Kupang (ANTARA) - Masih lekat di ingatan kita aksi nekat seorang perempuan yang membawa senjata laras pendek dan menodong seorang anggota pasukan pengaman presiden di Istana Kepresidenan, beberapa hari lalu.
Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa perempuan rentan terpapar terorisme, walaupun bagi masyarakat di Indonesia, khususnya di Indonesia Timur, perempuan berada pada level kedua setelah laki-laki.
Perempuan dalam kehidupan sehari-hari merupakan penjaga keluarga dan merupakan guru pertama bagi anak-anaknya di rumah.
Di sisi lain, karena aktivitasnya terbanyak berada di rumah, perempuan dinilai sebagai kelompok pengguna media sosial terbesar, sehingga mudah terpengaruh jika tidak memiliki ketahanan mental yang kuat.
Karena itu tidak heran jika kaum perempuan, khususnya ibu-ibu, rentan terpapar terorisme dan radikalisme. Hal ini bisa mengakibatkan perempuan selain menjadi korban, juga menjadi pelaku terorisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam suatu kegiatan di Kupang, 16 Oktober 2022 juga menilai bahwa perempuan memiliki peran sangat vital mencegah masuknya paham-paham radikal atau terorisme dalam keluarga.
Perempuan, khususnya seorang ibu, bisa menjadi rekan dialog anaknya. Tak hanya itu, seorang istri juga bisa menjadi rekan diskusi suaminya dalam berbagai hal.
Tidak hanya dalam keluarga kecil, tetapi peran perempuan itu juga sangat penting dalam mencegah paham radikal di masyarakat umum.
Biasanya lingkungan keluarga itu sangat rentan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan paham radikal. Karena itu, perempuan juga bisa menjadi filter atau pendeteksi awal masuknya kejanggalan-kejanggalan tersebut.
Biasanya yang rentan terpapar aliran radikalisme itu anak, karena itu orang tua tentu mempunyai tugas dalam mencegah hal tersebut.
Tetapi posisi perempuan, yakni sebagai ibu secara emosional, lebih memiliki kedekatan terhadap anaknya. Karena itu, kunci penanaman karakter dan jati diri anak banyak bertumpu pada peran perempuan.
Radikalisme dan terorisme menjadi salah satu tantangan besar bagi keamanan masyarakat dan kedaulatan bangsa ini.
Hasil survei BNPT tahun 2019 menyatakan bahwa faktor yang paling efektif dalam mereduksi potensi radikalisme secara berturut-turut adalah diseminasi sosial media, internalisasi kearifan lokal, perilaku kontra radikal dan pola pendidikan keluarga pada anak.
Perempuan memiliki posisi sangat vital dalam keluarga, bahkan dalam masyarakat secara lebih luas. Perempuan memiliki peran strategis dalam membentengi keluarga dan masyarakat dari segala bentuk penyebaran dan ajakan kelompok radikal terorisme.
Di lain pihak, keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama di dalam keluarga, yakni anak mulai dikenalkan dan diajarkan dengan berbagai hal yang ada di sekelilingnya, dengan keluarganya, teman- temannya, barang-barang yang ada, bahkan diajarkan tentang berbagai nilai sosial, budaya dan agama yang mereka anut.
Tugas mendidik anak dalam lingkungan keluarga merupakan tugas resiprokal orang tua, tapi posisi perempuan, yakni sebagai ibu secara emosional, lebih memiliki kedekatan terhadap anak. Karena itulah, kunci penanaman karakter dan jati diri anak banyak bertumpu pada peran perempuan.
Perempuan dalam peran seperti ini sebenarnya menjadi salah satu benteng dari pengaruh paham dan ideologi radikal yang saat ini juga mulai menyasar pada anak usia dini.
Maka diperlukan upaya penanaman nilai kebangsaan, wawasan keagamaan dan kearifan lokal dalam keluarga menjadi sangat efektif sebagai filter dalam menangkal penyebaran radikalisme terorisme.
Diharapkan agar perempuan harus selalu mawas diri agar tidak terperangkap masuk ke dalam jaringan pelaku ataupun menjadi korban atas aksi terorisme.
Potensi terorisme
Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan dua negara, yakni Timor Leste dan juga Australia.
Dengan letak geografis yang seperti itu, potensi masuknya paham radikalisme serta berbagai tindakan terorisme bisa saja terjadi di provinsi berbasis kepulauan itu.
