Banjarmasin (ANTARA) - Suhu politik saat ini mulai menghangat. Ada partai-partai yang sudah membentuk koalisi, ada pula yang para petingginya baru menjalin komunikasi.
Semua langkah ditujukan untuk memenangi Pemilu 2024. Manuver tersebut memancing politikus, simpatisan, pakar politik, tokoh masyarakat, hingga awam memperbincangkannya untuk membangun opini.
Pesan yang disampaikan berusaha menggiring publik sesuai dengan preferensi politik masing-masing. Mereka membangun opini melalui media streaming, media sosial, atau media komunitas. Jagat digital riuh, saling bersahutan bak burung .
Saling balas, nyinyir, menyanjung, bahkan kadang merendahkan sehingga bikin telinga panas di pihak lawan.
Itulah demokrasi, yang selalu membuka lebar ruang partisipasi. Sepanjang masih dalam koridor hukum, perdebatan semacam itu sah di negara demokrasi.
Bagi awam, perang opini itu kadang terlihat sebagai tontonan vulgar yang tidak mengedepankan adat ketimuran yang penuh hormat, toleransi, dan saling menghargai. Itu bisa menjadikan hati makin keras kemudian menumbuhkan antipati kepada pihak yang tidak disukai.
Namun sebaliknya, kepada tokoh atau partai yang disenangi kian membuat mereka "buta". Sang junjungan tak bisa salah.
Tidak ada yang mustahil orang biasa yang tidak mempunyai kemampuan bisa saja dipromosikan bagai pahlawan yang bijaksana dan menjadi teladan.
Pun sebaliknya seorang tokoh yang mempunyai kapabilitas dan kualitas bisa jatuh terjerembab ke lembah paling dalam.
Kecintaan dan kebencian yang berlebihan tanpa pengetahuan itu tumbuh di saat mereka aktif update mengikuti media streaming maupun medsos.
Media streaming dan medsos bermata dua akan berfungsi baik dan buruk tergantung pada yang memanfaatkannya.
Sebagian menggunakan untuk konsolidasi dan promosi mengedukasi, sebagian lagi memanfaatkan untuk menjatuhkan orang lain.
Medsos kini menjadi sebuah wahana atau tempat paling efektif dan efisien untuk bersosialisasi.
Menyongsong pesta demokrasi akbar di Indonesia, medsos dan media streaming akan menjadi salah satu alternatif sarana untuk mempengaruhi publik paling efektif dan efisien.
Pemilu 2024 menjadi pesta paling akbar karena pada tahun sama digelar pemilihan anggota DPRD kabupaten, kota, provinsi, DPR RI, DPD, kepala daerah, serta presiden dan wakil presiden.
Menuntut cerdas
Kondisi tersebut menuntut publik lebih cerdas dan sadar bahwa pemilu adalah sarana paling dasar untuk melahirkan wakil rakyat dan pemimpin berkualitas yang mengayomi masyarakat.
Agar tidak seperti membeli kucing dalam karung, masyarakat memerlukan edukasi agar lebih cerdas dalam memilih pemimpinnya.
Memberikan edukasi pemahaman terhadap proses demokrasi yang sehat dengan mengedepankan etika politik yang sesuai dengan konstitusi, menjadi keniscayaan yang harus dilakukan pemangku kepentingan, khususnya para penyelenggara.
Edukasi secara masif dalam proses demokrasi diperlukan untuk mendapatkan pemimpin yang baik dan mendapatkan legitimasi rakyat.
Tidak hanya memperoleh suara terbanyak, namun pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi yang baik itulah nantinya bisa melahirkan kebijakan berkeadilan sosial.
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin Dr. Setia Budhi berpendapat bahwa kebijakan merupakan hal penting dalam proses awal pembuatan sebuah program. Kebijakan mencakup seluruh aturan-aturan yang dibuat melalui proses politik.
Proses politik itulah yang disebut salah satunya melalui pelibatan atau partisipasi masyarakat untuk memilih.
Dalam negara demokrasi, pemilu merupakan satu landasan utama bahwa setiap kebijakan publik dibuat berdasarkan perencanaan dari aspirasi, memperhatikan aspirasi rakyat.
Akan tetapi tidak jarang bahwa masyarakat masih banyak yang kurang paham terhadap proses berdemokrasi dalam pembuatan kebijakan.
Oleh sebab itu, penting adanya edukasi supaya masyarakat paham hak dan kewajiban mereka.
Edukasi itu sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan menjadi bagian dari fungsi partai politik, lembaga pembuat kebijakan (misalnya wakil rakyat di DPRD), media masa, dan dunia pendidikan.
Oleh sebab itu, sudah waktunya lembaga-lembaga terkait menyusun strategi untuk menggerakkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilu.
Peran Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menjadi ujung tombak pendidikan politik rakyat untuk menghasilkan pemilu yang lebih berkualitas.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU harus bisa memainkan peran meningkatkan partisipasi masyarakat untuk melahirkan pemimpin yang legitimate.
Perlu membangun pemahaman berpolitik sehat di tengah masyarakat yang sudah terpengaruh pada segelintir politikus yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok.
Melek politik
Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kalimantan Selatan Dr. H. Nurzazin menjelaskan KPU telah membuat kebijakan tentang sosialisasi pemilu guna meningkatkan partisipasi masyarakat pada Pemilu 2004.
Melalui UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU mengedukasi publik tentang proses demokrasi yang sehat.
Baca juga: Artikel - Merawat taman sari Indonesia, menolak politik identitas
KPU terus mengedukasi masyarakat agar kian melek politik, antara lain, melalui kampus, SLTA, kelompok belajar, organisasi masyarakat, organisasi pemuda, media sosial, media online, serta media cetak.
Dengan memberikan pemahaman proses demokrasi dan berpolitik yang sehat, upaya itu diharapkan mampu mendongkrak partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2024.
Pada Pemilu Legislatif 2019 di Kalsel, angka partisipasi pemilih mencapai 79 persen dari total 2.995.231 pemilih. Adapun partisipasi Pemilu Presiden tahun 2019 di Kalsel sebesar 80 persen dari 2.995.206 pemilih.
Partisipasi pemilih pada Pemilu DPD 2019 di Kalsel tercatat 79 persen dari total 2.995.206 pemilih.
Diharapkan partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024 lebih tinggi dibanding capaian Pemilu 2019.
Strategi yang mesti dilakukan untuk mewujudkannya, antara lain, menguatkan sinergi penyelenggara dengan pemangku kepentingan, terutama dalam mengedukasi pemilih. Publik harus paham dampak atas pengambilan keputusan memilih pemimpin.
Baca juga: Artikel - Pesan politik bagi calon petahana dari Pilkada 2020
Mengajak masyarakat untuk menolak politik uang, janji-janji palsu, hingga kampanye hitam. Lebih dari itu, juga membangun optimisme masyarakat akar rumput dan kaum milenial mengenai penting dan strategisnya pemilu untuk menghasilkan pemimpin berkualitas.
Rakyat harus menyadari dampak baik dan buruknya dalam 5 tahun ke depan, jangan sampai salah memilih pemimpin atau wakil rakyat yang hanya mementingkan individu dan kelompok.
Pencerahan tersebut bisa memanfaatkan media streaming, media online, dan medial sosial. Bisa pula melibatkan organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, lingkungan kampus, sekolah lanjutan atas, majelis taklim, serta kelompok lain untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat.
Semua ikhtiar tersebut untuk membangun pemilih yang cerdas. Dari pemilih cerdas inilah bakal menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin berkualitas. ***2***
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyiapkan pemilih cerdas untuk lahirkan pemimpin berkualitas