Artikel - Mampukah media massa jadi jembatan penghubung Tiongkok-Indonesia?

id Beijing

Artikel - Mampukah media massa jadi jembatan penghubung Tiongkok-Indonesia?

Ketua Asosiasi Diplomasi Publik RRT, Hu Zhengyue (dua dari kanan) dan pimpinan majalah China Pictorial, Zhao Yue (kanan) bersama sejumlah pejabat asosiasi itu ketika bertemu dengan delegasi wartawan di Beijing. (ANTARA FOTO/Bernadus Tokan)

Secara kedekatan, dua negara tersebut sudah bersahabat sejak ribuan tahun lalu, dan hubungan itu terus berlanjut dan terjaga hingga saat ini, seperti air sungai Bengawan Solo.
Kupang (ANTARA) - Pada 24-31 Agustus 2019, Konsulat Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Denpasar, Bali mengirim sepuluh wartawan Indonesia asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mengunjungi ke Tiongkok.

Selama sepekan di Tiongkok, delegasi wartawan Indonesia yang dipimpin Dwikora Putra itu, mengunjungi sejumlah obyek wisata dan melihat perkembangan media dan teknologi di Kota Beijing, serta mengunjungi Wuyuan dan Nanchang di Provinsi Jiangxi.

Delegasi yang difasilitasi Konjen RRT di Bali ini, rata-rata berjumlah sepuluh orang dari berbagai media massa yang tersebar di tiga wilayah, yang sebelumnya berada dalam satu provinsi yakni Sunda Kecil itu.

Pengiriman delegasi wartawan ke Tiongkok ini, mengisyaratkan bahwa, Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok memandang media memiliki peran penting dalam membangun hubungan bersahabatan kedua negara.
 
Sekretarias Daerah Kota Wuyuan Ny. Dong Lihua Shangrao (empat dari kanan) ketika menerima delegasi wartawan Indonesia asal NTT, NTB dan Bali. (ANTARA FOTO/Bernadus Tokan)

"Kita perlu belajar bagaimana melibatkan media saat kita mencoba untuk memajukan hubungan kita ke tingkat yang lebih tinggi," kata Duta Besar China untuk ASEAN Huang Xilian dalam High Level Conference on ASEAN-China Media Cooperation, yakni konferensi tentang kerja sama media ASEAN-China bertema "Era digital: memperkuat hubungan antarmedia untuk masa depan lebih baik" di Jakarta 24 Juli lalu.

Menurut Dubes Huang Xilian, China dan negara anggota ASEAN perlu mencari cara untuk memastikan bahwa media akan memainkan peran yang konstruktif dalam mengurangi kesalahpahaman dan meningkatkan kepercayaan dalam membangun hubungan ASEAN-China.

"Jelas media memiliki peran yang sangat penting untuk dimainkan, dan kita perlu mempromosikan rasa saling pengertian. Kita telah terbiasa dengan beberapa sumber dari Barat, dan ada cukup banyak berita bohong yang mengganggu rasa saling paham di antara kita," ujar dia.

"Kita perlu menyatukan media kita untuk terlibat satu sama lain dengan cara yang lebih baik sehingga kebenaran bisa diceritakan, dan cerita yang bagus bisa diceritakan satu sama lain, dan dengan begitu hubungan kita bisa ditingkatkan," tambah Huang Xilian.

Menurut Deputi Sekjen ASEAN Bidang Sosial Budaya Kung Phoak, konferensi tersebut mencerminkan kemitraan ASEAN-China yang semakin dalam di bidang informasi untuk saling mengenal dengan lebih baik.

Dalam hubungan dengan itu, ia berharap agar China dapat bermitra dengan ASEAN dalam mempromosikan seluruh spektrum kesiapan, dan aksesibilitas digital yang dapat mencakup tanggapan kolektif terhadap penyebaran informasi yang salah dan kabar bohong.

Media berperan penting
Ketua Asosiasi Diplomasi Publik RRT, Hu Zhengyue dalam pertemuan dengan delegasi wartawan NTT, NTB dan Bali di Beijing mengatakan, media berperan penting dalam mempererat hubungan masyarakat kedua negara (Tiongkon-Indonesia), yang sudah berlangsung lama.