Tak hanya itu, NTT sebagai provinsi yang mempunyai beberapa sektor pariwisata yang mendunia, seperti Labuan Bajo, potensi radikalisme itu bisa saja terjadi.
Wilayah Labuan Bajo sendiri diketahui berbatasan langsung dengan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang rawan akan aksi-aksi terorisme.
Hal ini terbukti adanya laporan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat terdapat 140 anggota Khilafah Muslimin yang berada di Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Baca juga: Artikel - Radikalisme pada perempuan, potensi dan pencegahannya
Tak hanya itu jaringan terorisme juga sempat sampai di Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2015. Sehingga pada tahun tersebut Densus 88 menangkap seorang anggota teroris jaringan Santoso di daerah pariwisata itu.
Untuk itu dalam hal mencegah potensi terorisme dan paham radikalisme, semua pihak perlu bekerja sama. Artinya tidak hanya kepolisian, TNI, atau instansi terkait untuk mencegahnya.
Sebab proses penanggulangan terorisme tidak bisa dilaksanakan hanya oleh aparatur keamanan semata. Namun, dibutuhkan sinergi yang kuat antara aparatur keamanan dengan masyarakat tanpa terkecuali, karena bahaya terorisme menyasar tanpa memandang pangkat, jabatan, status sosial, suku, ras dan agama tertentu.
Pemprov NTT mencatat bahwa daerah adalah provinsi dengan nilai toleransi beragama yang sangat tinggi.
Hal ini terbukti dengan adanya sampai saat ini NTT masih menjadi daerah atau provinsi yang aman dan damai tanpa ada berbagai gangguan.
Baca juga: Artikel - Menanti peran Komando Opsusgab dalam menumpas terorisme
Persatuan masyarakat di NTT kuat. Dengan modal itu, kita selalu tangkal berbagai isu yang menyesatkan yang dapat merusak toleransi umat beragama di NTT ini.
Pemerintah Provinsi NTT sendiri sejauh ini selalu berusaha agar sebagai provinsi yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia tetap menjaga dan memperketat kawasan perbatasan dari berbagai ancaman yang mengganggu keamanan dan ketertiban di NTT.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saat kaum perempuan punya peran penting cegah terorisme
Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa perempuan rentan terpapar terorisme, walaupun bagi masyarakat di Indonesia, khususnya di Indonesia Timur, perempuan berada pada level kedua setelah laki-laki.
Perempuan dalam kehidupan sehari-hari merupakan penjaga keluarga dan merupakan guru pertama bagi anak-anaknya di rumah.
Di sisi lain, karena aktivitasnya terbanyak berada di rumah, perempuan dinilai sebagai kelompok pengguna media sosial terbesar, sehingga mudah terpengaruh jika tidak memiliki ketahanan mental yang kuat.
Karena itu tidak heran jika kaum perempuan, khususnya ibu-ibu, rentan terpapar terorisme dan radikalisme. Hal ini bisa mengakibatkan perempuan selain menjadi korban, juga menjadi pelaku terorisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam suatu kegiatan di Kupang, 16 Oktober 2022 juga menilai bahwa perempuan memiliki peran sangat vital mencegah masuknya paham-paham radikal atau terorisme dalam keluarga.
Perempuan, khususnya seorang ibu, bisa menjadi rekan dialog anaknya. Tak hanya itu, seorang istri juga bisa menjadi rekan diskusi suaminya dalam berbagai hal.
Tidak hanya dalam keluarga kecil, tetapi peran perempuan itu juga sangat penting dalam mencegah paham radikal di masyarakat umum.
Biasanya lingkungan keluarga itu sangat rentan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan paham radikal. Karena itu, perempuan juga bisa menjadi filter atau pendeteksi awal masuknya kejanggalan-kejanggalan tersebut.
Biasanya yang rentan terpapar aliran radikalisme itu anak, karena itu orang tua tentu mempunyai tugas dalam mencegah hal tersebut.
Tetapi posisi perempuan, yakni sebagai ibu secara emosional, lebih memiliki kedekatan terhadap anaknya. Karena itu, kunci penanaman karakter dan jati diri anak banyak bertumpu pada peran perempuan.
Radikalisme dan terorisme menjadi salah satu tantangan besar bagi keamanan masyarakat dan kedaulatan bangsa ini.
