Jakarta (ANTARA) - Tema Presidensi G20 Indonesia, yaitu “Recover Together, Recover Stronger”. Recovery artinya reparasi, pemulihan, pembaruan, penemuan kembali, ganti rugi, perolehan kembali, dan kesembuhan. Makna lain recovery adalah pemulihan atau kembali ke keadaan atau kondisi sebelumnya dan lebih baik.

Penetapan tema ini, sangat jelas mencerminkan semangat solidaritas G20 untuk bekerja sama, dalam rangka pemulihan ekonomi dari dampak panjang perubahan iklim, disrupsi perdagangan global, dan pandemi COVID-19. Tema semacam ini mengingatkan semua pihak pada pernyataan "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh".

Di sisi lain, Laporan Status Ketahanan Pangan dan Gizi Dunia Tahun 2022, yang memprediksi pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan kasus kekurangan gizi kronis sebanyak 150 juta orang.

Lalu, peningkatan kasus kelaparan antara 702 hingga 828 juta orang di dunia pada 2021, dan sekitar 670 juta orang menjelang tahun 2030.

Adapun Sidang Agriculture Ministers Meeting (AMM) atau pertemuan para menteri pertanian negara-negara anggota G20, Indonesia kali ini mengusung tiga isu prioritas. Ketiga isu tersebut, pertama, mempromosikan sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan berkelanjutan.

Kedua, mempromosikan perdagangan pertanian yang terbuka, adil, dapat diprediksi, transparan, dan non-diskriminatif untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan untuk semua.

Ketiga, kewirausahaan pertanian inovatif melalui pertanian digital untuk meningkatkan penghidupan petani di pedesaan.

Pesan moral dari ketiga isu ini adalah bagaimana kemampuan negara-negara yang tergabung dalam G 20, mampu menjadi "kekuatan baru" dalam mengarungi dunia pertanian yang lebih senapas dengan konteks kekinian.

Setelah pandemi COVID-19, warga dunia kembali dirisaukan akan adanya ancaman krisis pangan global. Kerisauan ini cukup beralasan, karena yang memberi "warning" adalah FAO.

Sebagai Badan Pangan Dunia, tidak mungkin FAO akan menebarkan berita bohong alias "hoax". FAO pasti telah melakukan analisis dan kajian mendalam terkait ancaman krisis pangan global.

Soal krisis pangan itu sendiri, bagi bangsa Indonesia telah diantisipasi sejak lama. Undang Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan, mengingatkan soal krisis pangan.

Dijelaskan, krisis pangan adalah kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang.


Pertanian Bertahan

Pandemi COVID-19 benar-benar sudah memporak-porandakan tatanan ekonomi dunia. Hampir semua negara mengalami masalah dalam memacu pertumbuhan ekonominya.

Hal ini juga menyergap perjalanan perekonomian nasional. Target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen jelas tidak tercapai. Sektor-sektor strategis umumnya bertumbuh negatif.

Baca juga: Opini - Bersama merawat daya tahan ekonomi Indonesia

Hanya sektor pertanian dan industri digital yang masih mampu bertahan dan tetap tumbuh positip. Akibatnya, wajar jika ada kalangan-kalangan tertentu yang menyebut sektor pertanian itu perkasa.

Sektor pertanian layak dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian bangsa sekaligus sebagai penyelamat ekonomi bangsa.

Bagi Indonesia, keperkasaan pertanian, bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1997-1998 ketika dunia dilanda krisis moneter yang kemudian berubah menjadi krisis multi-dimensi, semua sektor strategis pembangunan terekam lumpuh dan tidak mampu untuk bertahan agar tetap tumbuh positip. Hanya, sektor pertanian yang bertahan dan mampu tumbuh positif.

Baca juga: Opini - Jalan keluar dari jebakan pangan melalui gandum dan sorgun

Justru yang jadi masalah saat ini adalah sampai sejauh mana bangsa ini menjaga, memelihara dan melestarikan keperkasaan itu sendiri?

Ini yang patut dijadikan percik permenungan bersama. Apakah dengan semakin berkurangnya "ruang pertanian” karena terjadi alih fungsi lahan yang semakin membabi-buta, sektor pertanian akan tetap perkasa?

Di lain pihak, program pencetakan sawah yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Banyak laporan menyatakan, pencetakan sawah di berbagai daerah kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Bahkan di suatu lokasi terekam mencetak sawah di lokasi yang tidak ada irigasinya. Mencetak sawah jelas tidak bisa disamakan dengan mencetak kue bandros.

Lantas, apakah dengan semakin tidak menariknya profesi pertanian di benak kaum muda, sehingga mereka ramai-ramai meninggalkan desa kelahirannya untuk mengadu nasib di kota-kota, bangsa Indonesia masih akan mulus melakukan regenerasi petani.

Baca juga: Opini - Hari tani dan kebangkitan petani milenial

Padahal sekarang para petani rata-rata sudah berusia di atas 54 tahun. Regenerasi petani merupakan soal serius yang butuh terobosan cerdas untuk mencarikan jalan keluarnya.

Alih fungsi lahan pertanian produktif ke non pertanian sekaligus dengan fenomena kaum muda enggan jadi petani, merupakan tantangan serius yang harus kita hadapi dengan seksama.

Problem ini terbentang di hadapan bangsa ini. Semua orang dapat melihat nya secara terang benderang. Bagaimana lahan sawah berubah jadi jalan tol. Bagaimana anak muda pedesaan lebih memilih jadi tukang ojek ketimbang jadi petani padi.

Apa yang disampaikan tersebut, baru dua tantangan yang butuh penyelesaian dengan segera. Belum lagi masalah lain yang bisa saja menjatuhkan keperkasaan sektor pertanian.

Untuk itu, semua pihak berharap agar AMM G20 ini dapat memberi solusi nyata atas segudang masalah yang perlu diselesaikan. Mari semua elemen bangsa ini menunggu langkah nyata menuju "Recover Together Recover Stronger", yang betul-betul dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari.


*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.




 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pesan moral dari pertemuan para menteri pertanian G20 di Bali

Pewarta : Entang Sastraatmadja*)
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024