Jakarta (ANTARA) - Bayangan medali emas SEA Games 2021 tampak begitu nyata begitu tim nasional Indonesia menjadi skuad terbaik kedua di Piala AFF 2020.
Sebabnya, di Piala AFF itu, kesebelasan “Garuda” diperkuat pemain yang rata-rata usianya 23,7 tahun. Sementara di kompetisi olahraga sepak bola putra SEA Games, setiap tim wajib membawa pasukan U-23 dengan tambahan maksimal tiga pemain berusia lebih tua.
Benar saja, sesuai prediksi, pelatih timnas “Garuda” Shin Tae-yong akhirnya memanggil nama-nama penting di Piala AFF 2020 untuk ambil bagian dalam persiapan SEA Games 2021.
Mereka, seperti Asnawi Mangkualam Bahar, Ernando Ari, Rizky Ridho dan Rachmat Irianto, masuk dalam 29 pemain yang diikutsertakan ke pemusatan latihan (TC) di Korea Selatan pada April 2022.
Di Negeri Ginseng, timnas U-23 Indonesia juga menjalani tiga laga uji coba dengan hasil hanya sekali menang dan dua kali kalah. Bermodal itulah, “Garuda Muda” terbang ke Vietnam dan memulai petualangannya berburu medali emas.
Shin Tae-yong pada akhirnya memasukkan 20 pemain dalam daftar skuad SEA Games 2021. Para jebolan Piala AFF 2020 yaitu Ernando Ari, Egy Maulana, Witan Sulaeman, Rizky Ridho, Ricky Kambuaya, Alfeandra Dewangga, Fachruddin Aryanto, Rachmat Irianto, Asnawi Mangkualam, Syahrian Abimanyu dan Elkan Baggott ada di sana.
Mereka disokong sosok-sosok berbakat lain yaitu Muhammad Adi Satryo, Ronaldo Joybera Kwateh, Marselino Ferdinan, Ilham Rio Fahmi, Irfan Jauhari, Muhammad Ridwan, Firza Andika dan Saddil Ramdani. Gelandang naturalisasi dari Belanda Marc Klok juga disertakan, yang membuatnya mengisi slot pemain berusia di atas 23 tahun bersama Ricky dan Fachruddin.
Jumat, 6 Mei 2022, menjadi hari pertama Indonesia bertarung di SEA Games 2021 dan langsung menghadapi tuan rumah Vietnam dalam pertandingan Grup A. Grup tersebut diisi pula oleh Myanmar, Filipina dan Timor Leste.
Jutaan pencinta sepak bola nasional menanti partai panas tersebut. Berharap Indonesia dapat menundukkan Vietnam, membalas kekalahan 0-3 di final SEA Games 2019.
Namun, asa tak selalu berubah nyata. Indonesia justru kembali takluk, juga dengan skor 0-3.
Bangkit dan Tersangkut
Kandas bukan berarti tandas. Shin Tae-yong segera melakukan evaluasi atas performa anak-anak asuhnya. Salah satunya adalah dengan membenahi kualitas lini tengah.
Ketika menghadapi Vietnam, sektor sentral “Garuda Muda” seperti kosong, mudah diacak-acak lawan. Namun, pada pertandingan berikutnya kontra Timor Leste, para gelandang tampil lebih tertata dan rapi. Aliran bola ke berbagai sisi lapangan cukup lancar.
Baca juga: Artikel - Menjaga cahaya solidaritas Asia Tenggara
Hasilnya, Indonesia menang 4-1 atas Timor Leste, kemudian melumat Filipina 4-0 dan mengangkangi Myanmar 3-1. Tambahan sembilan poin membawa Indonesia ke peringkat kedua klasemen akhir Grup A yang harus melawan posisi satu Grup B, Thailand di semifinal.
Di empat besar, superioritas kualitas Thailand gagal dibendung. Laju positif Indonesia tersangkut dalam laga yang berlangsung sampai babak tambahan itu lantaran tumbang 0-1.
Mau tak mau, harapan tinggal medali perunggu. Berebut dengan Malaysia yang pada laga semifinal lain dikarungi Vietnam satu gol tanpa balas. Tidak gampang merobek pertahanan "Harimau Malaya", tetapi Indonesia sukses menjadi peringkat ketiga sepak bola putra SEA Games 2021 melalui drama adu penalti.
Medali perunggu itu, seperti semua prestasi lainnya, pantas dirayakan. Akan tetapi, sejatinya, tingkat tertinggi dari perayaan sebuah pencapaian adalah memetik pelajaran dari sana.
Indonesia selayaknya demikian pula. Harus berguru pada perunggu. Kegagalan memenuhi harapan emas mesti menjadi teguran keras yang mesti diserap baik-baik oleh pelatih, pemain dan, tentu saja, PSSI.
