Amerika Serikat serang militan ISIS di Kabul

id afghanistan,isis,amerika serikat,taliban

Amerika Serikat serang militan ISIS di Kabul

Asap hitam terlihat di sebuah kawasan di Kabul, Afghanistan, Minggu (29/8/2021). (ANTARA/Reuters)

Kami ingin memastikan setiap warga asing dan mereka yang berisiko dievakuasi hari ini. Pasukan akan mulai diterbangkan segera setelah proses itu berakhir
Washington (ANTARA) - Militer Amerika Serikat melakukan serangan rudal pada kelompok militan ISIS di Kabul, Afghanistan, pada Minggu (29/8), menurut sejumlah pejabat AS yang minta dirahasiakan identitasnya.

Serangan tersebut menyasar terduga ISIS-K, kelompok militan musuh Barat dan Taliban, yang bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri di luar gerbang bandara Kabul pada Kamis (26/8).

Serangan yang menewaskan sedikitnya 90 warga Afghanistan dan 13 tentara AS itu terjadi ketika evakuasi besar-besaran dilakukan menyusul pengambilalihan Kabul oleh Taliban pada 15 Agustus.

Para pejabat mengatakan mereka mengutip informasi awal yang bisa saja berubah.

Baca juga: Inggris sudah evakuasi lebih dari 13.000 orang dari Afghanistan

Tayangan televisi memperlihatkan asap hitam mengepul ke udara, namun belum ada informasi tentang korban.

Dua orang saksi mengatakan ledakan tampaknya disebabkan oleh sebuah roket yang menghantam sebuah rumah di sebuah kawasan di sisi utara bandara, namun belum ada konfirmasi tentang hal itu.

Baca juga: AS siap menghadapi ISIS setelah tentara tewas di Bandara Kabul

Serangan AS dilakukan ketika sekitar 1.000 warga sipil di bandara Kabul menanti diterbangkan keluar dari Afghanistan sebelum pasukan asing terakhir meninggalkan negara itu, kata seorang pejabat keamanan Barat.

"Kami ingin memastikan setiap warga asing dan mereka yang berisiko dievakuasi hari ini. Pasukan akan mulai diterbangkan segera setelah proses itu berakhir," kata pejabat tersebut.

Presiden AS Joe Biden sebelumnya mengatakan dirinya akan tetap pada tenggat yang telah diputuskan untuk menarik semua pasukan AS dari Afghanistan pada Selasa (31/8). Seorang pejabat AS mengatakan pada Sabtu (28/8) bahwa jumlah tentara AS yang masih berada di Kabul kurang dari 4.000 orang.

AS dan sekutunya telah mengangkut sekitar 114.400 orang, termasuk warga Afghanistan yang berisiko menjadi sasaran Taliban, ke luar dari negara itu dalam dua pekan terakhir, namun puluhan ribu lainnya akan ditinggalkan.

Evakuasi lewat udara --salah satu yang terbesar dalam sejarah-- menandai berakhirnya 20 tahun misi Barat di Afghanistan yang dimulai sejak pasukan sekutu pimpinan AS mengusir pemerintah Taliban yang melindungi para pelaku serangan 11 September 2001 di AS.

Bab terakhir keberadaan mereka di Afghanistan tiba setelah AS dan Taliban sepakat untuk mengakhiri keterlibatan asing pada 31 Agustus tahun ini.

Pemerintah dukungan Barat dan tentara Afghanistan runtuh setelah para pejuang Taliban menyapu seluruh negara itu dan mengambil kendali atas ibu kota Kabul.

"Kami mencoba setiap pilihan karena nyawa kami terancam. Mereka (pemerintah asing) harus menuntun kami ke jalan keselamatan. Kami harus tinggalkan Afghanistan atau mereka memberi kami tempat yang aman," kata seorang perempuan di bandara.

Baca juga: Presiden Biden janji buru penyerang bandara Kabul

Seorang petinggi Taliban mengatakan kelompok pemberontak itu memiliki sejumlah insinyur dan teknisi yang siap mengendalikan bandara.

"Kami menunggu anggukan terakhir dari Amerika untuk mengamankan kendali penuh atas bandara Kabul karena kedua pihak bermaksud melakukan serah-terima segera," kata dia.

Biden bertolak ke Pangkalan Udara Dover pada Minggu untuk memberi penghormatan terakhir kepada anggota militer AS yang terbunuh dalam serangan Kamis lalu setelah jenazah mereka tiba di AS.

Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan berharap Taliban masih akan mengizinkan warga AS dan lainnya untuk meninggalkan Afghanistan secara aman setelah penarikan pasukan AS diselesaikan.

"Taliban telah berkomunikasi secara pribadi dan secara terbuka bahwa mereka akan mengizinkan kepergian orang-orang dengan aman," kata Sullivan dalam wawancara televisi di CBS.

Sumber: Reuters