Beban NTT dalam memenuhi kebutuhan pangan

id Beras

Beban NTT dalam memenuhi kebutuhan pangan

Para petani sedang membersihkan padinya setelah melakukan panen raya. (Foto ANTARA)

Memang, untuk mencetak sawah baru di suatu wilayah, bukanlah suatu pekerjaan yang gampang.
Kupang (Antaranews NTT) - Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayahnya 47.246 km? yang dihuni sekitar 5 juta jiwa penduduk ini, bukanlah daerah produsen beras, sehingga setiap tahun selalu mendapat pasokan dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur.

Meskipun demikian, sejumlah daerah di NTT, seperti Manggarai Barat, Ngada, Kodi, Rote, dan Oesao sering dilukiskan sebagai lumbung pangannya NTT, meskipun hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Kondisi inilah yang membuat daerah ini masih bergantung pada daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakatnya.

Akibat minimnya daerah sentra produksi pangan, serapan gabah untuk daerah ini selama 2017 hanya mencapai 4.000 ton dari target yang ditetapkan pemerintah pusat 13.900 ton. Dan, dalam Tahun 2018, NTT diberi beban pengadaan beras sebanyak 83.000 ton.

"Berbagai kendala kami temukan selama proses serapan berlangsung, walaupun sudah dibantu oleh TNI dalam mencetak sawah baru, namun targetnya belum tercapai juga," kata Kepala Bulog Divre Nusa Tenggara Timur Efdal MS.

Efdal MS tampaknya tidak putus asa melihat realitas tersebut, karena stok beras yang dikuasai Bulog Divre NTT masih sekitar 28.000 ton yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat daerah ini hingga Maret 2018.

Melihat situasi pangan secara nasional, Pemerintahan Jokowi-JK pun merasa khawatir dan prihatin, sehingga menempuh kebijakan untuk mengimpor 500.000 ton beras dalam tahun ini. Namun, kebijakan mulia yang ditempuh itu pun masih tetap mendapat kritik dari berbagai elemen masyarakat.

Anggota DPD-RI asal daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur Ibrahim Agustinus Medah mempertanyakan kebijakan pemerintah melakukan impor beras dalam jumlah banyak, karena indikator yang digunakan pemerintah lantaran adanya gejolak harga beras di pasaran.

Namun, Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa kebijakan tersebut untuk memperkuat cadangan beras di dalam negeri, karena stoknya menipis sebagai akibat dari hasil panen petani tahun ini sangat kurang.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras tersebut juga mengacu pada ketentuan FAO, dimana organisasi sayap PBB yang mengurus soal pangan itu merekomendasikan cadangan beras untuk suatu negara seperti Indonesia berkisar antara 1,1 juta ton sampai 1,8 juta ton, sementara cadangan beras di dalam negeri masih jauh di bawah sehingga dibutuhan penambahan stok.

Dalam hubungan dengan itu, Perum Bulog mulai memberi pekerjaan rumah kepada semua daerah untuk meningkatkan produksi pangannya, terutama beras, guna mengurangi ketergantungan terhadap daerah lain. Untuk NTT, Perum Bulog memproyeksikan pengadaan beras sebanyak 83.000 ton dalam tahun ini.

"Proyeksi yang diberikan pemerintah pusat, selalu meningkat setiap tahun, sehingga kami harus berusaha untuk memenuhinya, apapun alasannya," kata Efdal MS, seraya menjelaskan bahwa proyeksi tersebut dilakukan berdasarkan makin meningkatnya luas areal tanam dan pencetakan sawah baru di NTT.

Proyeksi pengadaan beras tersebut jika dibandingan dengan 2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, karena pada tahun tersebut, NTT hanya mendapat proyeksi 2.270 ton atau sedikit mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan 2016 yang hanya mencapai 1.850 ton.

                                  Kabulog Divre NTT Efdal MS

Pria kelahiran 27 Agustus 1962 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang sudah 37 tahun mengabdi di Perum Bulog ini menjelaskan peningkatan pengadaan beras untuk NTT tersebut, karena pemerintah melihat bahwa area persawahan di NTT makin meningkat serta jumlah konsumsi masyarakat akan beras di provinsi ini juga meningkat.

