Jakarta (ANTARA) - Motif Mata Manuk (mata ayam) dalam kain tenun asal Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), bukan sekadar untaian benang-benang cantik dengan makna filosofis. Lebih daripada itu kain ini mampu memberdayakan para penenun serta memberikan nilai ekonomi.
Nama "Mata Manuk" belakangan mencuat lantaran disebut menjadi cenderamata yang akan diberikan kepada para Kepala Negara ASEAN pada perhelatan KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, NTT, pada 9-11 Mei 2023.
Berbentuk seperti bangun belah ketupat, jajaran mata ayam ini menampilkan motif yang simpel sekaligus berciri khas. Nilai lebih lainnya, tenun ini menggunakan pewarna alam, sehingga tidak memberikan efek panas atau gerah.
Tenun motif Mata Manuk dibuat oleh penenun dari kecamatan Lembor, Manggarai Barat, NTT. Motif ini, terpilih di antara 700 jenis motif yang ada.
Filosofi ritual adat
Karolina Andus yang mewakili kelompok tenun Setia Janji Buas dari Desa Ngancar, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, mengatakan bahwa Mata Manuk merupakan sebuah ciri khas dari kabupaten itu yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang.
Ayam sendiri selalu dilibatkan dalam rangkaian acara adat masyarakat Manggarai Barat. Sebagai contoh, pada ritual adat menyambut tamu, akan dipotong ayam putih yang melambangkan hati nurani yang bahagia dalam menerima kedatangan tamu.
Sementara ayam hitam, melambangkan membuang sesuatu yang tidak bagus atau untuk menolak marabahaya. Para leluhur Manggarai Barat kemudian menerapkan simbol ayam yang diwakilkan melalui mata pada seutas kain.
"Ayam itu berawal dari rangkaian acara adat, di mana orang Manggarai melakukan acara adat selalu menggunakan ayam. Mata ayam itu, motif-motif Mata Manuk. Nenek moyang dulu diterapkan kepada kain, namanya motif Mata Manuk karena Mata Manuk itu berkaitan dengan ritual adat," ujar Karolina kepada ANTARA.
Motif-motif dari simbol adat tersebut, kini tak sekadar menjadi kain atau sarung yang digunakan oleh masyarakat Manggarai Barat, tapi keindahan tenunnya dapat dinikmati dan dikagumi secara luas, termasuk oleh para delegasi negara ASEAN.
Penggunaan pewarna alam
Kain tenun memiliki variasi warna yang beragam, mulai dari gelap seperti hitam, biru tua, cokelat, merah, hijau daun dan abu-abu, warna-warna lembut seperti biru muda, merah muda, krem, hingga putih, serta warna cerah yang diwakili oleh oranye, fuschia atau perpaduan pink dan ungu, hingga hijau stabilo.
Warna-warna gelap dan lembut biasanya menggunakan pewarna alam atau dari bahan-bahan alami, seperti daun, bunga, batang pohon, hingga kulit kayu, sedangkan warna cerah dan menyala, rata-rata menggunakan bahan kimia dan benang berbahan polyster.
Pewarnaan menggunakan bahan kimia mungkin terlihat lebih menarik, namun hasil akhir ketika digunakan akan sangat berbeda. Menurut Karolina, kain dengan bahan benang sintesis akan memberikan rasa panas atau gerah, sedangkan pewarna alam meninggalkan rasa dingin atau adem.
Pembuatan pewarna alam dilakukan dengan berbagai proses. Misalnya, untuk membuat warna kuning, penenun perlu merebus batang nangka, lalu airnya digunakan untuk merendam benang putih. Namun, bila ingin menciptakan warna abu-abu, penenun dapat merebus kulit mahoni.
Kalau sekarang yang banyak disenangi itu pewarna alam karena teksturnya lembut, dingin dan tidak zat kimia.
Bernilai ekonomi
Sama halnya dengan jenis motif dan pewarnaan, harga sehelai kain tenun juga memiliki nilai yang berbeda, mulai dari Rp100 ribu untuk selendang kecil hingga jutaan rupiah yang berupa lembaran kain besar.
Harga yang bervariasi ini ditentukan berdasarkan waktu pengerjaan, ukuran dan banyaknya motif yang digunakan pada tenun. Sebagai gambaran, untuk mengerjakan kain berukuran 15 cm x 100 cm, dengan motif yang standar, membutuhkan waktu selama tujuh hari, sedangkan untuk kain-kain besar yang bisa dijadikan sarung bisa menghabiskan waktu sekira 1-2 bulan masa pengerjaan.
Kain tenun Mata Manuk yang sudah jadi bisa diolah lagi menjadi berbagai macam produk fesyen berupa rok terusan, kemeja, jaket, outer, pasmina, tas, topi, dompet, gelang, kalung, anting hingga sepatu. Tentu harganya bisa menjadi lebih mahal atau justru lebih murah.