Hasil survei BNPT tahun 2019 menyatakan bahwa faktor yang paling efektif dalam mereduksi potensi radikalisme secara berturut-turut adalah diseminasi sosial media, internalisasi kearifan lokal, perilaku kontra radikal dan pola pendidikan keluarga pada anak.
Perempuan memiliki posisi sangat vital dalam keluarga, bahkan dalam masyarakat secara lebih luas. Perempuan memiliki peran strategis dalam membentengi keluarga dan masyarakat dari segala bentuk penyebaran dan ajakan kelompok radikal terorisme.
Di lain pihak, keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama di dalam keluarga, yakni anak mulai dikenalkan dan diajarkan dengan berbagai hal yang ada di sekelilingnya, dengan keluarganya, teman- temannya, barang-barang yang ada, bahkan diajarkan tentang berbagai nilai sosial, budaya dan agama yang mereka anut.
Tugas mendidik anak dalam lingkungan keluarga merupakan tugas resiprokal orang tua, tapi posisi perempuan, yakni sebagai ibu secara emosional, lebih memiliki kedekatan terhadap anak. Karena itulah, kunci penanaman karakter dan jati diri anak banyak bertumpu pada peran perempuan.
Perempuan dalam peran seperti ini sebenarnya menjadi salah satu benteng dari pengaruh paham dan ideologi radikal yang saat ini juga mulai menyasar pada anak usia dini.
Maka diperlukan upaya penanaman nilai kebangsaan, wawasan keagamaan dan kearifan lokal dalam keluarga menjadi sangat efektif sebagai filter dalam menangkal penyebaran radikalisme terorisme.
Diharapkan agar perempuan harus selalu mawas diri agar tidak terperangkap masuk ke dalam jaringan pelaku ataupun menjadi korban atas aksi terorisme.
Potensi terorisme
Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan dua negara, yakni Timor Leste dan juga Australia.
Dengan letak geografis yang seperti itu, potensi masuknya paham radikalisme serta berbagai tindakan terorisme bisa saja terjadi di provinsi berbasis kepulauan itu.
Tak hanya itu, NTT sebagai provinsi yang mempunyai beberapa sektor pariwisata yang mendunia, seperti Labuan Bajo, potensi radikalisme itu bisa saja terjadi.
Wilayah Labuan Bajo sendiri diketahui berbatasan langsung dengan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang rawan akan aksi-aksi terorisme.
Hal ini terbukti adanya laporan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat terdapat 140 anggota Khilafah Muslimin yang berada di Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Baca juga: Artikel - Radikalisme pada perempuan, potensi dan pencegahannya
Tak hanya itu jaringan terorisme juga sempat sampai di Kabupaten Manggarai Barat pada tahun 2015. Sehingga pada tahun tersebut Densus 88 menangkap seorang anggota teroris jaringan Santoso di daerah pariwisata itu.
Untuk itu dalam hal mencegah potensi terorisme dan paham radikalisme, semua pihak perlu bekerja sama. Artinya tidak hanya kepolisian, TNI, atau instansi terkait untuk mencegahnya.
Sebab proses penanggulangan terorisme tidak bisa dilaksanakan hanya oleh aparatur keamanan semata. Namun, dibutuhkan sinergi yang kuat antara aparatur keamanan dengan masyarakat tanpa terkecuali, karena bahaya terorisme menyasar tanpa memandang pangkat, jabatan, status sosial, suku, ras dan agama tertentu.
Pemprov NTT mencatat bahwa daerah adalah provinsi dengan nilai toleransi beragama yang sangat tinggi.
Hal ini terbukti dengan adanya sampai saat ini NTT masih menjadi daerah atau provinsi yang aman dan damai tanpa ada berbagai gangguan.
Baca juga: Artikel - Menanti peran Komando Opsusgab dalam menumpas terorisme
Persatuan masyarakat di NTT kuat. Dengan modal itu, kita selalu tangkal berbagai isu yang menyesatkan yang dapat merusak toleransi umat beragama di NTT ini.
Pemerintah Provinsi NTT sendiri sejauh ini selalu berusaha agar sebagai provinsi yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia tetap menjaga dan memperketat kawasan perbatasan dari berbagai ancaman yang mengganggu keamanan dan ketertiban di NTT.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saat kaum perempuan punya peran penting cegah terorisme