Jakarta (ANTARA) - Setahun setelah tsunami 26 Desember 2004 yang menewaskan 130.000-167.000 orang, atmosfer politik di Aceh berubah drastis, ketika pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat mengakhiri konflik selama 26 tahun dengan meneken Kesepakatan Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Memang ada banyak faktor dan rangkaian kejadian yang mengantarkan kepada perdamaian di Aceh. Namun, tsunami mahadahsyat yang meluluhlantakkan Banda Aceh dan pesisir barat Aceh itu turut mempercepat proses rekonsiliasi.
Bencana alam memang acap mendorong orang-orang yang tadinya berseberangan, bahu membahu menolong mereka yang terdampak bencana sampai bisa meretas jalan rekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai.
Badai siklon di Myanmar pada 2008 juga sempat mengubah lanskap politik di negara itu. Dua tahun setelah badai yang merenggut 138 ribu nyawa manusia itu Myanmar menggelar pemilu jujur dan adil pada 2010, walau 11 tahun kemudian negara itu mengalami lagi kemunduran akibat oportunisme militer mereka.
Kini, 18 tahun setelah bencana tsunami di Aceh, bencana tidak kalah dahsyatnya melanda Libya, yang dicabik-cabik oleh perseteruan antarfaksi bersenjata, terutama antara dua kelompok besar yang memerintah Libya saat ini.
Libya, tepatnya Libya timur, dihantam banjir bandang yang berawal dari Badai Daniel. Badai ini memicu hujan lebat untuk kemudian menciptakan banjir besar.
Sebelum menyapu pesisir Libya, badai itu sudah meninggalkan jejak kehancuran dan kerusakan di Turki, Bulgaria, dan Yunani.
Badai itu pula yang memicu jebolnya dua bendungan di Libya timur untuk kemudian menghanyutkan seperempat Kota Derna, sampai ke laut.
Banjir itu mencapai puncaknya di timur laut Libya pada Minggu, dengan munculnya angin kencang berkecepatan 80 kilometer per jam, sehingga memutuskan saluran komunikasi dan merobohkan tiang-tiang listrik serta pepohonan.
Menurut Hichem Abu Chkiouat, menteri penerbangan sipil pada pemerintahan yang mengendalikan Libya timur, 5.300 jenazah ditemukan di Derna.
"Jenazah bergelimpangan di mana-mana, di laut, di lembah, di bawah bangunan," kata Chkiouat kepada Reuter. "25 persen Kota Derna lenyap."
Antara Tripoli dan Tobruk
'
Chkiouat mengungkapkan bahwa Libya membutuhkan miliaran dolar AS untuk merekonstruksi daerah-daerah terdampak banjir bandang itu, terutama Derna.
Selama belasan tahun Derna dikuasai kelompok-kelompok militan islamis, sampai kemudian direbut pasukan pimpinan Jenderal Khalifa Haftar pada 2019. Namun itu tak menghentikan friksi besar di Libya.
Sejak pemberontakan yang menggulingkan dan menewaskan Muammar Gaddafi pada 2011, negara kaya minyak itu terkotak-kotak oleh pertikaian politik yang akut, di samping akibat wabah korupsi dan campur tangan asing.
Pihak-pihak bersengketa di Libya bukannya tak berupaya mempersatukan diri. Sebaliknya, selama 10 tahun terakhir mereka sudah berusaha membentuk pemerintahan terpadu yang fungsional. Tetapi, setiap kali itu pula mereka gagal mewujudkannya.
Yang justru kemudian terjadi adalah semakin akutnya perseteruan antara dua kelompok politik utama yang saling bersaing di Libya, yang sama-sama didukung oleh milisi-milisinya sendiri. Total ada 29 kelompok milisi di Libya, termasuk dua kelompok yang berafiliasi kepada ISIS.
Kedua kelompok utama penguasa Libya beserta milisi-milisi yang berafiliasi kepada mereka, tak henti bentrok sampai 15.000 orang menjadi tumbal pertarungan politik mereka, dalam kurun waktu 2014-2020.
