Jakarta (ANTARA) - Hari ini, 24 September 2022, petani Indonesia dan segenap insan pertanian di Tanah Air merayakan hari tani.
Hari tani ditetapkan pada Tanggal 24 September melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria oleh Presiden Sukarno. Berikutnya UU tersebut lebih akrab dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
Hari tani tentu menjadi momentum yang tepat bagi bangsa ini untuk merefleksi sumbangan petani Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan pangan, khususnya beras.
Pada empat tahun terakhir (2018-2022) petani padi Indonesia berhasil menyelamatkan Indonesia dari krisis pangan ketika beberapa negara lain justru mengalami krisis pangan.
Petani Indonesia berhasil melewati 4 jebakan penyebab krisis pangan yang dikhawatirkan negara-negara di dunia, yaitu pandemi COVID-19, gejolak iklim, kontraksi keamanan dunia dan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Indonesia, negara dengan populasi ke-4 terbesar di dunia, ternyata memiliki petani yang tegak berdiri untuk memberi makan 275 juta rakyatnya tanpa perlu mengimpor beras medium.
Namun prestasi tersebut hendaknya tidak membuat semua pihak lengah.
Bebasnya Indonesia dari impor beras ternyata belum diiringi meningkatnya produktivitas pangan nasional per satuan luas dan waktu yang signifikan.
Produktivitas beras Indonesia masih stagnan dengan jurang yang lebar antara potensi produksi padi hasil penelitian dengan hasil padi rata-rata. Pada konteks ini dibutuhkan penderasan laju informasi mengenai teknologi dan inovasi budi daya padi dari hasil-hasil penelitian ke petani luas.
Go Digital
Di masa lalu penderasan informasi hasil-hasil penelitian mengandalkan para penyuluh yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Di masa kini tentu Indonesia tak dapat hanya mengandalkan penyuluh saja, tetapi juga harus memanfaatkan teknologi informasi yang belakangan maju sangat pesat.
Saat ini, hampir setiap rumah tangga petani telah memiliki telepon genggam, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media penderasan informasi hasil-hasil penelitian.
Hampir setiap rumah tangga petani juga memiliki generasi milenial yang ramah terhadap teknologi digital.
Penulis menyaksikan sendiri dari pelosok wilayah di Jawa Barat bagian selatan, seorang petani milenal memesan pupuk, pestisida dan fungisida secara daring melalui marketplace.
Keesokan hari atau lusa berikutnya pesanan beragam input pertanian itu sudah sampai. Itu berkat perusahaan pengiriman barang yang jaringannya semakin menembus daerah terpencil dengan harga murah.
Dosis, cara meramu, serta cara penggunaanya langsung ditanyakan kepada penjual dengan menggunakan telepon genggam.
Kelangkaan pupuk dan pestisida di suatu daerah ternyata dapat diatasi dengan bantuan telepon genggam yang menembus sekat-sekat pembatas.
Demikian pula harga pasaran komoditas pertanian dapat terpantau oleh petani, meskipun jauh dari lokasi pasar. Akses informasi yang setara membuat penentuan harga pangan di setiap level menjadi lebih adil.
Wajar jika perayaan hari tani di era ini ditandai dengan 3 ekosistem yang khas, yaitu meluasnya pemanfaatan teknologi digital, hadirnya generasi milenial dan derasnya arus informasi dari berbagai arah.
Bila pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian dan para peneliti pertanian di Badan Riset Inovasi Nasional tidak memanfaatkan 3 ciri khas tersebut, maka arus informasi yang masuk ke genggaman perangkat digital milik generasi millenial petani adalah informasi yang keliru.
Kiprah generasi milenial di era informasi teknologi ini merupakan anugerah dari momentum bonus demografi di Indonesia. Potensi kelompok milenial perlu lebih didorong masuk ke sektor pertanian atau minimal cinta pertanian sebagai pilar strategis penyangga ekononi masa depan.
Oleh karena itu pemerintah perlu mendorong dengan menciptakan ekosistem yang mendukung, di antaranya skim pembiayaan yang mudah dengan bunga rendah, infrastruktur irigasi, jalan desa, pupuk, teknologi pengolahan, hilirisasi, teknologi unggul di hulu-hilir, pemasaran, pengendalian impor, dan harga jual produk pertanian yang stabil dan menarik.
Petani Milenial
Tentu semua harus optimistis pada petani generasi milenal di Indonesia. Terlebih ketika mereka mulai melakukan konsolidasi.
Baru-baru ini, pada 26-28 Agustus 2022, sebanyak 500 petani milenal dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan mendeklarasikan komitmen membangun pertanian Indonesia dalam acara Jambore Petani Milenial di Desa Tebing Sari, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur.
