Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Karolus Kopong Medan, SH.MHum mengatakan dibutuhkan tim khusus untuk menangani konflik berdarah yang terjadi di wilayah Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Dalam menangani konflik berdarah di Adonara seperti yang terjadi pada Kamis (5/3), menurut saya harus dilakukan terus-menerus dan butuh tim khusus untuk menanganinya," kata Karolus Kopong Medan kepada ANTARA di Kupang, Jumat (6/3), terkait sering munculnya peristiwa "perang tanding" di Pulau Adonara.
Konflik antarsuku dan atau antarkampung di Pulau Adonara, yang oleh Ernst Vatter seorang antropolog Jerman diberi label sebagai Pulau Pembunuh, sepertinya tetap melekat dan terwariskan hingga kini.
Kasus demi kasus "perang tanding" yang menewaskan sekian banyak nyawa manusia, terus saja terjadi mewarnai dinamika kehidupan masyarakat di pulau yang terletak di ujung timur Pulau Flores ini.
Menurut Kopong Medan, rentetan kasus "perang tanding: sebelumnya seperti kasus Tana Nephang yang melibatkan masyarakat Desa Redontena dengan Desa Adobala, dan kasus Tana Bele yang melibatkan masyarakat Lewobunga dengan Lewonara belum tuntas ditangani.Kini muncul lagi kasus di Wule Wata yang melibatkan suku Kwaelaga dengan suku Lamatokan di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama yang menewaskan sebanyak enam orang.
"Dan tentunya masih banyak kasus tanah, yang jika dibiarkan berlarut akan berpotensi terjadinya "perang tanding" atau bentrokan antarsuku atau kampung," kata Kopong Medan.
Dia menambahkan, sangat disayangkan konflik tanah di Wulen Wata, Pantai Bani, Desa Baobage, Kecamatan Witihama ini harus pecah lagi dan menewaskan sekian banyak nyawah manusia.
"Saya tidak mau mempersalahkan siapa-siapa dalam penanganan kasus ini, tetapi menurut saya, kita selalu terlambat mengambil langkah-langkah antisipatif untuk mencegah terjadinya "perang tanding" antarkedua suku ini," katanya.
"Kalau tidak salah, kasus tanah yang melibatkan kedua suku ini sudah lama terjadi, dan reaksi-reaksi yang mengindikasikan kemungkinan terjadinya "perang tanding" itu sudah mulai nampak," katanya.
"Tentunya aparat pemerintahan desa maupun kecamatan setempat sudah pasti tidak tinggal diam," kata doktor lulusan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah pada, 2007 dengan disertasi tentang Peradillan Rekonsiliatif
dalam Tradisi Adat Lamaholot itu.
"Demik an pula aparat keamanan juga pasti sudah pernah disiagakan untuk mencegah agar konflik itu tidak pecah," tambah lulusan Magister Undip 2005 dengan tesis "Pembunuhan dalam Kasus Tanah dan Wanita di Pulau Adonara, Flores Timur: Sebuah Analisis Budaya Hukum" itu.
Namun harus diakui pula bahwa upaya meredam konflik seperti itu hanya bisa mengamankan situasi sesaat. "Ketika ada aparat pemerintah dan keamanan yang disiagakan di lokasi konflik, pasti situasi kelihatan aman-aman saja," katanya.
Padahal, sesungguhnya masing-masing pihak sedang mencari siasat dalam senyap untuk melumpuhkan lawan. Dan, itulah kisah perang tanding di Pulau Adonara yang dilukiskan oleh Ernst Vatter sebagai Killers Island.