Semarang (ANTARA) - Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 memberi pelajaran amat berharga bagi anak bangsa. Di jagat digital terlihat jelas dan begitu terasa betapa dua hajatan politik elektoral itu menyisakan luka dan stigma, bahkan hingga hari ini.

Dua kubu pendukung masing-masing calon seolah memiliki fanatisme buta dan tanpa batas. Masing-masing kubu menjadi pembela fanatik. Kesalahan-kesalahan dan keterpelesetan pada masa lalu diungkap kembali sebagai amunisi untuk menyerang kubu lain.

Pertempuran opini oleh aktor-aktor politik masa lalu masih terjadi hingga hari ini meski konstelasi politik sudah berubah drastis. Aktor-aktor politik yang dulu membabi buta mendukung, ada yang undur diri atau malah menyerang sosok yang dibela mati-matian pada masa kontestasi politik di masa lalu.

Aktor-aktor politik tersebut pada era digdayanya media sosial ini dengan piawai menggunakan kemampuan mengolah informasi berupa teks, foto, audio, video, dan grafis untuk memengaruhi khalayak.

Ruang dan waktu pertempuran utama memang sudah bergeser, tidak lagi melalui media arus utama tetapi di media sosial.

Kedua kubu sama-sama memiliki pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer) yang siap dan cekatan membingkai informasi untuk kepentingan kelompoknya.

Seperti halnya dengan bola salju yang terus membesar ketika menggelinding dari puncak ke lembah, begitu pula informasi-informasi hasil pembingkaian tersebut. Ia melaju cepat, menyebar, dan membesarkan dukungan bagi calon yang dibela.

Narasi tekstual dan audio visual dalam konten yang diunggah mampu merapatkan barisan para pendukung, namun di sisi sama bikin panas bagi kubu yang berseberangan.

Dalam situasi tersebut, pendukung hanya mau menerima (kebenaran) informasi dari calon yang didukungnya. Begitu pula sebaliknya. "Kebenaran" sudah termanipulasi dengan digiring pada kepentingan kelompok atau sosok yang dibela.

Keterbelahan sudah sedemikian terasakan di jagat maya sehingga bara kebencian banyak berserakan di berbagai tempat dan kalangan. Sudah banyak kebencian yang ditebarkan dari jari dan mulut itu mengantarkan mereka ke balik jeruji bui.

Kendati demikian, itu tidak serta-merta melenyapkan ujaran kebencian di jagat media sosial. Kerak-kerak polarisasi kontestasi politik masa lalu masih lekat di antara para aktor politik dan para pendukung.

Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan karena bila dibiarkan bakal merapuhkan kohesi sosial. Apalagi, sangat mungkin terjadi kontestan yang berlaga pada Pemilu Presiden 2024 merupakan sosok-sosok yang berlaga pada Pilkada DKI Jakarta, Anies Baswedan, dan Pilpres 2019, Prabowo Subianto.

Konstelasi politik setelah kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin memang sudah berubah. Partai-partai yang sebelumnya berada di belakang cawapres Prabowo, kemudian putar haluan berada di kabinet, termasuk Gerindra.

Namun, PKS dan Demokrat yang sejak awal berada di barisan oposisi, belakangan sepakat mendukung Anies Baswedan, yang kali pertama diusung oleh NasDem, partai yang sejak awal berada dalam lingkaran kekuasaan.

Prabowo Subianto hampir dipastikan kembali maju sebagai bakal calon presiden meski Gerindra masih harus mencari sekutu partai lain agar bisa mengusungnya sesuai dengan ambang batas pencalon presiden (presidential threshold).

PDIP sebagai satu-satunya partai yang bisa mengusung capres sendiri memang belum menetapkan calonnya. Namun, melihat popularitas Ganjar Pranowo disertai dengan tingginya elektabilitas dari hasil berbagai survei, tampaknya bukan pilihan mudah bagi PDIP untuk menafikan Gubernur Jawa Tengah itu sebagai bacapres partai pemenang Pemilu 2014 dan 2019 itu.


Membangkitkan polarisasi

Siapa pun pasangan capres-cawapres yang akan berlaga pada Pemilu Presiden 2024, kompetisi politik itu tetap akan berlangsung sengit. Tanda-tanda itu sudah terasakan, terutama melalui media sosial. Bahkan ujaran bernuansa SARA hingga pembingkaian (framing) berita, sudah terasa. Semua ini berpotensi membangkitkan polarisasi seperti halnya terekam pada lini masa media sosial menjelang hingga pasca-Pilpres 2019.

Sisi kelam sebagai dampak pertempuran opini secara brutal dan membabi buta pada kontestasi Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019 tidak boleh terulang. Ini memang bukan pekerjaan mudah karena pengunggahan konten di media sosial memang lebih bebas, nyaris tanpa filter seperti pekerja di media arus utama.

Pada titik inilah media arus utama (mainstream) harus menegakkan idealisme sebagai pembawa pesan profetik. Sangat tidak pantas bila media massa malah ikut-ikutan memanaskan isu atau polemik yang disulut oleh para pendengung.

Media konvensional, yang alur produksi beritanya dikerjakan secara berjenjang, harus mampu menyajikan informasi yang valid dan bisa berperan untuk ikut menjernihkan kolam digital yang informasinya sudah begitu keruh.

Maraknya disinformasi, misinformasi, dan hoaks menyebabkan banyak warganet tersesat. Sebagian memang disebabkan masih rendahnya literasi, sebagian lagi tergiring oleh polarisasi politik yang menyebabkan seseorang hanya mau menerima “kebenaran” informasi sesuai dengan preferensi politiknya. Kekeruhan informasi di dunia digital tersebut tentu tidak boleh dibiarkan sehingga publik kesulitan mendapatkan informasi yang sehat dan valid.

Baca juga: Artikel - Menumbuhkan iklim politik sehat di dunia maya jelang Pemilu 2024
 

Ada tanggung jawab moral media arus utama untuk menjaga ruang publik agar tetap sehat, bebas dari informasi hoaks, disinformasi, dan misinformasi. Demokrasi membutuhkan pasokan informasi yang akurat agar keputusan-keputusan oleh penentu kebijakan juga berdasarkan informasi yang sahih.

Dalam konteks memilih pemimpin dan wakil rakyat (DPRD kabupaten/kota, provinsi, DPR RI, hingga DPD), publik juga harus mendapatkan informasi yang sahih atas sosok-sosok tersebut.

Memang tidak selalu mudah bagi media massa menjalankan idealisme tersebut. Namun, tidak ada pilihan lain untuk selalu menyajikan kerja dan karya jurnalisme yang mencerahkan publik sekaligus mampu mempererat kohesi sosial.

Baca juga: Artikel - Mengikis polarisasi jelang Pemilu 2024
 

Perbedaan pilihan dan aspirasi politik harus ditempatkan dalam ruang demokrasi yang sehat untuk menghasilkan pilihan-pilihan ideal dari perdebatan ide yang dilontarkan para politikus.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Benny Susetyo menilai pers saat ini harus memiliki narasi kuat untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah derasnya informasi yang beredar terutama di media sosial.

Baca juga: Artikel - Mengendapkan kesadaran kolektif dalam kehidupan berbangsa

Terlalu berisiko membiarkan jagat digital ini didominasi oleh produsen informasi yang tidak kredibel.

 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Memperkuat narasi persatuan di jagat digital jelang Pemilu 2024

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024