Artikel - Seribu Perempuan Sepertiku

id DRAMA

Artikel - Seribu Perempuan Sepertiku

Pementasan teater oleh Komunitas Teater Satu Timor pada Festival Film Global Migrasi 2018 di Museum Negeri NTT di Kupang. (ANTARA Foto/Quidora Soera)

Film berjudul Impian Negeri Berkabut yang disutradarai oleh Maizidah Salas sendiri, bercerita tentang perempuan-perempuan muda Indonesia yang dibujuk untuk bekerja di luar negeri.
Kupang (ANTARA News NTT) – "Maybe there are thousand of girls like me", begitulah ucapan Kathera dalam film A Thousand girls Like Me yang diputar dalam Festival Film Migrasi Global tahun 2018 di Museum Nusa Tenggara Timur, dari 30 November – 1 Desember 2018.

Festival film Migrasi Global tahun 2018 ini merupakan bagian dari festival tahunan yang ketiga. Festival tersebut tidak hanya diadakan di Kupang, melainkan di seluruh dunia. Film yang diputar terdiri dari 25 film pilihan karya para sineas pemula maupun yang telah memenangkan banyak penghargaan.

Festival film yang terselenggara atas kerja sama IOM Kupang dan KFK (Komunitas Film Kupang), mengangkat tema tentang perdagangan manusia (human tarfficking) dan global migration.

Tidak hanya pemutaran film, festival yang digelar selama dua hari meliputi kegiatan pertunjukan seni, pameran fotografi, lukisan langsung, dan resital puisi dari beberapa komunitas yang ada di Kota Kupang.

Melewati pintu masuk aula, manusia dengan jumlah yang banyak berdesakan memadati ruangan. Tidak hanya orang pribumi, warga negara asing pun tak kalah antusias menyimak setiap kegiatan yang digelar. 

Dipajang secara berurutan, mulai dari busana bertema migrasi, deretan foto hitam-putih bertema human trafficking, dan lukisan, seolah menuntun peserta menuju sebuah ruang yang telah disulap bagai bioskop.

Berbagai pertunjukan seperti musikalisasi puisi, band, dan teater merupakan menu pembuka sebelum film diputar. Lampu pundipadamkan setelah menu pembuka dinikmati peserta.
Pertunjukkan seni monolog oleh Felix Nesi dalam Festival Film Global Migrasi 2018. (ANTARA Foto/Quidora Soera)
Ada lima film yang diputar dibagi ke dalam dua hari festival, yakni pada Jumat, 30 November 2018 film dengan tema human trafficking ialah Unbroken Paradise, Impian Negeri Berkabut, dan Together Apart. Pada Sabtu, 1 Desember 2018 film dengan tema global migrasi ialah A thousands Girls Like Me, dan Alba.

Film dengan judul “A Thousand Girls Like Me”sendiri diangkat dari kisah nyata seorang perempuan berusia 23 tahun yang tinggal di Kabul, Afganistan bernama Kathera. 

Diputar pada hari kedua festival, film ini berkisah tentang penganiayaan seksual yang dialami Kathera oleh ayahnya sejak berumur 10 tahun. 

Berbagai usaha dilakukannya, setelah usaha pertama mencari pertolongan, gagal, ia memutuskan untuk menceritakan kisahnya lewat televisi nasional.

Meski perhatian dari media berhasil menekan penguasa untuk menahan ayahnya, Kathera justru menjadi korban ancaman dari pamannya sendiri dan diasingkan oleh komunitasnya.

Karena khawatir dengan hidup anak-anaknya, dan hidupnya sendiri, Kathera tak punya pilihan lain kecuali meninggalkan negaranya, dan menjadi pengungsi di Prancis.

Kisah hidup Kathera yang tertuang dalam film tersebut berhasil mendapat penghargaan Amsterdam International Documentary Film Festival tahun 2018.
Diskusi tentang film pada Festival Film Global Migrasi 2018. (ANTARA Foto/Quidora Soera)
Tak hanya film A Thousand Gilrs Like Me beberapa film menyentuh lainnya seperti Impian Negeri Berkabut karya anak negeri pun berhasil mendapat perhatian.