"Kami mendapat kehormatan dikunjungi oleh rekan-rekan wartawan, yang merupakan pimpinan organisasi pers di Indonesia, dan berharap ada kerja sama antarmedia di dua negara untuk promosi pariwisata dan budaya masing-masing negara," katanya.

HU Zhengyue yang didampingi pimpinan majalah China Pictorial, Zhao Yue itu meyakini, dengan adanya kerja sama nantinya, akan mendorong lebih banyak masyarakat Tiongkok untuk mengunjungi wilayah-wilayah di Indonesia.

Konsulat Jenderal (Konjen) Republik Rakyat Tiongkok di Denpasar, Bali, Gou Haodong mengatakan, Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memandang Indonesia sebagai negara yang sangat penting, dalam konteks kerja sama di berbagai bidang, terutama investasi.
Konsulat Jenderal (Konjen) Republik Rakyat Tiongkok di Denpasar, Bali, Gou Haodong dalam suatu wawancara. (ANTARA FOTO/Bernadus Tokan)
"Tiongkok melihat Indonesia sebagai negara yang sangat penting dalam kerja sama, karena dari satu sisi luas wilayah Tiongkok sangat besar dan Indonesia juga terbesar di ASEAN," katanya.

Secara kedekatan, dua negara tersebut sudah bersahabat sejak ribuan tahun lalu, dan hubungan itu terus berlanjut dan terjaga hingga saat ini, seperti air sungai Bengawan Solo.

Tiongkok sekarang sedang maju terus dan akan terus meningkat, tergantung kerja sama dengan negara-negara lainnya di dunia. 
"Dan keuntungan yang sangat besar untuk Tiongkok adalah kalau ada investasi yang masuk ke Indonesia, karena pasar Indonesia cukup besar dan menjanjikan," katanya.

Dalam melakukan investasi, Tiongkok sangat mementingkan kemanusian dan saling menguntungkan untuk maju bersama, hingga usia kemerdekaannya yang ke-70 dalam tahun ini.

"Karena luasnya Tiongkok, sehingga kami tidak bisa mengikuti pola berkembang di negara lain, tetapi harus mengikuti pola sendiri. Tetapi dengan berkunjungnya wartawan Indonesia ke Tiongkok saat ini, bisa mendapatkan jawabannya sendiri," katanya.

Wartawan obyektif
Menurut dia, wartawan bisa lebih obyektif dan cerdas dalam melihat perkembangan di Tiongkok, termasuk kritik-kritik yang positif tentang Tiongkok untuk perbaikan ke arah yang lebih baik lagi.

Kemajuan dan perkembangan yang terjadi di Tiongkok saat ini, sesungguhnya juga karena Tiongkok belajar dari perkembangan di negara lain. Belajar bukan berarti mengcopy, karena setiap negara memiliki karakter yang berbeda-beda.

Gou Haodong yang pernah bertugas di Afrika itu juga mengakui bahwa salah satu kendala terbesar dalam berkomunikasi adalah bahasa, karena masyarakat Tiongkok umumnya tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia.

Hanya sebagian kecil masyarakat di negara itu yang bisa berbahasa Inggris sebagai bahasa dunia, sehingga menyulitkan orang Indonesia untuk berwisata di negeri Tirai Bambu ini.

Namun, masalah ini menunjukkan bahwa keterbukaan di Tiongkok tidak sama seperti di Bali dan Indonesia pada umumnya, dimana wisawatan bisa berbahasa Inggris.

Tetapi sekarang, menurut Gau Haodong yang merupakan diplomat senior itu, di universitas-universitas di Tiongkok, orang-orang sudah mulai belajar bahasa Inggris dan juga Jepang untuk menghadang tirai dan belenggu komunikasi itu.

"Saya optimistis, dua atau tiga tahun ke depan, masyarakat Tiongkok sudah bisa lebih banyak menggunakan bahasa Inggris untuk mendukung negeri Tirai Bambu sebagai negara yang terbuka untuk semua negara di dunia," kata Gau Haodong.
Pertemuan delegasi wartawan Indonesia asal NTT, NTB dan Bali dengan Ketua Asosiasi Diplomasi Publik RRT, Hu Zhengyue bersama sejumlah pejabat tinggi terkait. (ANTARA FOTO/Bernadus Tokan)