Kupang (ANTARA) - Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Prof Maxs UE Sanam mengatakan satu-satunya universitas negeri di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu siap menyesuaikan kebijakan terkait penghapusan skripsi bagi mahasiswa.
"Kita akan sesuaikan dengan tuntutan setiap program studi (prodi) dan prodi diberikan kewenangan untuk menentukan kebijakan terkait skripsi. Rektor hanya mengeluarkan surat keputusannya," kata Maxs Sanam di Kupang, Kamis, (14/9/2023).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan polemik seputar penghapusan skripsi bagi para mahasiswa yang akan mendapatkan gelar sarjana pada setiap perguruan tinggi di Indonesia.
Maxs Sanam menilai kebijakan tersebut tidaklah wajib dijalankan oleh semua perguruan tinggi, sebab setiap perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk menerimanya atau tidak disesuaikan dengan tuntutan akademis perguruan tinggi masing-masing.
Pihaknya sementara menyelesaikan standarisasi untuk menyesuaikan kebijakan tidak wajib skripsi yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
"Kalau Undana sendiri masih skripsi, walaupun kita telah melakukan penyesuaian saat COVID-19 karena tuntutan social distancing, sehingga penelitian yang semula bersifat eksperimental dan membutuhkan fasilitas laboratorium diganti dengan studi literatur, tetapi tetap skripsi," katanya.
Maxs Sanam juga menilai bahwa skripsi penting mengajarkan mahasiswa untuk jujur dengan mengapresiasi buah pikir atau hasil penelitian orang lain di dalam tulisannya, berpikir ilmiah dan sistematis.
Tuntutan demikian sangatlah relevan, katanya, seiring dengan menjamurnya hoaks atau berita bohong dan banyaknya orang yang berbicara tanpa memiliki basis data saat ini.
Baca juga: Rektor UMK: Mahasiswa tetap diwajibkan menulis skripsi
Di era digitalisasi, kata dia, sarjana dituntut untuk berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah. Kompetensi, menurutnya, didapatkan melalui skripsi. Kalaupun skripsi diganti, desain kebijakannya harus sesuai kebutuhan dan ciri khas setiap prodi.
Baca juga: Pengamat pendidikan: Kebijakan tidak wajib skripsi perlu ditinjau kembali
"Kalau kita menghilangkan skripsi, maka kompetensi-kompetensi yang ada di dalam skripsi, seperti keterampilan menulis, mengemukakan gagasan, dan menguasai audiens ketika mempertanggungjawabkan tulisannya dititipkan di mata kuliah lain dan penugasan-penugasan tertentu yang kompatibel atau sepadan," katanya.
"Kita akan sesuaikan dengan tuntutan setiap program studi (prodi) dan prodi diberikan kewenangan untuk menentukan kebijakan terkait skripsi. Rektor hanya mengeluarkan surat keputusannya," kata Maxs Sanam di Kupang, Kamis, (14/9/2023).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan polemik seputar penghapusan skripsi bagi para mahasiswa yang akan mendapatkan gelar sarjana pada setiap perguruan tinggi di Indonesia.
Maxs Sanam menilai kebijakan tersebut tidaklah wajib dijalankan oleh semua perguruan tinggi, sebab setiap perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk menerimanya atau tidak disesuaikan dengan tuntutan akademis perguruan tinggi masing-masing.
Pihaknya sementara menyelesaikan standarisasi untuk menyesuaikan kebijakan tidak wajib skripsi yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
"Kalau Undana sendiri masih skripsi, walaupun kita telah melakukan penyesuaian saat COVID-19 karena tuntutan social distancing, sehingga penelitian yang semula bersifat eksperimental dan membutuhkan fasilitas laboratorium diganti dengan studi literatur, tetapi tetap skripsi," katanya.
Maxs Sanam juga menilai bahwa skripsi penting mengajarkan mahasiswa untuk jujur dengan mengapresiasi buah pikir atau hasil penelitian orang lain di dalam tulisannya, berpikir ilmiah dan sistematis.
Tuntutan demikian sangatlah relevan, katanya, seiring dengan menjamurnya hoaks atau berita bohong dan banyaknya orang yang berbicara tanpa memiliki basis data saat ini.
Baca juga: Rektor UMK: Mahasiswa tetap diwajibkan menulis skripsi
Di era digitalisasi, kata dia, sarjana dituntut untuk berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah. Kompetensi, menurutnya, didapatkan melalui skripsi. Kalaupun skripsi diganti, desain kebijakannya harus sesuai kebutuhan dan ciri khas setiap prodi.
Baca juga: Pengamat pendidikan: Kebijakan tidak wajib skripsi perlu ditinjau kembali
"Kalau kita menghilangkan skripsi, maka kompetensi-kompetensi yang ada di dalam skripsi, seperti keterampilan menulis, mengemukakan gagasan, dan menguasai audiens ketika mempertanggungjawabkan tulisannya dititipkan di mata kuliah lain dan penugasan-penugasan tertentu yang kompatibel atau sepadan," katanya.