Jakarta (ANTARA) - Setelah menunggu selama berbulan-bulan, akhirnya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy pada 26 April dapat berkomunikasi secara langsung dengan Presiden China Xi Jinping.
Komunikasi itu dinilai penting karena selama ini berbagai pihak, terutama dari negara-negara Barat, menganggap bahwa China lebih condong berpihak kepada Rusia.
Zelenskyy sendiri, sebagaimana dikutip dari Reuters, menyatakan bahwa pembicaraan yang berjalan sekitar satu jam itu merupakan pembahasan yang "panjang dan bermakna".
Makna dari kata-kata tersebut menekankan pentingnya Ukraina untuk membina hubungan yang lebih kuat dengan China yang selama ini dikenal sebagai kawan akrab Rusia.
Selain itu, Zelenskyy juga menyebut bahwa melalui komunikasi ini, ke depannya juga akan ada kesempatan untuk menggunakan kekuatan politik China guna menegakkan prinsip dan aturan yang harus melandasi rencana perdamaian.
Apalagi, Zelenskyy mengingatkan bahwa Ukraina dan China, seperti banyak negara di dunia, sangat berpihak kepada kedaulatan suatu bangsa serta integritas kewilayahan dari suatu negara.
Terkait dengan rencana perdamaian, Zelenskyy melalui aplikasi Telegram menyatakan bahwa pihaknya membahas kerja sama yang memungkinkan untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan untuk Ukraina, tentu saja dengan menekankan bahwa tidak akan ada perdamaian melalui kompromi kewilayahan Ukraina.
Presiden Ukraina itu menegaskan bahwa integritas kewilayahan Ukraina harus dikembalikan seperti pada garis batas yang telah ditentukan sejak tahun 1991 lalu.
Dengan kata lain, Rusia harus meninggalkan berbagai wilayah Ukraina yang didudukinya saat ini, termasuk juga dengan Semenanjung Krimea yang dicaplok Rusia sejak 2014.
Sementara itu, media resmi China menyatakan bahwa Xi Jinping akan mengirim perwakilan khusus ke Ukraina untuk membahas dengan berbagai pihak terkait guna menjalin perdamaian.
Xi yang dalam pembicaraan itu tidak mengecam invasi yang dilakukan Rusia, sejak lama telah mempromosikan rencana perdamaian 12 poin.
Rencana perdamaian tersebut ditanggapi skeptis oleh negara-negara Barat, tetapi secara hati-hati disambut oleh Kiev.
Negara-negara Barat menganggap bahwa proposal perdamaian yang diajukan China masih tidak kongkret dan dapat digunakan oleh Putin untuk mempromosikan rencana perdamaian di mana Rusia dapat menguasai wilayah yang diduduki sekaligus memiliki kesempatan untuk mengonsolidasikan pasukannya.
Sementara itu, Pemerintah Ukraina menyambut secara hati-hati rencana perdamaian itu karena menandakan bahwa China memiliki kepentingan yang nyata untuk menghentikan peperangan yang telah berjalan lebih dari satu tahun lalu.
Fokus promosikan perdamaian
China, menurut Xi masih berdasarkan informasi media resmi China, betul-betul akan berfokus untuk mempromosikan rencana perdamaian, dan berupaya untuk mengadakan gencatan senjata sesegera mungkin.
Xi mengingatkan bahwa sebagai anggota tetap dari Dewan Keamanan PBB, pihaknya tidak akan tinggal diam, atau "menuangkan minyak ke dalam api", atau mencari keuntungan dari perang yang terjadi.
Xi sendiri bersama-sama dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, telah menandatangani kesepakatan kemitraan "tanpa batas", selama beberapa pekan sebelum Rusia melakukan invasi ke Ukraina.
Sejak itu, China telah mengecam sanksi yang diterapkan kepada Moskow, tetapi juga menahan diri untuk tidak mendukung secara terbuka invasi tersebut.
Selain itu, China juga telah menjadi negara mitra perdagangan terbesar bagi Rusia, antara lain dengan membeli minyak bumi yang sudah tidak bisa lagi dijual Rusia ke Eropa.
