Kupang (ANTARA News NTT) - Para pencari suaka dari Timur Tengah yang ada di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini berjumlah sekitar 285 orang, setelah gagal menyeberang ke Australia akibat dihadang para petugas keamanan dari negeri Kanguru itu.
"Ada sekitar 285 pencari suaka asal Timur Tengah yang saat ini ditampung di tiga rumah penampungan (shelter) dan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kupang," kata Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkuham Provinsi NTT Erwyn Wantania kepada Antara di Kupang, Selasa (15/1).
Ia mengemukakan hal tersebut ketika ditanya soal keberadaan para pencari suaka dari berbagai negara yang saat ini ditampung di sejumlah rumah penampungan di Ibu Kota Provinsi NTT itu.
Para pencari suaka asal Timur Tengah dan beberapa negara di Asia ini, umumnya memilih Australia sebagai negara tujuan suaka, namun mereka dihadang masuk oleh patroli AL Australia serta otoritas keamanan lainnya di negara itu.
Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur akhirnya dipilih sebagai tempat penampungan para imigran tersebut, karena letaknya lebih dekat dengan Australia.
Saat ini, kata Erwyn, di Rudenim Kupang hanya tinggal tujuh pencari suaka yang berasal dari Ethopia empat orang dan Bangladesh tiga orang, sedang para pencari suaka lainnya ditampung di Hotel Ina Bo'i, Hotel Lavender serta Kupang Inn.
Para pencari suaka yang ada di Hotel Ina Bo'i Kupang mencapai 84 orang, dengan rincian 71 pencari suaka dari Afghanistan, enam pencari suaka dari Ethopia, lima orang dari Sri Langka serta lima orang lainnya dari Pakistan.
Baca juga: Para imigran berunjuk rasa di kantor IOM Kupang
Sementara para pencari suaka yang ditampung di Hotel Lavender Kupang berjumlah 102 orang, dengan rincian 101 orang dari Afghanistan dan satu orang dari Pakistan. Sedang, di Kupang Inn, sebanyak 96 orang yang semuanya berasal dari Afghanistan.
Erwyn menambahkan bahwa para pengungsi serta pencari suaka di Kota Kupang, hidupnya ditanggung oleh Organisasi Migrasi Internasional (IOM), sebuah badan internasional yang bernaung di bawah PBB.
"Mereka mendapat tempat penginapan yang cukup istimewa, karena para pencari suaka bukanlah kelompok kriminal," katanya menegaskan.
Ia menjelaskan Rudenim berfungsi sebagai tempat penampungan sementara bagi setiap orang asing yang hendak keluar dari wilayah Republik Indonesia, bukan sebagai tempat penampungan permanen bagi para imigran.
"Jika ada orang asing yang ditangkap karena kehilangan paspor, misalnya, sebelum dideportasi, orang asing itu harus diinapkan di Rudenim," katanya menjelaskan.
Erwyn menilai meskipun para pencari suaka yang berkeliaran di Kota Kupang, namun sampai sejauh ini belum ditemukan adanya kejahatan yang dilakukan oleh para pencari suaka itu.
Meskipun demikian, keberadaan mereka ikut memicu kecemburuan sosial dengan penduduk lokal Kota Kupang, karena eksistensi mereka ditanggung sepenuhnya oleh PBB lewat IOM dan Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR).
Namun, kondisi ini tercipta diduga merupakan sebuah persekongkolan jahat antara Australia dan IOM yang ingin menjadikan NTT sebagai tempat penampungan para imigran yang hendak mencari suaka di Australia.
Sebelumnya, masyarakat NTT juga menolak keberadaan para pengungsi asal Timur Tengah itu, dan meminta Jakarta untuk merelokasi mereka ke Broome atau Pulau Melville di Australia yang kosong itu.
Baca juga: NTT usulkan pemindahan imigran ke Pulau Ndana
Para imigran asal Timur Tengah sedang mengikuti sebuah latihan di Kantor Rudenim Kupang (ANTARA Foto/Laurensius Molan)
"Ada sekitar 285 pencari suaka asal Timur Tengah yang saat ini ditampung di tiga rumah penampungan (shelter) dan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kupang," kata Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkuham Provinsi NTT Erwyn Wantania kepada Antara di Kupang, Selasa (15/1).
Ia mengemukakan hal tersebut ketika ditanya soal keberadaan para pencari suaka dari berbagai negara yang saat ini ditampung di sejumlah rumah penampungan di Ibu Kota Provinsi NTT itu.
Para pencari suaka asal Timur Tengah dan beberapa negara di Asia ini, umumnya memilih Australia sebagai negara tujuan suaka, namun mereka dihadang masuk oleh patroli AL Australia serta otoritas keamanan lainnya di negara itu.
Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur akhirnya dipilih sebagai tempat penampungan para imigran tersebut, karena letaknya lebih dekat dengan Australia.
Saat ini, kata Erwyn, di Rudenim Kupang hanya tinggal tujuh pencari suaka yang berasal dari Ethopia empat orang dan Bangladesh tiga orang, sedang para pencari suaka lainnya ditampung di Hotel Ina Bo'i, Hotel Lavender serta Kupang Inn.
Para pencari suaka yang ada di Hotel Ina Bo'i Kupang mencapai 84 orang, dengan rincian 71 pencari suaka dari Afghanistan, enam pencari suaka dari Ethopia, lima orang dari Sri Langka serta lima orang lainnya dari Pakistan.
Baca juga: Para imigran berunjuk rasa di kantor IOM Kupang
Sementara para pencari suaka yang ditampung di Hotel Lavender Kupang berjumlah 102 orang, dengan rincian 101 orang dari Afghanistan dan satu orang dari Pakistan. Sedang, di Kupang Inn, sebanyak 96 orang yang semuanya berasal dari Afghanistan.
Erwyn menambahkan bahwa para pengungsi serta pencari suaka di Kota Kupang, hidupnya ditanggung oleh Organisasi Migrasi Internasional (IOM), sebuah badan internasional yang bernaung di bawah PBB.
"Mereka mendapat tempat penginapan yang cukup istimewa, karena para pencari suaka bukanlah kelompok kriminal," katanya menegaskan.
Ia menjelaskan Rudenim berfungsi sebagai tempat penampungan sementara bagi setiap orang asing yang hendak keluar dari wilayah Republik Indonesia, bukan sebagai tempat penampungan permanen bagi para imigran.
"Jika ada orang asing yang ditangkap karena kehilangan paspor, misalnya, sebelum dideportasi, orang asing itu harus diinapkan di Rudenim," katanya menjelaskan.
Erwyn menilai meskipun para pencari suaka yang berkeliaran di Kota Kupang, namun sampai sejauh ini belum ditemukan adanya kejahatan yang dilakukan oleh para pencari suaka itu.
Meskipun demikian, keberadaan mereka ikut memicu kecemburuan sosial dengan penduduk lokal Kota Kupang, karena eksistensi mereka ditanggung sepenuhnya oleh PBB lewat IOM dan Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR).
Namun, kondisi ini tercipta diduga merupakan sebuah persekongkolan jahat antara Australia dan IOM yang ingin menjadikan NTT sebagai tempat penampungan para imigran yang hendak mencari suaka di Australia.
Sebelumnya, masyarakat NTT juga menolak keberadaan para pengungsi asal Timur Tengah itu, dan meminta Jakarta untuk merelokasi mereka ke Broome atau Pulau Melville di Australia yang kosong itu.
Baca juga: NTT usulkan pemindahan imigran ke Pulau Ndana