Kedua kubu itu membagi Libya ke dalam dua pemerintah. Mereka yang menguasai bagian barat Libya memiliki pemerintahan yang berpusat di Tripoli, sedangkan yang menguasai bagian timur Libya memiliki pemerintahan yang berpusat di Tobruk.
Mereka yang memimpin daerah timur menyebut dirinya Dewan Perwakilan (HoR). Kelompok ini didukung Tentara Nasional Libya pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. Sedangkan mereka yang memerintah bagian barat menamakan dirinya Pemerintah Persatuan Nasional (GNU).
Kedua kelompok besar politik di Libya ini juga memiliki sponsor asingnya masing-masing. Jika HoR didukung oleh Mesir, Prancis, dan Uni Emirat Arab, maka GNU didukung oleh Qatar, Turki, dan Italia.
Kemudian, setelah Haftar gagal menduduki Tripoli pada 2019–2020, PBB masuk ke Libya untuk memandu proses yang mengantarkan kepada terbentuknya pemerintahan sementara pada Februari 2021.
Petunjuk awal rekonsiliasi
Pemerintah sementara itu menjanjikan pemilu pada Desember 2021, tetapi tak terwujud karena semua faksi berbeda pendapat mengenai bagaimana pemilu harus dilaksanakan.
Krisis politik makin tajam setelah perdana menteri sementara GNU Abdul Hamid Dbeibah, tak mau mundur, padahal menurut HoR, mandatnya selesai begitu pemerintahan sementara berakhir pada akhir 2021.
HoR kemudian menunjuk Fathi Bashagha sebagai perdana menteri tandingan, dalam pemerintahan di Libya timur yang kemudian disebut Pemerintah Stabilitas Nasional (GNU).
Beberapa masa kemudian Jenderal Haftar memecat Bashagha untuk digantikan Osama Hammad.
Situasi makin runyam saja, apalagi diperparah oleh intervensi asing, yang memiliki kepentingan berbeda-beda di Libya, mulai dari menguasai akses ke pengusahaan minyak Libya, sampai mencegah kaum militan Islam memperluas pengaruhnya ke kawasan-kawasan dekat Libya.
Mesir, Prancis, dan Uni Emirat Arab yang menyokong kubu Jenderal Haftar di Libya timur serta Qatar, Turki, dan Italia yang mendukung kubu Abdul Hamid Dbeibah di Libya barat, membuat upaya menyatukan kekuatan-kekuatan di Libya menjadi semakin pelik.
Namun, bisa saja banjir bandang pekan ini bisa mendorong kelompok-kelompok yang bertikai di Libya itu merenungkan kembali rekonsiliasi nasional, apalagi jauh sebelum banjir bandang itu, mereka sebenarnya sudah beberapa kali mengupayakan hal itu.
Baca juga: Turki siapkan operasi penyelematan korban banjir Badai Daniel di Libya
Menurut laporan Arab Center Washington DC pada 13 Juli 2023, Ibrahim Dbeibah yang keponakan Dbeibah, dan Saddam Haftar yang merupakan anak Haftar, setahun terakhir ini aktif menggelar pembicaraan untuk menjajaki rekonsiliasi nasional.
Bisa saja banjir bandang mengintensifkan prakarsa damai, terlebih banjir Libya timur sendiri menyingkapkan solidaritas dari kalangan berbeda pandangan, terutama pemerintahan di Libya barat yang menyatakan akan menyalurkan bantuan senilai 2 miliar dinar Libya (Rp6,8 triliun) untuk rekonstruksi Benghazi dan Derna, yang menjadi dua kota terparah diterjang banjir bandang itu.
Baca juga: Artikel - Merancang Sigi yang aman dari bencana
Ini bisa menjadi petunjuk awal untuk adanya rekonsiliasi nasional, seperti terjadi di banyak tempat di dunia, termasuk di Aceh 18 tahun lalu, kendati tantangan rekonsiliasi Libya amat berat akibat faksionalisasi politik yang dalam dan campur tangan asing yang besar.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bisakah banjir bandang mendorong rekonsiliasi nasional di Libya?