Sebuah penghargaan tertinggi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan korban human trafficking diterima oleh Maizidah Salas dari US State Department untuk seluruh dunia.

Penghargaan tersebut diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Pompeo dan juga Putri Presiden Amerika Serikat, Ivanka Trump.

Film berjudul Impian Negeri Berkabut yang disutradarai oleh Maizidah Salas sendiri, bercerita tentang perempuan-perempuan muda Indonesia yang dibujuk untuk bekerja di luar negeri.

Namun, pada kenyataannya berakhir di tangan pedagang manusia, bukannya mendapat jalan untuk bekerja di luar negeri malah akan dijual sebagai pekerja seks komersial (PSK) di kota besar.

Sama halnya dengan film A Thounsand Gilrs Like Me, Impian Negeri Berkabut diangkat pula dari kisah nyata yang dialami Maizidah Salas, seorang mantan TKI yang menjadi korban human trafficking.

Dalam diskusi yang berdurasi 80 menit seusai pemutaran film tersebut, antusias peserta sangat tampak terutama dari pemuda-pemudi NTT. Pasalnya, NTT kini sangat marak akan perdagangan orang atau lebih dikenal dengan sebutan human trafficking.

Diskusi dimoderatori oleh Alberto Maia, dengan pembicara Herman Serandari J-RUK, Zaimah Ayudari IOM, dan Maizidah Salas.

Herman Seran, salah satu pendiri Jaringan Relawan Untuk Kemanusiaan (J-RUK) Kupang mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan orang NTT terutama dari daerah pedesaan mudah terjerat dalam human trafficking.
Moderator Alberto Maia (kiri) sedang berbicara pada diskusi film "Impian Negeri Berkabut" karya Maizida Salas (kedua dari kiri) yang juga sebagai korban "human trafficking". (ANTARA Foto/Quidora Soera)
Di antaranya, masyarakat yang tidak produktif dalam mengelola dana desa untuk menyokong pembangunan desa. Kedua, menurutnya kehancuran sebuah keluarga akibat ketidaksetiaan hubungan suami istri. Dan yang ketiga, kurangnya asupan spiritual kepada anak-anak.

Menyikapi situasi tersebut, International Organization for Migration atau Organisai Internasional Untuk Migrasi (IOM) bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan, memfasilitasi program Desa Migran produktif (Desmigratif).

Desmigratif merupakan sebuah program kerja sama antar kementerian, lembaga dan swasta dalam memberdayakan, meningkatkan pelayanan serta memberi perlindungan bagi calon TKI di desa.

Zaimah Ayu selaku perwakilan dari IOM menambahkan, IOM juga membantu korban perdagangan manusia. Namun, hanya sebatas mendapat referensi tentang koban.

Meski hanya mendapat referensi tentang korban, IOM bisa membantu korban mulai pemulangan, rehebilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga rehabilitasi ekonomi.

Waktu menunjukkan pukul 20.00 Wita saat Maizidah Salas tengah berbagi lebih banyak pengalaman selama menjadi korban perdagangan manusia. 

Maizidah menuturkan, berbagai modus dilakukan pelaku agar korban mudah masuk ke dalam jerat human trafficking, seperti pemberian uang saku yang mencapai jutaan rupiah, dibelikan berbagai peralatan elektrolik dan furnitur, dijanjikan majikan yang baik hati, hingga modus yang sedang tren masa kini yakni melalui media sosial.

Menurut Maizidah mudahnya masyarakat tergiur janji-janji manis para pelaku perdagangan orang, salah satu faktornya ialah kemiskinan.

Tepat pukul 20.30 Wita, tanpa menyimpulkan diskusi yang telah berlangsung, moderator mengajak semua peserta bertepuk tangan untuk mengakhiri diskusi.
Maizidah Salas (kedua dari kiri) sedang berbicara pada Festival Film Global Migrasi 2018. (ANTARA Foto/Quidora Soera)