Tujuan jambore itu untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan wirausaha muda petani milenial agar produktivitas pertanian di Indonesia dapat semakin meningkat.
Jambore juga diharapkan dapat meningkatkan jaringan kemitraan antarpetani milenial. Demikian pula wawasan penggunaan teknologi alsintan diharapkan bertambah, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di bidang pertanian.
Menurut Syahroni, Direktur Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) yang terlibat pada persiapan jambore tersebut, kebangkitan petani milenial bukan berdiri sendiri.
Petani milenial berupaya bangkit karena perjumpaan dengan generasi milenial lain di lintas sektor. Sebut saja generasi milenial di lingkungan birokrasi, legislatif, para pelaku bisnis pertanian, serta aktivis petani yang juga muda. Perjumpaan gairah muda lintas sektoral membuat petani Indonesia tak kenal lelah untuk bangkit.
Berikutnya pada penghujung Agustus 2022, Sarasehan Petani Milenial yang diikuti 500 petani milenial juga digelar di Jakarta, pada 28-30 Agustus 2022 bersama dengan para penyuluh pertanian.
Baca juga: Opini - Jalan keluar dari jebakan pangan melalui gandum dan sorgun
Tentu bangsa ini berharap para petani milenial dengan perangkat telepon selulernya dapat mendorong efisiensi pada tata niaga komoditas pertanian dan jaminan harga yang stabil.
Mirip dengan, misalnya, efisiensi transportasi daring melalui digitalisasi yang terus meningkat setelah lahirnya aplikasi dengan telepon seluler. Sehingga tarif mereka juga menjadi lebih stabil dan terjamin.
Baca juga: Opini - Bersama merawat daya tahan ekonomi Indonesia
Dengan efisiensi di bidang pertanian di Tanah Air, semua berharap kesejahteraan petani, termasuk nelayan yang juga tergolong petani secara luas, dapat meningkat.
Baca juga: Opini - Indonesia Merdeka, akhir dari kisah panjang perjuangan bangsa
Tantangan zaman di era modern memang berbeda dengan tantangan di era-era sebelumnya. Namun kebangkitan petani selalu bisa seiring perkembangan zaman. Selamat bangkit di hari tani dan di hari-hari berikutnya.
*) Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, MS (Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Agronomi Indonesia/peneliti BRIN) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti BRIN).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Hari tani dan kebangkitan petani milenial
Hari tani ditetapkan pada Tanggal 24 September melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria oleh Presiden Sukarno. Berikutnya UU tersebut lebih akrab dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
Hari tani tentu menjadi momentum yang tepat bagi bangsa ini untuk merefleksi sumbangan petani Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan pangan, khususnya beras.
Pada empat tahun terakhir (2018-2022) petani padi Indonesia berhasil menyelamatkan Indonesia dari krisis pangan ketika beberapa negara lain justru mengalami krisis pangan.
Petani Indonesia berhasil melewati 4 jebakan penyebab krisis pangan yang dikhawatirkan negara-negara di dunia, yaitu pandemi COVID-19, gejolak iklim, kontraksi keamanan dunia dan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Indonesia, negara dengan populasi ke-4 terbesar di dunia, ternyata memiliki petani yang tegak berdiri untuk memberi makan 275 juta rakyatnya tanpa perlu mengimpor beras medium.
Namun prestasi tersebut hendaknya tidak membuat semua pihak lengah.
Bebasnya Indonesia dari impor beras ternyata belum diiringi meningkatnya produktivitas pangan nasional per satuan luas dan waktu yang signifikan.
Produktivitas beras Indonesia masih stagnan dengan jurang yang lebar antara potensi produksi padi hasil penelitian dengan hasil padi rata-rata. Pada konteks ini dibutuhkan penderasan laju informasi mengenai teknologi dan inovasi budi daya padi dari hasil-hasil penelitian ke petani luas.
Go Digital
Di masa lalu penderasan informasi hasil-hasil penelitian mengandalkan para penyuluh yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Di masa kini tentu Indonesia tak dapat hanya mengandalkan penyuluh saja, tetapi juga harus memanfaatkan teknologi informasi yang belakangan maju sangat pesat.
Saat ini, hampir setiap rumah tangga petani telah memiliki telepon genggam, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media penderasan informasi hasil-hasil penelitian.
Hampir setiap rumah tangga petani juga memiliki generasi milenial yang ramah terhadap teknologi digital.
Penulis menyaksikan sendiri dari pelosok wilayah di Jawa Barat bagian selatan, seorang petani milenal memesan pupuk, pestisida dan fungisida secara daring melalui marketplace.