Misalnya, seorang konsumen membeli kain tenun Mata Manuk berukuran 200 cm atau 2 m. Kain ini bisa diolah menjadi kemeja, dan sisanya dapat digunakan untuk membuat topi, dompet, gelang dan anting, sehingga tidak ada pembuangan sisa bahan baku.
Akan tetapi, banyak kolektor kain yang lebih senang membeli tenun utuh untuk dijadikan koleksi, pajangan dinding, selimut atau pakaian bawahan dan memakainya tanpa perlu memotong kain.
Semakin Mata Manuk dikenal, maka peluang permintaan akan tenun pun semakin meningkat. Penenun dapat terus berkarya sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan. Harapan inilah yang disematkan oleh para penenun di Lembor dengan berlangsungnya KTT ASEAN.
Pemberdayaan penenun
Penyelenggaraan KTT ASEAN di Labuan Bajo menjadi momentum bagi para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk menampilkan talenta yang dimiliki akan budaya dan tradisinya. Setidaknya dalam perhelatan ini telah terpilih 10 pelaku UMKM untuk mengikuti pameran di lokasi inti KTT, yakni Hotel Meruorah.
Para pelaku UMKM tersebut siap menampilkan hasil kerajinan berupa kain tenun, pakaian, dan aksesoris. Tentunya, tenun motif Mata Manuk yang akan menjadi sorotan utamanya.
Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Shana Fatina mengatakan, para UMKM telah dipersiapkan untuk menghasilkan karya dengan kualitas baik. Produknya pun sudah melalui proses kurasi dan diuji coba, sehingga layak ditampilkan kepada seluruh pemimpin negara ASEAN.
Baca juga: Artikel - Menjadikan tenun ikat sebagai mata pencaharian perempuan NTT
Ini adalah momentum untuk para pelaku UMKM di wilayah Parekraf (pariwisata dan ekonomi kreatif) Labuan Bajo Flores untuk bisa menampilkan hasil inkubasi mereka selama tiga tahun, di mana berkolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Baca juga: Tenunan Manggarai Barat untuk 11 kepala negara ASEAN
KTT ke-42 ASEAN sejatinya memang perhelatan internasional yang hanya berlangsung selama tiga hari, namun efek yang didapat untuk para penenun dan pelaku UMKM bisa beragam.
Rasa bangga, percaya diri dan semangat untuk menghasilkan produk yang berkelas dan berkualitas semakin bertumbuh. Hal ini bisa menjadi sebuah pondasi agar produk tenun, khususnya Mata Manuk, bisa mendapat jangkauan yang lebih luas dalam penjualannya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenal tenun Mata Manuk, tradisi dan nilai ekonomi
Nama "Mata Manuk" belakangan mencuat lantaran disebut menjadi cenderamata yang akan diberikan kepada para Kepala Negara ASEAN pada perhelatan KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, NTT, pada 9-11 Mei 2023.
Berbentuk seperti bangun belah ketupat, jajaran mata ayam ini menampilkan motif yang simpel sekaligus berciri khas. Nilai lebih lainnya, tenun ini menggunakan pewarna alam, sehingga tidak memberikan efek panas atau gerah.
Tenun motif Mata Manuk dibuat oleh penenun dari kecamatan Lembor, Manggarai Barat, NTT. Motif ini, terpilih di antara 700 jenis motif yang ada.
Filosofi ritual adat
Karolina Andus yang mewakili kelompok tenun Setia Janji Buas dari Desa Ngancar, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, mengatakan bahwa Mata Manuk merupakan sebuah ciri khas dari kabupaten itu yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang.
Ayam sendiri selalu dilibatkan dalam rangkaian acara adat masyarakat Manggarai Barat. Sebagai contoh, pada ritual adat menyambut tamu, akan dipotong ayam putih yang melambangkan hati nurani yang bahagia dalam menerima kedatangan tamu.
Sementara ayam hitam, melambangkan membuang sesuatu yang tidak bagus atau untuk menolak marabahaya. Para leluhur Manggarai Barat kemudian menerapkan simbol ayam yang diwakilkan melalui mata pada seutas kain.
"Ayam itu berawal dari rangkaian acara adat, di mana orang Manggarai melakukan acara adat selalu menggunakan ayam. Mata ayam itu, motif-motif Mata Manuk. Nenek moyang dulu diterapkan kepada kain, namanya motif Mata Manuk karena Mata Manuk itu berkaitan dengan ritual adat," ujar Karolina kepada ANTARA.
Motif-motif dari simbol adat tersebut, kini tak sekadar menjadi kain atau sarung yang digunakan oleh masyarakat Manggarai Barat, tapi keindahan tenunnya dapat dinikmati dan dikagumi secara luas, termasuk oleh para delegasi negara ASEAN.
Penggunaan pewarna alam
Kain tenun memiliki variasi warna yang beragam, mulai dari gelap seperti hitam, biru tua, cokelat, merah, hijau daun dan abu-abu, warna-warna lembut seperti biru muda, merah muda, krem, hingga putih, serta warna cerah yang diwakili oleh oranye, fuschia atau perpaduan pink dan ungu, hingga hijau stabilo.