Memang ada banyak faktor dan rangkaian kejadian yang mengantarkan kepada perdamaian di Aceh. Namun, tsunami mahadahsyat yang meluluhlantakkan Banda Aceh dan pesisir barat Aceh itu turut mempercepat proses rekonsiliasi.
Bencana alam memang acap mendorong orang-orang yang tadinya berseberangan, bahu membahu menolong mereka yang terdampak bencana sampai bisa meretas jalan rekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai.
Badai siklon di Myanmar pada 2008 juga sempat mengubah lanskap politik di negara itu. Dua tahun setelah badai yang merenggut 138 ribu nyawa manusia itu Myanmar menggelar pemilu jujur dan adil pada 2010, walau 11 tahun kemudian negara itu mengalami lagi kemunduran akibat oportunisme militer mereka.
Kini, 18 tahun setelah bencana tsunami di Aceh, bencana tidak kalah dahsyatnya melanda Libya, yang dicabik-cabik oleh perseteruan antarfaksi bersenjata, terutama antara dua kelompok besar yang memerintah Libya saat ini.
Libya, tepatnya Libya timur, dihantam banjir bandang yang berawal dari Badai Daniel. Badai ini memicu hujan lebat untuk kemudian menciptakan banjir besar.
Sebelum menyapu pesisir Libya, badai itu sudah meninggalkan jejak kehancuran dan kerusakan di Turki, Bulgaria, dan Yunani.
Badai itu pula yang memicu jebolnya dua bendungan di Libya timur untuk kemudian menghanyutkan seperempat Kota Derna, sampai ke laut.
Banjir itu mencapai puncaknya di timur laut Libya pada Minggu, dengan munculnya angin kencang berkecepatan 80 kilometer per jam, sehingga memutuskan saluran komunikasi dan merobohkan tiang-tiang listrik serta pepohonan.
Menurut Hichem Abu Chkiouat, menteri penerbangan sipil pada pemerintahan yang mengendalikan Libya timur, 5.300 jenazah ditemukan di Derna.
"Jenazah bergelimpangan di mana-mana, di laut, di lembah, di bawah bangunan," kata Chkiouat kepada Reuter. "25 persen Kota Derna lenyap."
Antara Tripoli dan Tobruk
'
Chkiouat mengungkapkan bahwa Libya membutuhkan miliaran dolar AS untuk merekonstruksi daerah-daerah terdampak banjir bandang itu, terutama Derna.
Selama belasan tahun Derna dikuasai kelompok-kelompok militan islamis, sampai kemudian direbut pasukan pimpinan Jenderal Khalifa Haftar pada 2019. Namun itu tak menghentikan friksi besar di Libya.
Sejak pemberontakan yang menggulingkan dan menewaskan Muammar Gaddafi pada 2011, negara kaya minyak itu terkotak-kotak oleh pertikaian politik yang akut, di samping akibat wabah korupsi dan campur tangan asing.
Pihak-pihak bersengketa di Libya bukannya tak berupaya mempersatukan diri. Sebaliknya, selama 10 tahun terakhir mereka sudah berusaha membentuk pemerintahan terpadu yang fungsional. Tetapi, setiap kali itu pula mereka gagal mewujudkannya.
Yang justru kemudian terjadi adalah semakin akutnya perseteruan antara dua kelompok politik utama yang saling bersaing di Libya, yang sama-sama didukung oleh milisi-milisinya sendiri. Total ada 29 kelompok milisi di Libya, termasuk dua kelompok yang berafiliasi kepada ISIS.
Kedua kelompok utama penguasa Libya beserta milisi-milisi yang berafiliasi kepada mereka, tak henti bentrok sampai 15.000 orang menjadi tumbal pertarungan politik mereka, dalam kurun waktu 2014-2020.