Sedangkan terkait dengan komunikasi antara Xi dan Zelenskyy, juru bicara kementerian luar negeri Rusia Maria Zakharova menyatakan pihaknya mencatat kesiapan China untuk berupaya menggelar proses negosiasi.
Sementara itu, juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby, sebagaimana dikutip dari Reuters, menyambut komunikasi telepon antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Namun, John Kirby menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa komunikasi tersebut akan mewujudkan perjanjian perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Kirby menegaskan bahwa Amerika Serikat sudah sejak lama menyatakan keinginannya agar perang tersebut dapat berhenti.
Ia mengemukakan bahwa perang dapat tidak berlanjut bila Putin memutuskan agar seluruh pasukannya segera meninggalkan wilayah Ukraina.
Selain itu, Kirby juga mengemukakan bahwa bila ada negosiasi untuk rencana perdamaian, maka negosiasi itu akan berlangsung bila Presiden Zelenskyy menyatakan kesiapannya untuk itu.
Amerika Serikat, ujar dia, akan menyambut berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian yang adil sepanjang perdamaian itu dapat berkelanjutan serta kredibel.
Senada dengan AS, Sekretaris Jenderal Pakta Perdamaian Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg menyatakan bahwa pihaknya menyambut komunikasi antara kepala negara China dan Ukraina.
Namun, Stoltenberg mengingatkan bahwa fakta yang ada saat ini adalah China masih belum mengecam invasi Rusia ke Ukraina.
Dunia memang menyoroti potensi rencana perdamaian yang diharapkan ada dalam pembicaraan antara Xi dan Zelenskyy.
Mengulang Brehnev-Mao?
Dilihat dari catatan sejarah, terakhir kali dunia menyoroti komunikasi antara dua orang nomor satu di China dan Ukraina, barangkali adalah komunikasi yang pernah dilakukan antara Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, Leonid Brezhnev (yang beretnis Ukraina), dengan pemimpin China Mao Zedong, pada 1960-an.
Ketika itu, Brezhnev malah mengkritik kebijakan Mao dengan Revolusi Kebudayaan yang merusak China dari dalam, sedangkan Mao menyatakan bahwa Brezhnev sama saja dengan pendahulunya, Nikita Krushcev, yang tidak disukai oleh Mao.
Alih-alih mempererat kerja sama, upaya komunikasi jajaran pemerintahan Brezhnev dan Mao malah mengakibatkan terjadinya fenomena perpecahan China-Soviet.
Tentu saja, komunikasi Brezhnev-Mao berada di era yang berbeda dan tidak bisa disamakan dengan komunikasi Xi-Zelenskyy yang terjadi saat ini.
Namun, komunikasi antara kedua kepala negara tersebut pada saat ini juga dinilai masih belum bisa menghentikan agresi di medan pertempuran.
Seperti diketahui, Rusia sekarang ini masih ditemukan menembakkan rudal ke berbagai kota di wilayah Ukraina, seperti yang terjadi pada Jumat (28/4) dini hari yang mengakibatkan sedikitnya 17 warga tewas karena serangan udara tersebut.
Baca juga: Telaah - Memandang kerusuhan Sumgayit 1988
Di lain pihak, pemerintah Ukraina menyatakan sedang menyelesaikan persiapan untuk melakukan serangan balik melawan pasukan Rusia yang telah lama bercokol di berbagai wilayah Ukraina.
Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov pada Jumat mengatakan antara lain bila kondisi cuaca memungkinkan serta ada keputusan dari komandan tempur, maka serangan balik akan dilakukan.
Baca juga: Artikel - Polemik militer swasta dalam serangan Rusia ke Ukraina
Namun, tentu saja komunikasi antara Presiden China dan Presiden Ukraina tidak bisa disepelekan begitu saja.
