” kata Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamhu Paranggi dalam rilis yang diterima di Kupang, Jumat, (15/9/2022).
Hal ini disampaikan Umbu Wulang berkaitan dengan dugaan pelanggaran aturan oleh resor tersebut karena mendirikan bangunan menjorok ke pantai dan melakukan privatisasi pantai.
"Resor itu diduga melanggar sempadan pantai karena berada persis di bibir Pantai Lima Bidadari. Jarak bangunan resor bahkan kurang dari 100 meter dari bibir pantai," katanya.
Umbu Wulang mengungkapkan temuan lembaganya bahwa lebih dari 90 persen investasi pariwisata di kawasan pesisir NTT menabrak aturan sempadan pantai. Beberapa lokasi tersebut antara lain di Labuan Bajo, Sumba, dan Kota Kupang.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan, privatisasi pantai dan pelanggaran sempadan oleh pelaku pariwisata di Sumba diduga sudah berlangsung lama.
Padahal, lanjut dia, Perpres 51/2016 tentang Batas Sempadan Pantai menjelaskan bahwa penetapan batas sempadan pantai 100 meter bertujuan untuk melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kehidupan masyarakat dari ancaman bencana alam; alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai; dan alokasi ruang untuk saluran air dan limbah.
Sementara itu, Pemkab Sumba Tengah membantah adanya praktik privatisasi pantai dan pelanggaran sempadan oleh hotel di wilayahnya.
"Di Sumba Tengah tidak ada," kata Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Kabupaten Sumba Tengah Johanis Umbu Tagela saat dikonfirmasi dari Kupang.
Menurutnya, Pemkab Sumba Tengah telah memberi penekanan kepada pengusaha atau investor agar tidak melarang atau menutup akses bagi siapapun yang ingin berkunjung ke setiap pantai.
Meski demikian, Johanis mengakui soal pagar pembatas di area pembangunan resor yang dipersoalkan masyarakat. Namun, ujar dia, hal itu wajar karena merupakan lahan atau milik dari pemilik resor.
Baca juga: Walhi kecam tindakan represif di Pubabu
Menurut dia, pagar itu bukan membatasi akses atau melarang warga menikmati kawasan Pantai Aili. Ada akses yang telah disediakan di sebelah barat bagi siapa pun yang ingin menikmati kawasan pantai, pergi memancing, dan kegiatan lain.
Lokasi gang tersebut tak jauh dari gerbang resor, berkisar 100-an meter. Letaknya juga masih di pinggir jalan raya.
Baca juga: Belasan organisasi deklarasi Jaring Nusa KTI untuk pulau-pulau kecil
"Di sebelah baratnya itu sudah disediakan gang, jalur sekitar dua meter lebarnya. Kapan saja mau ke pantai, bisa lewat situ. Tapi kalau misalnya mau masuk ke resor, lihat-lihat ke dalam bisa minta izin ke satpam dan dipersilakan," ujar Johanis.
Dia juga menduga ada oknum-oknum tertentu yang tidak ingin agar resor itu dibangun di Sumba Tengah. Padahal, keberadaan resor itu merupakan hal positif demi peningkatan ekonomi di kabupaten itu.
“Pemerintah harus menegakkan aturan,” kata Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamhu Paranggi dalam rilis yang diterima di Kupang, Jumat, (15/9/2022).
Hal ini disampaikan Umbu Wulang berkaitan dengan dugaan pelanggaran aturan oleh resor tersebut karena mendirikan bangunan menjorok ke pantai dan melakukan privatisasi pantai.
"Resor itu diduga melanggar sempadan pantai karena berada persis di bibir Pantai Lima Bidadari. Jarak bangunan resor bahkan kurang dari 100 meter dari bibir pantai," katanya.
Umbu Wulang mengungkapkan temuan lembaganya bahwa lebih dari 90 persen investasi pariwisata di kawasan pesisir NTT menabrak aturan sempadan pantai. Beberapa lokasi tersebut antara lain di Labuan Bajo, Sumba, dan Kota Kupang.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan, privatisasi pantai dan pelanggaran sempadan oleh pelaku pariwisata di Sumba diduga sudah berlangsung lama.
Padahal, lanjut dia, Perpres 51/2016 tentang Batas Sempadan Pantai menjelaskan bahwa penetapan batas sempadan pantai 100 meter bertujuan untuk melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kehidupan masyarakat dari ancaman bencana alam; alokasi ruang untuk akses publik melewati pantai; dan alokasi ruang untuk saluran air dan limbah.
Sementara itu, Pemkab Sumba Tengah membantah adanya praktik privatisasi pantai dan pelanggaran sempadan oleh hotel di wilayahnya.
"Di Sumba Tengah tidak ada," kata Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setda Kabupaten Sumba Tengah Johanis Umbu Tagela saat dikonfirmasi dari Kupang.
Menurutnya, Pemkab Sumba Tengah telah memberi penekanan kepada pengusaha atau investor agar tidak melarang atau menutup akses bagi siapapun yang ingin berkunjung ke setiap pantai.
Meski demikian, Johanis mengakui soal pagar pembatas di area pembangunan resor yang dipersoalkan masyarakat. Namun, ujar dia, hal itu wajar karena merupakan lahan atau milik dari pemilik resor.
Baca juga: Walhi kecam tindakan represif di Pubabu
Menurut dia, pagar itu bukan membatasi akses atau melarang warga menikmati kawasan Pantai Aili. Ada akses yang telah disediakan di sebelah barat bagi siapa pun yang ingin menikmati kawasan pantai, pergi memancing, dan kegiatan lain.
Lokasi gang tersebut tak jauh dari gerbang resor, berkisar 100-an meter. Letaknya juga masih di pinggir jalan raya.
Baca juga: Belasan organisasi deklarasi Jaring Nusa KTI untuk pulau-pulau kecil
"Di sebelah baratnya itu sudah disediakan gang, jalur sekitar dua meter lebarnya. Kapan saja mau ke pantai, bisa lewat situ. Tapi kalau misalnya mau masuk ke resor, lihat-lihat ke dalam bisa minta izin ke satpam dan dipersilakan," ujar Johanis.
Dia juga menduga ada oknum-oknum tertentu yang tidak ingin agar resor itu dibangun di Sumba Tengah. Padahal, keberadaan resor itu merupakan hal positif demi peningkatan ekonomi di kabupaten itu.