Jakarta (ANTARA) - Bayangkan sebuah pertandingan ulang yang dimenangkan oleh tim yang sama, di lapangan yang sama, dengan wasit yang sama, dan penonton yang sudah tahu hasil akhirnya.
Itulah kira-kira gambaran dari pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini mulai menjamur di sejumlah daerah. Alih-alih menjadi solusi atas sengketa demokrasi, PSU justru menjadi ruang legal yang menjustifikasi kecurangan secara lebih rapi dan mahal.
Mahkamah Konstitusi tentu bukan tanpa alasan ketika menjatuhkan putusan PSU kepada beberapa daerah. Dalam banyak kasus, ditemukan pelanggaran administratif atau tindakan yang dianggap memengaruhi hasil pemilu.
Namun, problem muncul ketika PSU dilaksanakan tanpa mendiskualifikasi pasangan calon (Paslon) yang sebelumnya terbukti telah diuntungkan oleh pelanggaran tersebut. Maka, PSU tak ubahnya hanya menjadi kosmetik demokrasi, ritual pengulangan yang hasilnya sudah bisa ditebak.
Paslon yang sebelumnya menang dengan selisih suara yang cukup besar, ketika diperintahkan untuk mengulang pemungutan suara di beberapa TPS atau bahkan semua TPS, sudah pasti diuntungkan. Mereka memiliki keunggulan infrastruktur: tim pemenangan yang siap tempur, kantong suara yang sudah terpetakan, strategi yang sudah teruji, dan yang tak kalah penting, psikologis dan kepercayaan masyarakat yang cenderung masih loyal terhadap pilihan sebelumnya.
Sebaliknya, Paslon yang sebelumnya mengalami kekalahan cenderung menjadi lebih tidak maksimal dalam menghadapi PSU. Selain karena potensi kekalahan masih besar, ada keragu-raguan yang melemahkan semangat perlawanan. Mereka dihadapkan pada dilema: mengeluarkan biaya politik baru dengan risiko hasil yang sama, atau menarik diri secara perlahan.
Hal paling mencolok dari PSU adalah melonjaknya ongkos atau biaya politik. Dalam kondisi normal, biaya kampanye saja sudah cukup tinggi, apalagi saat PSU. Semua proses politik diulang dengan tekanan yang lebih besar. Paslon yang sebelumnya menang akan berupaya mempertahankan kemenangan dengan segala cara, termasuk meningkatkan intensitas politik uang.
Paslon di urutan teratas tentu tidak ingin kehilangan hasil sebelumnya, sedangkan Paslon yang tertinggal akan mengerahkan semua sumber daya untuk mengejar ketertinggalan, apa lagi jika jarak kekalahan sebelumnya sangatlah tipis atau sedikit. Maka, terjadilah inflasi politik uang --suara rakyat makin murah secara moral, tapi makin mahal secara finansial.
Menurut data Mahkamah Konstitusi, setidaknya terdapat 24 daerah yang diperintahkan untuk menggelar PSU akibat sengketa hasil Pilkada 2024. Rentang waktu pelaksanaannya bervariasi, mulai dari 30 hingga 180 hari sejak putusan dibacakan pada 24 Februari 2025.
Dari 10 daerah yang telah melaksanakan PSU, setidaknya tujuh hasil PSU telah kembali digugat ke MK dengan berbagai dugaan kecurangan, mulai dari administrasi hingga dugaan politik uang kembali terjadi. Ini memperlihatkan bahwa PSU belum menyelesaikan persoalan substantif, justru menambah konflik baru dan memperkuat kecenderungan pragmatisme politik.
Putusan MK atas gugatan hasil PSU pada Kabupaten Barito Utara menjadi salah satu cerminan buruk demokrasi. Praktik money politic atau politik uang telah terbukti meningkat hingga berkali-kali lipat dibanding pemilu regular sebelumnya, dimana disebutkan bahwa setiap pemilih bahkan memperoleh politik uang sebesar 16 juta, dan mencapai 64 juta per KK.