Hal ini karena komunikasi antara keduanya berarti masih ada setitik optimisme untuk kemauan melaksanakan perdamaian, meski hanya secercah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komunikasi Xi-Zelenskyy berikan secercah optimisme untuk perdamaian
Komunikasi itu dinilai penting karena selama ini berbagai pihak, terutama dari negara-negara Barat, menganggap bahwa China lebih condong berpihak kepada Rusia.
Zelenskyy sendiri, sebagaimana dikutip dari Reuters, menyatakan bahwa pembicaraan yang berjalan sekitar satu jam itu merupakan pembahasan yang "panjang dan bermakna".
Makna dari kata-kata tersebut menekankan pentingnya Ukraina untuk membina hubungan yang lebih kuat dengan China yang selama ini dikenal sebagai kawan akrab Rusia.
Selain itu, Zelenskyy juga menyebut bahwa melalui komunikasi ini, ke depannya juga akan ada kesempatan untuk menggunakan kekuatan politik China guna menegakkan prinsip dan aturan yang harus melandasi rencana perdamaian.
Apalagi, Zelenskyy mengingatkan bahwa Ukraina dan China, seperti banyak negara di dunia, sangat berpihak kepada kedaulatan suatu bangsa serta integritas kewilayahan dari suatu negara.
Terkait dengan rencana perdamaian, Zelenskyy melalui aplikasi Telegram menyatakan bahwa pihaknya membahas kerja sama yang memungkinkan untuk mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan untuk Ukraina, tentu saja dengan menekankan bahwa tidak akan ada perdamaian melalui kompromi kewilayahan Ukraina.
Presiden Ukraina itu menegaskan bahwa integritas kewilayahan Ukraina harus dikembalikan seperti pada garis batas yang telah ditentukan sejak tahun 1991 lalu.
Dengan kata lain, Rusia harus meninggalkan berbagai wilayah Ukraina yang didudukinya saat ini, termasuk juga dengan Semenanjung Krimea yang dicaplok Rusia sejak 2014.
Sementara itu, media resmi China menyatakan bahwa Xi Jinping akan mengirim perwakilan khusus ke Ukraina untuk membahas dengan berbagai pihak terkait guna menjalin perdamaian.
Xi yang dalam pembicaraan itu tidak mengecam invasi yang dilakukan Rusia, sejak lama telah mempromosikan rencana perdamaian 12 poin.
Rencana perdamaian tersebut ditanggapi skeptis oleh negara-negara Barat, tetapi secara hati-hati disambut oleh Kiev.
Negara-negara Barat menganggap bahwa proposal perdamaian yang diajukan China masih tidak kongkret dan dapat digunakan oleh Putin untuk mempromosikan rencana perdamaian di mana Rusia dapat menguasai wilayah yang diduduki sekaligus memiliki kesempatan untuk mengonsolidasikan pasukannya.
Sementara itu, Pemerintah Ukraina menyambut secara hati-hati rencana perdamaian itu karena menandakan bahwa China memiliki kepentingan yang nyata untuk menghentikan peperangan yang telah berjalan lebih dari satu tahun lalu.
Fokus promosikan perdamaian
China, menurut Xi masih berdasarkan informasi media resmi China, betul-betul akan berfokus untuk mempromosikan rencana perdamaian, dan berupaya untuk mengadakan gencatan senjata sesegera mungkin.
Xi mengingatkan bahwa sebagai anggota tetap dari Dewan Keamanan PBB, pihaknya tidak akan tinggal diam, atau "menuangkan minyak ke dalam api", atau mencari keuntungan dari perang yang terjadi.
Xi sendiri bersama-sama dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, telah menandatangani kesepakatan kemitraan "tanpa batas", selama beberapa pekan sebelum Rusia melakukan invasi ke Ukraina.
Sejak itu, China telah mengecam sanksi yang diterapkan kepada Moskow, tetapi juga menahan diri untuk tidak mendukung secara terbuka invasi tersebut.
Selain itu, China juga telah menjadi negara mitra perdagangan terbesar bagi Rusia, antara lain dengan membeli minyak bumi yang sudah tidak bisa lagi dijual Rusia ke Eropa.