"Pemerintah melihat bahwa area pesawahan atau luas lahan tanam kami besar. Kemudian juga konsumsi masyarakat NTT akan beras juga besar sehingga alokasi pengadaannya pun ditingkatkan jumlahnya," ujar ayah empat orang anak itu.

Peningkatan pengadaan beras pada 2018 ini ditempuh walaupun angka pengadaan beras di NTT pada 2017 hanya mencapai 15 persen dari jumlah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini, sebagai akibat dari gagal panen, kemarau berkepanjangan, serta serangan hama belalang pada sejumlah daerah penghasil beras, sehingga target yang ditetapkan tidak tercapai.

Di tengah situasi sulit yang dihadapi Bulog NTT tersebut, perusahaan umum yang bergerak di bidang pangan itu, masih meluncurkan 19.680 kilogram beras sejatera (rastra) kepada 13.740 keluarga penerima manfaat (KPM) di Kota Kupang dalam Januari 2018.

Efdal MS menjelaskan bahwa penyaluran bansos rastra merupakan bagian dari upaya pemerintah membantu masyarakat dalam menambah persediaan beras di rumah masing-masing menyusul isu mahalnya harga beras di pasaran, apalagi setiap KPM mendapat jatah 10 kg per bulan yang baru dimulai dalam Januari ini.

Peluncuran rastra tersebut diharapkan ikut menstabilkan harga di pasaran, selain kegiatan operasi pasar yang dilakukan Bulog Divre NTT terhadap beras medium yang harganya sudah mencapai Rp12.000 per kilogram dari harga eceran terendah (HET) Rp9.950 per kilogram.

Wali Kota Kupang Jefry Riwu Koreh mengapresiasi peran Bulog yang terus berusaha menekan harga beras di Kota Kupang dengan cara menggelar operasi pasar dan peluncuran bansos saat harga beras medium berada pada posisi Rp12.000 per kilogram.

"Kami mengapresiasi hal ini sebab tentu saja akan menurunkan kembali harga beras di pasaran seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) yang dikeluarkan pemerintah hanya Rp9.950 per kilogram," ujarnya.

Mencermati minimnya daerah produsen beras di NTT, Efdal MS memandang penting untuk meneruskan kerja sama dengan TNI dalam hal pencetakan sawah baru sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi beras bagi daerah ini.

     Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa.(Foto Antara/Kornelis Kaha)

Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa belum berkomentar banyak soal kelanjutan kerja sama tersebut, karena merupakan ranahnya Mabes TNI dan Kementerian Pertanian. Jenderal berbintang satu itu mengakui bahwa pihaknya sudah melakukan pencetakan sawah baru di NTT selama 2017.

Namun, realisasinya hanya 446 hektare dari target yang ditetapkan 1.500 hektare. "Target dari Mabes TNI menghendaki agar Korem Wirasakti harus mencetak sawah baru seluas sekitar 1.500 hektare, namun dalam perjalanan kami hanya mampu mencetak 446 hektare saja," kata mantan Wadanjen Kopassus itu.

Memang, untuk mencetak sawah baru di suatu wilayah, bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. "Untuk mencetak sawah baru diperlukan sebuah kajian akademis yang mendalam terhadap suatu lahan yang hendak diolah. Apakah lahan tersebut ada air tanahnya tidak, lahannya bermasalah atau tidak," katanya.

Artinya, areal persawahan yang dicetak itu harus bisa dimanfaatkan oleh petani, dengan mengacu pada sumber air yang ada di sekitarnya. Kalau sawahnya tidak ada air dan tidak dikelola oleh petani, untuk apa dicetak, kata Brigjen Teguh Muji Angkasa.

Memang berat rasanya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat NTT secara mandiri, karena berbagai kendala dan persoalan yang dihadapi di lapangan, namun Efdal MS tetap merasa optimistis bahwa masyarakat NTT tidak akan lapar, karena stok beras masih cukup memadai.