Kedua kubu itu membagi Libya ke dalam dua pemerintah. Mereka yang menguasai bagian barat Libya memiliki pemerintahan yang berpusat di Tripoli, sedangkan yang menguasai bagian timur Libya memiliki pemerintahan yang berpusat di Tobruk.
Mereka yang memimpin daerah timur menyebut dirinya Dewan Perwakilan (HoR). Kelompok ini didukung Tentara Nasional Libya pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. Sedangkan mereka yang memerintah bagian barat menamakan dirinya Pemerintah Persatuan Nasional (GNU).
Kedua kelompok besar politik di Libya ini juga memiliki sponsor asingnya masing-masing. Jika HoR didukung oleh Mesir, Prancis, dan Uni Emirat Arab, maka GNU didukung oleh Qatar, Turki, dan Italia.
Kemudian, setelah Haftar gagal menduduki Tripoli pada 2019–2020, PBB masuk ke Libya untuk memandu proses yang mengantarkan kepada terbentuknya pemerintahan sementara pada Februari 2021.
Petunjuk awal rekonsiliasi
Pemerintah sementara itu menjanjikan pemilu pada Desember 2021, tetapi tak terwujud karena semua faksi berbeda pendapat mengenai bagaimana pemilu harus dilaksanakan.
Krisis politik makin tajam setelah perdana menteri sementara GNU Abdul Hamid Dbeibah, tak mau mundur, padahal menurut HoR, mandatnya selesai begitu pemerintahan sementara berakhir pada akhir 2021.
HoR kemudian menunjuk Fathi Bashagha sebagai perdana menteri tandingan, dalam pemerintahan di Libya timur yang kemudian disebut Pemerintah Stabilitas Nasional (GNU).
Beberapa masa kemudian Jenderal Haftar memecat Bashagha untuk digantikan Osama Hammad.
Situasi makin runyam saja, apalagi diperparah oleh intervensi asing, yang memiliki kepentingan berbeda-beda di Libya, mulai dari menguasai akses ke pengusahaan minyak Libya, sampai mencegah kaum militan Islam memperluas pengaruhnya ke kawasan-kawasan dekat Libya.
Mesir, Prancis, dan Uni Emirat Arab yang menyokong kubu Jenderal Haftar di Libya timur serta Qatar, Turki, dan Italia yang mendukung kubu Abdul Hamid Dbeibah di Libya barat, membuat upaya menyatukan kekuatan-kekuatan di Libya menjadi semakin pelik.
Namun, bisa saja banjir bandang pekan ini bisa mendorong kelompok-kelompok yang bertikai di Libya itu merenungkan kembali rekonsiliasi nasional, apalagi jauh sebelum banjir bandang itu, mereka sebenarnya sudah beberapa kali mengupayakan hal itu.
Baca juga: Turki siapkan operasi penyelematan korban banjir Badai Daniel di Libya
Menurut laporan Arab Center Washington DC pada 13 Juli 2023, Ibrahim Dbeibah yang keponakan Dbeibah, dan Saddam Haftar yang merupakan anak Haftar, setahun terakhir ini aktif menggelar pembicaraan untuk menjajaki rekonsiliasi nasional.
Bisa saja banjir bandang mengintensifkan prakarsa damai, terlebih banjir Libya timur sendiri menyingkapkan solidaritas dari kalangan berbeda pandangan, terutama pemerintahan di Libya barat yang menyatakan akan menyalurkan bantuan senilai 2 miliar dinar Libya (Rp6,8 triliun) untuk rekonstruksi Benghazi dan Derna, yang menjadi dua kota terparah diterjang banjir bandang itu.
Baca juga: Artikel - Merancang Sigi yang aman dari bencana
Ini bisa menjadi petunjuk awal untuk adanya rekonsiliasi nasional, seperti terjadi di banyak tempat di dunia, termasuk di Aceh 18 tahun lalu, kendati tantangan rekonsiliasi Libya amat berat akibat faksionalisasi politik yang dalam dan campur tangan asing yang besar.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bisakah banjir bandang mendorong rekonsiliasi nasional di Libya?