Sedangkan terkait dengan komunikasi antara Xi dan Zelenskyy, juru bicara kementerian luar negeri Rusia Maria Zakharova menyatakan pihaknya mencatat kesiapan China untuk berupaya menggelar proses negosiasi.
Sementara itu, juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby, sebagaimana dikutip dari Reuters, menyambut komunikasi telepon antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Namun, John Kirby menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa komunikasi tersebut akan mewujudkan perjanjian perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
Kirby menegaskan bahwa Amerika Serikat sudah sejak lama menyatakan keinginannya agar perang tersebut dapat berhenti.
Ia mengemukakan bahwa perang dapat tidak berlanjut bila Putin memutuskan agar seluruh pasukannya segera meninggalkan wilayah Ukraina.
Selain itu, Kirby juga mengemukakan bahwa bila ada negosiasi untuk rencana perdamaian, maka negosiasi itu akan berlangsung bila Presiden Zelenskyy menyatakan kesiapannya untuk itu.
Amerika Serikat, ujar dia, akan menyambut berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian yang adil sepanjang perdamaian itu dapat berkelanjutan serta kredibel.
Senada dengan AS, Sekretaris Jenderal Pakta Perdamaian Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg menyatakan bahwa pihaknya menyambut komunikasi antara kepala negara China dan Ukraina.
Namun, Stoltenberg mengingatkan bahwa fakta yang ada saat ini adalah China masih belum mengecam invasi Rusia ke Ukraina.
Dunia memang menyoroti potensi rencana perdamaian yang diharapkan ada dalam pembicaraan antara Xi dan Zelenskyy.
Mengulang Brehnev-Mao?
Dilihat dari catatan sejarah, terakhir kali dunia menyoroti komunikasi antara dua orang nomor satu di China dan Ukraina, barangkali adalah komunikasi yang pernah dilakukan antara Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, Leonid Brezhnev (yang beretnis Ukraina), dengan pemimpin China Mao Zedong, pada 1960-an.
Ketika itu, Brezhnev malah mengkritik kebijakan Mao dengan Revolusi Kebudayaan yang merusak China dari dalam, sedangkan Mao menyatakan bahwa Brezhnev sama saja dengan pendahulunya, Nikita Krushcev, yang tidak disukai oleh Mao.
Alih-alih mempererat kerja sama, upaya komunikasi jajaran pemerintahan Brezhnev dan Mao malah mengakibatkan terjadinya fenomena perpecahan China-Soviet.
Tentu saja, komunikasi Brezhnev-Mao berada di era yang berbeda dan tidak bisa disamakan dengan komunikasi Xi-Zelenskyy yang terjadi saat ini.
Namun, komunikasi antara kedua kepala negara tersebut pada saat ini juga dinilai masih belum bisa menghentikan agresi di medan pertempuran.
Seperti diketahui, Rusia sekarang ini masih ditemukan menembakkan rudal ke berbagai kota di wilayah Ukraina, seperti yang terjadi pada Jumat (28/4) dini hari yang mengakibatkan sedikitnya 17 warga tewas karena serangan udara tersebut.
Baca juga: Telaah - Memandang kerusuhan Sumgayit 1988
Di lain pihak, pemerintah Ukraina menyatakan sedang menyelesaikan persiapan untuk melakukan serangan balik melawan pasukan Rusia yang telah lama bercokol di berbagai wilayah Ukraina.
Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov pada Jumat mengatakan antara lain bila kondisi cuaca memungkinkan serta ada keputusan dari komandan tempur, maka serangan balik akan dilakukan.
Baca juga: Artikel - Polemik militer swasta dalam serangan Rusia ke Ukraina
Namun, tentu saja komunikasi antara Presiden China dan Presiden Ukraina tidak bisa disepelekan begitu saja.
Hal ini karena komunikasi antara keduanya berarti masih ada setitik optimisme untuk kemauan melaksanakan perdamaian, meski hanya secercah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komunikasi Xi-Zelenskyy berikan secercah optimisme untuk perdamaian