Kupang (ANTARA) - Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menekankan pentingnya pembenahan empat aspek untuk mencegah praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah daerah.
"Aspek pertama, peningkatan kualitas sumber daya manusia pejabat pengadaan barang dan jasa secara memadai," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT Darius Beda Daton dalam keterangan yang diterima di Kupang, Selasa, (24/1/2023).
Beda Daton menyampaikan hal itu dalam diskusi terbatas bersama LSM Bengkel Appek dan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait hasil penelitian studi kasus konflik kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dia menjelaskan upaya pencegahan praktik korupsi sudah semestinya dijalankan secara terus-menerus guna meminimalkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Aspek kedua, lanjutnya, ialah meningkatkan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) guna melakukan pendampingan maupun pengawasan pelaksanaan. Hal itu bisa dilakukan dengan permohonan PPK kepada pihak inspektorat untuk melakukan probity audit sebagai mitigasi resiko mulai dari tahap perencanaan.
Aspek ketiga ialah pendampingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). Keempat yaitu penerimaan komisi atau fee dari pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) mesti tercatat secara sah.
Penerimaan komisi itu telah diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dia menjelaskan aturan tersebut menyatakan bahwa lain-lain PAD yang sah adalah penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi, dan atau pengadaan barang dan jasa, termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya.
Jika selama ini pendapatan dari sumber komisi semua proyek yang telah dilaksanakan belum atau tidak tercatat atau komisi tersebut diberikan namun tidak disetor sebagai pendapatan daerah, maka komitmen komisi proyek tersebut perlu diatur.
"Fee semua proyek semestinya disetor ke kas daerah guna dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah," ujar Beda Daton.
Baca juga: Ombudsman minta 21 Pemkab di NTT benahi tujuh aspek pelayanan publik
Baca juga: Ombudsman harap akreditasi RSUD Kupang diikuti peningkatan layanan
"Aspek pertama, peningkatan kualitas sumber daya manusia pejabat pengadaan barang dan jasa secara memadai," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT Darius Beda Daton dalam keterangan yang diterima di Kupang, Selasa, (24/1/2023).
Beda Daton menyampaikan hal itu dalam diskusi terbatas bersama LSM Bengkel Appek dan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait hasil penelitian studi kasus konflik kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dia menjelaskan upaya pencegahan praktik korupsi sudah semestinya dijalankan secara terus-menerus guna meminimalkan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Aspek kedua, lanjutnya, ialah meningkatkan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) guna melakukan pendampingan maupun pengawasan pelaksanaan. Hal itu bisa dilakukan dengan permohonan PPK kepada pihak inspektorat untuk melakukan probity audit sebagai mitigasi resiko mulai dari tahap perencanaan.
Aspek ketiga ialah pendampingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). Keempat yaitu penerimaan komisi atau fee dari pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) mesti tercatat secara sah.
Penerimaan komisi itu telah diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dia menjelaskan aturan tersebut menyatakan bahwa lain-lain PAD yang sah adalah penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi, dan atau pengadaan barang dan jasa, termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya.
Jika selama ini pendapatan dari sumber komisi semua proyek yang telah dilaksanakan belum atau tidak tercatat atau komisi tersebut diberikan namun tidak disetor sebagai pendapatan daerah, maka komitmen komisi proyek tersebut perlu diatur.
"Fee semua proyek semestinya disetor ke kas daerah guna dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah," ujar Beda Daton.
Baca juga: Ombudsman minta 21 Pemkab di NTT benahi tujuh aspek pelayanan publik
Baca juga: Ombudsman harap akreditasi RSUD Kupang diikuti peningkatan layanan