Save the Children peringatkan efek domino krisis iklim pada anak

id NTT,Kota Kupang,Save The Children,Hari Lingkungan Sedunia

Save the Children peringatkan efek domino krisis iklim pada anak

Sejumlah anak mengambil air di Sumba Timur. ANTARA/Ho-Save The Children

Di Sumba Timur, misalnya, anak-anak harus menempuh perjalanan 1,5–2 kilometer ke mata air setiap jam lima pagi...
Kupang (ANTARA) - Save The Children Indonesia mengingatkan efek domino krisis iklim yang sedang terjadi di Indonesia bisa berdampak pada hak-hak anak.

"Kekeringan yang berlangsung terus-menerus akan menempatkan anak pada posisi paling rentan, yang terpaksa mengorbankan waktu belajar dan berisiko terhadap kesehatan mereka, seperti malaria, demam berdarah, infeksi pernafasan, dan penyakit kulit," kata Chief (Interim) Advocacy, Campaign, Communication and Media Save the Children Indonesia Tata Sudrajat dalam keterangan yang diterima di Kupang, Rabu, (5/6/2024).

Hal ini disampaikan berkaitan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati pada 5 Juni 2024 dengan tema "Restorasi Generasi".

Menurut Save The Children, krisis iklim dan hak anak sering dianggap tidak ada korelasinya, sehingga topik ini tidak muncul ke permukaan. Pembicaraan tentang perubahan iklim masih dominan mengenai perubahan fisik lingkungan.

"Ini tidak bisa diabaikan, kita harus segera bertindak untuk memastikan hak-hak mereka tetap terpenuhi walaupun dalam situasi krisis," ujar dia.

Dia menjelaskan bahwa berdasarkan kajian cepat Save the Children Indonesia pada November 2023, disebutkan bahwa kekeringan berdampak pada kesehatan, gangguan pada pendidikan anak serta mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat

Penelitian yang berfokus pada tiga kabupaten, yakni Lombok Barat, Sumba Timur dan Kupang ini berfokus pada dampak dan langkah kesiapsiagaan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi kekeringan di Indonesia.

Dampak kekeringan pada pendidikan anak-anak dapat terlihat dari bagaimana anak-anak sulit berkonsentrasi saat pelajaran berlangsung, misalnya di Lombok Barat, anak-anak harus bangun pada jam tiga pagi untuk mengantre mengambil air sebelum pergi ke sekolah.

"Di Sumba Timur, misalnya, anak-anak harus menempuh perjalanan 1,5–2 kilometer ke mata air setiap jam lima pagi," ujar dia.

Selain itu, isu kesehatan, malaria dan demam berdarah dapat menjadi problema akibat kelangkaan air yang menciptakan lingkungan yang ideal bagi perkembangbiakan nyamuk pembawa penyakit.

Kurangnya sumber air yang memadai memaksa masyarakat untuk menyimpan air, sehingga secara tidak sengaja menciptakan tempat berkembang biak bagi nyamuk.

Tidak hanya malaria dan demam berdarah, risiko penyakit pernafasan dan penyakit kulit, seperti infeksi bakteri dan jamur pada kulit, namun tidak terbatas pada impetigo, kudis, dan dermatitis jamur bisa terjadi akibat ketidakmampuan untuk menjaga praktik kebersihan.

Selain itu, gagal panen akibat kekeringan mengakibatkan nutrisi anak dan ibu hamil tidak terpenuhi akibat penurunan ketersediaan makanan yang bergizi. Tidak hanya itu, gagal panen juga berefek pada ekonomi keluarga.

Save the Children Indonesia, kata dia, menyerukan kepada pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk segera berkolaborasi dalam memperkuat langkah-langkah mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim.

Menurut dia, tindakan kolektif yang cepat dan terarah sangat diperlukan untuk mengkaji lebih jauh dampak perubahan iklim terhadap kesejahteraan keluarga dan anak, mentransfer istilah-istilah iklim ke dalam bahasa yang lebih mudah difahami masyarakat, orangtua, dan anak, serta menyampaikan pesan-pesan mitigasi dan adaptasi dalam bahasa masyarakat.

Baca juga: Mendagri usulkan Pemda yang berhasil kelola air mendapat insentif Rp10 miliar

Baca juga: Artikel - Tak ada lagi air mata setelah mata air mengalir di Waiwejak









Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul:  Save the Children ingatkan efek domino krisis iklim pada anak