Shin Tae-yong sudah selayaknya mampu meramu tim dengan komposisi pemain yang tepat. Timnas Indonesia idealnya mesti “tancap gas” sejak awal dalam turnamen apapun yang diikuti. Ketika terjun ke dalam turnamen, tak ada lagi namanya coba-coba.
Di SEA Games 2021, “Garuda Muda” memerlukan dua pertandingan sebelum menemukan keseimbangan yang diinginkan. Hal yang tampak tak masalah seperti ini sebenarnya mengkhawatirkan apalagi ketika menghadapi lawan dengan kualitas setara atau lebih bagus pada pertandingan-pertandingan pembuka.
Baca juga: Artikel - Saat Anthony Ginting memilih karier sebagai atlet profesional
Juru taktik asal Korea Selatan itu sudah diberikan kebebasan penuh oleh PSSI. Dia wajib memanfaatkan hal tersebut dengan mencari pemain-pemain terbaik menurut versinya.
Sebagai tim nasional, semua tindak-tanduk diawasi oleh masyarakat Indonesia dengan segudang mimpi-mimpinya. Oleh karena itu, menjaga optimisme dan performa di level atas seharusnya dilakukan, apalagi kebanyakan aktivitas skuad “Garuda” dibiayai oleh pajak rakyat.
Bagi pemain, mempertahankan kedisiplinan dan konsistensi itu harga mati. Seorang personel tim nasional tak cukup cuma bermodal kemampuan teknik mumpuni.
Di SEA Games 2021, nama-nama yang diturunkan sebenarnya merupakan sosok mentereng. Ada yang bermain di luar negeri, ada yang berpengalaman di Piala AFF, eks pemain timnas U-16, U-19, meski ada pula yang berstatus debutan.
Sekilas, mereka merupakan pasukan ideal yang sangat diunggulkan untuk meraih keping emas. Sayang, kenyataan menunjukkan sebaliknya dan itu mesti diterima. Beban di pundak pemain tentu saja semakin berat untuk menghadapi turnamen-turnamen berikutnya, tetapi kepala harus tegak.
Baca juga: Artikel - Bintang yang tenggelam di Vietnam
Refleksi yang paling komprehensif sudah selayaknya dilakukan oleh PSSI. Persoalan tim nasional bukan tentang tim nasional semata, tetapi juga soal faktor skala luas meliputi kualitas kompetisi, pembinaan pesepak bola muda, keberadaan sarana-prasarana latihan dan program pengembangan sepak bola yang terstruktur dari tingkat terbawah.
Andai ketidakberhasilan menduduki tahta tertinggi di SEA Games 2021 tidak membuat PSSI merasa ada yang tak beres, alarm pengingat bahaya harus segera dibunyikan.
Tidak layak menyalahkan pelatih, pemain atau siapa pun yang ada di timnas atas prestasi miring di tengah ketidakstabilan semua hal yang menjadi pondasi sepak bola.
PSSI pasti tidak akan bisa memperbaiki seluruh kekurangan dalam waktu singkat. Namun, setidak-tidaknya, menunjukkan usaha ke arah sana sambil menambal “lubang-lubang” yang tampak. Hindari kontroversi-kontroversi tak perlu. Fokus saja ke sepak bola, bukan langkah-langkah menuju kuasa.
Ke depan, terdekat, Indonesia akan menjalani Kualifikasi Piala Asia 2023 di Kuwait pada 8-14 Juni 2022. Saatnya PSSI dan timnas Indonesia menyusun rencana agar target lolos ke Piala Asia 2023 tercapai.
Evaluasi dari SEA Games 2021 mesti diterapkan benar-benar. Pertandingan-pertandingan di Grup A melawan tuan rumah Kuwait, Yordania dan Nepal harus dimaksimalkan.
Grup tersebut memang bisa dikatakan berat bagi skuad "Garuda" lantaran Kuwait merupakan juara Piala Asia pada tahun 1980, peringkat kedua pada tahun 1976, ketiga pada tahun 1984 dan semifinalis pada tahun 1996.
Sementara Yordania merupakan perempatfinalis Piala Asia tahun 2004. Adapun Nepal belum pernah mencicipi putaran final Piala Asia.
Timnas Indonesia baru empat kali tampil di Piala Asia yaitu tahun 1996, 2000, 2004 dan 2007 dengan hasil tak pernah lolos dari fase grup.
Perjalanan penuh duri harus ditapaki di Kuwait. Sulit, tetapi Indonesia selalu berpotensi untuk menggebrak dan membalikkan prediksi. Apalagi jika tim “Garuda” dapat diperkuat para pemain yang tengah dinaturalisasi yaitu Jordi Amat, Sandy Walsh dan Shayne Pattynama.
Selamat berjuang, Indonesia!