Beijing (ANTARA) - Merebaknya wabah COVID-19 di China berisiko membunuh 1,5 juta jiwa warga jika tidak menerapkan kebijakan pengendalian dan pencegahan pandemi secara ketat, demikian Kementerian Luar Negeri setempat (MFA) mengutip pendapat para pakar kesehatan.
"Besarnya populasi China juga berarti tindakan pencegahan dan pengendalian yang kendor akan menyebabkan kematian sejumlah besar kalangan orang tua," kata juru bicara MFA Zhao Lijian di Beijing, Rabu (11/5).
Menurut dia, kebijakan nol COVID-19 secara dinamis sangat efektif melindungi kaum lansia dan kelompok berisiko yang memiliki penyakit bawaan.
"Ini sangat berbeda dengan kebijakan longgar yang mengarah pada kekebalan imunitas dan kekebalan alami yang diambil oleh beberapa negara lain," ucapnya.
Ia menyatakan bahwa kebijakan nol COVID-19 secara dinamis bukan berarti mengarah pada nol kasus, melainkan pengendalian pandemi dengan biaya sosial rendah dalam waktu sesingkat mungkin sehingga secara efektif melindungi kesehatan masyarakat dan aktivitas 1,4 miliar warga China tidak terpengaruh.
Sejak mewabah pada akhir 2019 sampai saat ini di China tercatat 1,12 juta kasus positif dan 5.198 kasus kematian.
Sejak Januari 2022 China kembali dilanda peningkatan kasus, terutama di Shanghai dan saat ini di Beijing.
Shanghai telah diberlakukan penguncian wilayah (lockdown) sejak pertengahan Maret lalu.
Meskipun kasus sudah menurun, belum ada tanda-tanda lockdown dicabut di kota terkaya dan pusat keuangan China itu.
Di Beijing sejak akhir April telah diterapkan lockdown secara parsial, terutama di kawasan bisnis terpadu (SCBD) Distrik Chaoyang.
Baca juga: Riset: Omicron sama parah dengan varian COVID
Warga China yang terdampak kebijakan itu sudah mulai tidak tahan dan mempersoalkannya, apalagi tes PCR yang sebagai prasyarat untuk memasuki fasilitas publik di zona yang tidak termasuk berisiko tinggi terus diwajibkan tanpa ada kejelasan sampai kapan akan berakhir.
Baca juga: Riset: Infeksi Omicron timbulkan respons imun terbatas pada orang nirvaksin