Kupang (ANTARA News NTT) - Dalam kalender Gregorian, Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari.

Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi pada bulan 11, yang berarti Tahun Baru Imlek biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin.

Tanggal untuk Tahun Baru Imlek dari 1996 sampai 2019 (dalam penanggalan Gregorian) dapat dilihat bersamaan dengan shio hewan untuk tahun itu dan cabang duniawinya.

Bersamaan dengan daur 12 tahun dengan shio hewannya masing-masing, terdapat daur 10 tahun batang surgawi. Setiap surgawi dikaitkan dengan salah satu dari lima elemen perbintangan Tionghoa, yakni kayu, api, bumi, logam dan air. Unsur-unsur tersebut diputar setiap dua tahun sekali.

Hal ini kemudian menghasilkan sebuah daur gabungan yang berulang setiap 60 tahun. Sebagai contoh, tahun dari Tikus Api yang terjadi pada 1936 dan 1996.

Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek, dilarang untuk dirayakan.

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967, dan menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.

Hari libur fakultatif ini hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya. Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.

Berdasarkan sejumlah literatur, orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay.

Baca juga: PSMTI NTT: Imlek tradisi pemersatu dalam bingkai NKRI

Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan, dan tetap mengizinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga Tionghoa dan di tempat yang tertutup. Hal inilah yang mendasari diterbitkannya Inpres No. 14/1967.

Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.

Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya, termasuk merayakan upacara-upacara agama, seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.

Berdasarkan tradisi Tionghoa, Tahun Baru Imlek biasanya berlangsung sampai 15 hari. Satu hari sebelum atau pada saat hari raya Imlek, bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharusan untuk melaksanakan pemujaan kepada leluhur, seperti dalam upacara kematian, dan memelihara meja abu (lingwei) berupa lembar papan kayu bertuliskan nama leluhur.

Warga keturunan Tionghoa di Kupang, Nusa Tenggara Timur, juga menyadari bahwa perayaan Tahun Baru Imlek memang berlangsung sampai dua pekan, namun mereka kurang memerdulikannya dan hanya melakukannya dalam sehari.

Mereka merayakannya dengan menggelar misa syukur di Gereja Katedral Kristus Raja Kupang bersama masyarakat umum lainnya yang beragama Katolik sambil membagi-bagi ampao di Tahun Babi Tanah ini.

Berdasarkan ramalan fengsui, persamaan shio Babi dengan zodiak barat adalah Bintang Scorpio yang memiliki sifat persahabatan yang mendalam yang datang dari shio Babi. Lugu dan punya keyakinan, ketulusan hati yang sungguh bersih.

Namun, di balik sifat-sifat lugu polos tersebut adakalanya shio Babi menjadi sangat negatif akan dirinya sendiri, bahkan bisa sampai terjerumus kepada moral yang memalukan.

Shio Babi dengan elemen Tanah adalah shio yang sangat rajin dalam bekerja. Ia juga dikenal dengan kebaikan dan kemantapannya dalam melaksanakan tugas-tugas yang penting.

Ia betul-betul akan mengabdikan diri pada bidang pekerjaan yang digeluti, juga akan mengabdikan diri kepada keluarganya dan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dan tentu saja ia masih lugu dan mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang licik yang beritikad buruk.

Baca juga: Warga Tionghoa di Kupang rayakan Imlek dengan misa

Tahun Babi Tanah adalah tahun yang sangat tidak menentu bagi kebanyakan shio. Ekonomi rata-rata masyarakat masih sangat susah, hasil yang didapat tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk keluarga dan hal ini menjadikan warga masyarakat mengalami tekanan yang sangat luar biasa.

Menjadikan persaingan kehidupan sangat keras dan sangat berat untuk dijalani, bahan kebutuhan pokok mengalami lonjakan harga yang sangat luar biasa, karena iklim yang kian tidak menentu, sebentar hujan sebentar kemarau.

Kemaraunya lebih lama dari musim hujan. Kalau musim hujan datang, ia sangatlah gelap, membuat hasil pertanian masyarakat menjadi membusuk dan tidak bisa dipanen.

Apakah karena itu sehingga membuat suku Tionghoa yang ada di NTT tidak mau merayakan Tahun Baru Imlek secara besar-besaran atau karena tidak biasa melakukannya sehingga berjalan apa adanya?

Boby Pitobi, salah seorang warga Tionghoa di Kupang, mengatakan, tidak ada kegiatan besar-besaran seperti yang dilakukan di daerah lain, tetapi hal yang paling penting adalah berkumpul bersama keluarga.

Baginya, Imlek adalah momentum untuk berkumpul bersama keluarga, sehingga yang terpenting adalah keluarga bisa berkumpul dan merayakannya secara bersama-sama.

Memang di China, Imlek dirayakan selama dua pekan, tetapi bagi suku Tionghoa yang ada di NTT cukup satu hari saja, berkumpul bersama keluarga.

Atas dasar tradisi tersebut, maka warga Tionghoa yang berdomisili di Kupang tidak menggelar perayaan Imlek dengan besar-besaran seperti di daerah lain di Indonesia.

"Kami bawa semua itu dalam keyakinan kami sebagai orang Kristen dan merayakannya dalam bentuk ibadah di gereja. Bagi kami, Imlek adalah sebuah tradisi yang dapat mempersatukan dan mengingatkan kami bahwa kami adalah suku Tionghoa, namun kami adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti WNI lainnya," kata Ketua Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Nusa Tenggara Timur Hengky Lyanto.

Baca juga: Warga Tionghoa doakan Imlek berikan kedamaian

Pewarta : Laurensius Molan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024