Warna-warna gelap dan lembut biasanya menggunakan pewarna alam atau dari bahan-bahan alami, seperti daun, bunga, batang pohon, hingga kulit kayu, sedangkan warna cerah dan menyala, rata-rata menggunakan bahan kimia dan benang berbahan polyster.
Pewarnaan menggunakan bahan kimia mungkin terlihat lebih menarik, namun hasil akhir ketika digunakan akan sangat berbeda. Menurut Karolina, kain dengan bahan benang sintesis akan memberikan rasa panas atau gerah, sedangkan pewarna alam meninggalkan rasa dingin atau adem.
Pembuatan pewarna alam dilakukan dengan berbagai proses. Misalnya, untuk membuat warna kuning, penenun perlu merebus batang nangka, lalu airnya digunakan untuk merendam benang putih. Namun, bila ingin menciptakan warna abu-abu, penenun dapat merebus kulit mahoni.
Kalau sekarang yang banyak disenangi itu pewarna alam karena teksturnya lembut, dingin dan tidak zat kimia.
Bernilai ekonomi
Sama halnya dengan jenis motif dan pewarnaan, harga sehelai kain tenun juga memiliki nilai yang berbeda, mulai dari Rp100 ribu untuk selendang kecil hingga jutaan rupiah yang berupa lembaran kain besar.
Harga yang bervariasi ini ditentukan berdasarkan waktu pengerjaan, ukuran dan banyaknya motif yang digunakan pada tenun. Sebagai gambaran, untuk mengerjakan kain berukuran 15 cm x 100 cm, dengan motif yang standar, membutuhkan waktu selama tujuh hari, sedangkan untuk kain-kain besar yang bisa dijadikan sarung bisa menghabiskan waktu sekira 1-2 bulan masa pengerjaan.
Kain tenun Mata Manuk yang sudah jadi bisa diolah lagi menjadi berbagai macam produk fesyen berupa rok terusan, kemeja, jaket, outer, pasmina, tas, topi, dompet, gelang, kalung, anting hingga sepatu. Tentu harganya bisa menjadi lebih mahal atau justru lebih murah.
Misalnya, seorang konsumen membeli kain tenun Mata Manuk berukuran 200 cm atau 2 m. Kain ini bisa diolah menjadi kemeja, dan sisanya dapat digunakan untuk membuat topi, dompet, gelang dan anting, sehingga tidak ada pembuangan sisa bahan baku.
Akan tetapi, banyak kolektor kain yang lebih senang membeli tenun utuh untuk dijadikan koleksi, pajangan dinding, selimut atau pakaian bawahan dan memakainya tanpa perlu memotong kain.
Semakin Mata Manuk dikenal, maka peluang permintaan akan tenun pun semakin meningkat. Penenun dapat terus berkarya sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan. Harapan inilah yang disematkan oleh para penenun di Lembor dengan berlangsungnya KTT ASEAN.
Pemberdayaan penenun
Penyelenggaraan KTT ASEAN di Labuan Bajo menjadi momentum bagi para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk menampilkan talenta yang dimiliki akan budaya dan tradisinya. Setidaknya dalam perhelatan ini telah terpilih 10 pelaku UMKM untuk mengikuti pameran di lokasi inti KTT, yakni Hotel Meruorah.
Para pelaku UMKM tersebut siap menampilkan hasil kerajinan berupa kain tenun, pakaian, dan aksesoris. Tentunya, tenun motif Mata Manuk yang akan menjadi sorotan utamanya.
Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Shana Fatina mengatakan, para UMKM telah dipersiapkan untuk menghasilkan karya dengan kualitas baik. Produknya pun sudah melalui proses kurasi dan diuji coba, sehingga layak ditampilkan kepada seluruh pemimpin negara ASEAN.
Baca juga: Artikel - Menjadikan tenun ikat sebagai mata pencaharian perempuan NTT
Ini adalah momentum untuk para pelaku UMKM di wilayah Parekraf (pariwisata dan ekonomi kreatif) Labuan Bajo Flores untuk bisa menampilkan hasil inkubasi mereka selama tiga tahun, di mana berkolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Baca juga: Tenunan Manggarai Barat untuk 11 kepala negara ASEAN
KTT ke-42 ASEAN sejatinya memang perhelatan internasional yang hanya berlangsung selama tiga hari, namun efek yang didapat untuk para penenun dan pelaku UMKM bisa beragam.
Rasa bangga, percaya diri dan semangat untuk menghasilkan produk yang berkelas dan berkualitas semakin bertumbuh. Hal ini bisa menjadi sebuah pondasi agar produk tenun, khususnya Mata Manuk, bisa mendapat jangkauan yang lebih luas dalam penjualannya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenal tenun Mata Manuk, tradisi dan nilai ekonomi