Hal itu disebabkan antara lain karena ketidakinginan antara kedua Paslon tersebut dikalahkan oleh masing-masing lawannya sehingga berbagai cara dan upaya telah dilakukan. Belum lagi jumlah TPS yang sedikit sehingga membuat “target pembelian suara” lebih terfokus dan efisien.
Kemudian bagi Paslon yang terkena diskualifikasi oleh MK, bukan berarti pertarungan usai. Dalam beberapa kasus, mereka mengalihkan dukungan kepada kerabat, loyalis, atau kandidat bayangan untuk tetap bertarung. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan tetap bisa dijaga melalui sirkulasi semu dan manipulatif.
Untuk itu, dana politik yang digelontorkan pun semakin besar. Mereka tidak hanya ingin menang, tapi ingin membuktikan bahwa diskualifikasi tidak membuat mereka tersingkir. PSU bagi mereka adalah panggung balas dendam dan pemulihan maruah politik.
Tak kalah mengkhawatirkan adalah kondisi masyarakat yang makin permisif terhadap politik uang. Pada pilkada regular saja, banyak warga enggan datang ke TPS jika tidak mendapat uang saku. Bahkan ada yang terang-terangan menolak memilih tanpa “imbalan”. Apalagi pada proses pelaksanaan PSU dimana sebelumnya masyarakat telah merasakan bagaimana dan berapa besaran yang telah diberikan oleh masing-masing pasangan calon.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa pemilu telah tereduksi menjadi momen transaksi, bukan partisipasi. Dalam PSU, suasana ini justru lebih pekat, karena ini hanya menjadi pengulangan agenda dengan Paslon yang sama dan cara-cara yang sama, bahkan beberapa daerah memiliki cakupan wilayah kecil dan tensi politik tinggi.
PSU seharusnya menjadi mekanisme korektif. Sayangnya, tanpa diskualifikasi Paslon yang terbukti melanggar, PSU malah jadi jalan tengah yang menyesatkan. Publik bisa saja menangkap pesan bahwa “kecurangan yang rapi” akan tetap dapat diakomodasi oleh sistem.
Jika kecurangan hanya dibalas dengan PSU yang peluangnya tetap menguntungkan Paslon yang sebelumnya curang, maka sistem memberikan pelajaran bahwa curang itu tak mengapa, asal cermat dan tak terlalu vulgar.
Padahal, demokrasi bukan hanya soal prosedur, tapi juga moral. Ketika PSU justru meneguhkan dominasi modal, menguatkan praktik transaksional, dan mempertahankan elite lama dengan wajah baru, maka yang kita bangun bukanlah demokrasi, melainkan demokrasi semu.
Sudah saatnya Mahkamah Konstitusi bertindak lebih tegas. PSU harus ditempatkan sebagai instrumen korektif yang bermakna, bukan sekadar repetisi. Diskualifikasi seharusnya menjadi opsi utama dalam kasus pelanggaran serius. Jika tidak, kita hanya mengulang pemilu, tapi tak pernah memperbaiki demokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi atas hasil pelaksanaan PSU di Kabupaten Barito Utara tentu menjadi satu putusan yang menggembirakan bagi demokrasi kita dimana kedua Paslon terbukti melakukan money politic dan didiskualifikasi. Namun ini juga sekaligus menjadi momok bagi putusan MK sebelumnya yang ternyata pada pelaksanaan PSU atas perintah putusan justeru kedua Paslon melakukan money politic yang jauh lebih buruk.
Oleh karena itu, tidak hanya pada putusan MK yang harus diperkuat dan diperketat, tetapi juga pelaksanaan Pilkada baik dari sisi penyelenggara (dalam hal ini KPU), pengawasnya (dalam hal ini BAWASLU), dan seluruh jajarannya mesti dievaluasi secara menyeluruh agar ke depan dapat menghadirkan demokrasi partisipatif yang lebih baik.
*) Aco Ardiansyah Andi Patingari adalah peneliti Charta Politika Indonesia
Editor: Dadan Ramdani
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Demokrasi semu di balik PSU