Keesokan hari atau lusa berikutnya pesanan beragam input pertanian itu sudah sampai. Itu berkat perusahaan pengiriman barang yang jaringannya semakin menembus daerah terpencil dengan harga murah.
Dosis, cara meramu, serta cara penggunaanya langsung ditanyakan kepada penjual dengan menggunakan telepon genggam.
Kelangkaan pupuk dan pestisida di suatu daerah ternyata dapat diatasi dengan bantuan telepon genggam yang menembus sekat-sekat pembatas.
Demikian pula harga pasaran komoditas pertanian dapat terpantau oleh petani, meskipun jauh dari lokasi pasar. Akses informasi yang setara membuat penentuan harga pangan di setiap level menjadi lebih adil.
Wajar jika perayaan hari tani di era ini ditandai dengan 3 ekosistem yang khas, yaitu meluasnya pemanfaatan teknologi digital, hadirnya generasi milenial dan derasnya arus informasi dari berbagai arah.
Bila pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian dan para peneliti pertanian di Badan Riset Inovasi Nasional tidak memanfaatkan 3 ciri khas tersebut, maka arus informasi yang masuk ke genggaman perangkat digital milik generasi millenial petani adalah informasi yang keliru.
Kiprah generasi milenial di era informasi teknologi ini merupakan anugerah dari momentum bonus demografi di Indonesia. Potensi kelompok milenial perlu lebih didorong masuk ke sektor pertanian atau minimal cinta pertanian sebagai pilar strategis penyangga ekononi masa depan.
Oleh karena itu pemerintah perlu mendorong dengan menciptakan ekosistem yang mendukung, di antaranya skim pembiayaan yang mudah dengan bunga rendah, infrastruktur irigasi, jalan desa, pupuk, teknologi pengolahan, hilirisasi, teknologi unggul di hulu-hilir, pemasaran, pengendalian impor, dan harga jual produk pertanian yang stabil dan menarik.
Petani Milenial
Tentu semua harus optimistis pada petani generasi milenal di Indonesia. Terlebih ketika mereka mulai melakukan konsolidasi.
Baru-baru ini, pada 26-28 Agustus 2022, sebanyak 500 petani milenal dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan mendeklarasikan komitmen membangun pertanian Indonesia dalam acara Jambore Petani Milenial di Desa Tebing Sari, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur.
Tujuan jambore itu untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan wirausaha muda petani milenial agar produktivitas pertanian di Indonesia dapat semakin meningkat.
Jambore juga diharapkan dapat meningkatkan jaringan kemitraan antarpetani milenial. Demikian pula wawasan penggunaan teknologi alsintan diharapkan bertambah, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di bidang pertanian.
Menurut Syahroni, Direktur Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) yang terlibat pada persiapan jambore tersebut, kebangkitan petani milenial bukan berdiri sendiri.
Petani milenial berupaya bangkit karena perjumpaan dengan generasi milenial lain di lintas sektor. Sebut saja generasi milenial di lingkungan birokrasi, legislatif, para pelaku bisnis pertanian, serta aktivis petani yang juga muda. Perjumpaan gairah muda lintas sektoral membuat petani Indonesia tak kenal lelah untuk bangkit.
Berikutnya pada penghujung Agustus 2022, Sarasehan Petani Milenial yang diikuti 500 petani milenial juga digelar di Jakarta, pada 28-30 Agustus 2022 bersama dengan para penyuluh pertanian.
Baca juga: Opini - Jalan keluar dari jebakan pangan melalui gandum dan sorgun
Tentu bangsa ini berharap para petani milenial dengan perangkat telepon selulernya dapat mendorong efisiensi pada tata niaga komoditas pertanian dan jaminan harga yang stabil.
Mirip dengan, misalnya, efisiensi transportasi daring melalui digitalisasi yang terus meningkat setelah lahirnya aplikasi dengan telepon seluler. Sehingga tarif mereka juga menjadi lebih stabil dan terjamin.
Baca juga: Opini - Bersama merawat daya tahan ekonomi Indonesia
Dengan efisiensi di bidang pertanian di Tanah Air, semua berharap kesejahteraan petani, termasuk nelayan yang juga tergolong petani secara luas, dapat meningkat.
Baca juga: Opini - Indonesia Merdeka, akhir dari kisah panjang perjuangan bangsa
Tantangan zaman di era modern memang berbeda dengan tantangan di era-era sebelumnya. Namun kebangkitan petani selalu bisa seiring perkembangan zaman. Selamat bangkit di hari tani dan di hari-hari berikutnya.
*) Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, MS (Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Agronomi Indonesia/peneliti BRIN) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (Peneliti BRIN).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Hari tani dan kebangkitan petani milenial