Surabaya (ANTARA) - Peduli pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memerlukan komitmen kuat, telaten, dan cinta kasih yang tulus.
Tanpa sikap welas asih, yang merupakan perwujudan dari cinta kasih total, Shodikin, pemilik rumah pemulihan pasien sakit jiwa, tidak akan mampu bertahan beberapa tahun untuk membersamai mereka yang secara sosial dianggap orang sakit jiwa itu
Apalagi, membersamai para ODGJ itu tidak bisa ditentukan targetnya, kapan seseorang bisa sembuh dan normal, sehingga bisa diterima kembali oleh keluarga dan masyarakat.
"Jadi, banyak pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa, mereka sering kambuh, sementara keluarganya tidak tahu cara penanganan berkelanjutan. Kalau mereka di rumah ngamuk, perilakunya masih jorok, keluarganya hanya bingung dan memberi stigma negatif," kata pendiri dan pemilik Yayasan Al Hafis, Shodikin, ketika berbincang dengan ANTARA.
Melihat banyaknya kenyataan itu, pria yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, Surabaya, itu terpanggil untuk membuat tempat bagi pasien ODGJ, yang secara medis sudah dinyatakan sembuh, namun masih sering kambuh.
Maka, dibuatlah yayasan yang operasionalnya ia biayai sendiri, tanpa meminta bantuan pihak lain.
Beruntung, sejak 2022, yayasan itu mendapat perhatian dari Majelis Ilmu (MI), komunitas pembelajar ilmu kesadaran yang digerakkan oleh Prof Ridho Bayuaji ST, MT, PhD, guru besar teknik infrastruktur sipil di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.
Meskipun bidang keilmuannya di bidang teknik sipil, dalam beberapa tahun terakhir, Ridho Bayuaji belajar ilmu kesadaran yang diampu oleh Aswar, akrab disapa Bang Aswar.
Kalau rumah sakit jiwa menangani pasien ODGJ, dengan cara medis dan menggunakan obat, maka di yayasan itu lebih ke pendampingan jiwa, dilengkapi dengan spiritualitas sejak berkolaborasi dengan MI.
Saat ini, yayasan tersebut mengasuh 25 orang, ada sudah ratusan orang yang dapat tertangani dengan baik, sehingga sembuh total dan kembali ke masyarakat.
Sementara Ridho Bayuaji mengemukakan bahwa dirinya dan tim hadir untuk menebarkan kasih sayang yang tulus bagi mereka yang sudah dicap sakit jiwa dan keberadaan mereka di sosial sering dianggap tidak berguna itu.
Bagi Ridho, sebagaimana ilmu kesadaran yang dipelajarinya, setiap orang itu hadir ke dunia bukan karena kebetulan, melainkan memiliki tugas dan potensi unik dari Tuhan.
Karena itu, kedatangan tim MI dengan beberapa mentor tidak pernah terjebak pada hasrat ingin segera mengentaskan para pasien agar cepat sembuh dan jiwanya segera normal kembali.
"Kami hadir untuk menyapa jiwa mereka dan menunjukkan kepedulian, sehingga kepercayaan diri mereka kembali bangkit. Kami menghargai mereka apa adanya sebagai makhluk Tuhan, yang di dalam jiwanya ada sifat-sifat keilahian," kata Ridho.
Tim itu memandang bahwa setiap jiwa memiliki nilai mulia di hadapan Tuhan, sehingga kita sudah selayaknya memberikan perhatian yang sama antara ODGJ dengan orang pada umumnya.
Ridho mengakui bahwa selama 2 tahun membersamai para ODGJ itu, dirinya belum memiliki metode khusus untuk diterapkan. Meskipun demikian, sebagaimana diakui Shodikin, telah banyak perubahan yang dialami oleh "anak asuhannya" itu.
Beberapa dari mereka sudah ada yang sembuh dan kembali ke keluarga dalam kondisi yang sangat baik, sementara yang lainnya juga menunjukkan tanda-tanda membaik.
Beberapa perubahan itu, terlihat, misalnya, awalnya mereka acuh pada orang lain, termasuk pada mentor dari MI, kini sudah mulai bersahabat.
"Dulu ada yang ketika kami ajak jabat tangan saja, gemetar, kini mereka mulai nyaman dan bisa diajak ngobrol," kata Ridho.
Masuk ke lingkungan ODGJ itu, Ridho pernah mengalami kejadian lucu. Saat itu, ada warga binaan, Ah, yang mendekati Ridho dan langsung menyampaikan pertanyaan.
"Sampean kan profesor ya? Kalau profesor kan pasti tahu caranya agar saya cepat sembuh," kata Ah, ditirukan oleh Ridho.
Ridho tidak memberikan jawaban langsung, melainkan memberikan pertanyaan balik, apa makna sembuh bagi Ah.
Di luar dugaan, Ah menjawab bahwa sembuh itu berarti dia sudah tidak lagi minum obat dan setelah itu dia diterima kembali oleh masyarakat dan keluarganya.
Ridho dengan tegas mengemukakan bahwa Ah dan teman-temannya pasti cepat sembuh. Mengapa begitu?
"Karena di dalam diri sampean semua ada ruhnya Allah. Kalau ada ruhnya Allah, bagi Allah, semuanya tidak ada yang sulit. Apalagi cuma untuk menyembuhkan sampean semua," kata Ridho memberikan penjelasan.
Mendapatkan jawaban seperti itu, tampak wajah para pasien itu lebih semringah.
Dalam perjalanan waktu, beberapa dari mereka sudah mampu mengurangi ketergantungan pada obat kimia, namun jiwanya tidak lagi mengalami guncangan.
Sebagai bentuk perhatian dan penghargaan terhadap jiwa mereka, Ridho dan tim selalu berupaya untuk meladeni apa yang mereka inginkan. Ketika mereka minta untuk bernyanyi, maka bernyanyilah para mentor MI itu bersama para ODGJ.
Tim MI juga tidak segan membawa makanan ringan atau camilan dan pensil warna atau spidol untuk mereka gunakan menggambar.
Dengan pelayanan seperti itu, jiwa mereka menjadi lebih rileks dan damai. Mereka seakan menemukan "harga diri"-nya yang selama ini hilang karena cap sosial yang dianggap sebagai orang tidak berguna.
Mereka juga diajak untuk berkebun di wilayah Batu, Jawa Timur, sehingga jiwanya menjadi lebih bebas, tidak terkungkung oleh tembok dan ruangan.
Sebagaimana disampaikan Ridho, secara teori ilmu jiwa yang dipelajari oleh Shodikin, memang tidak bisa diukur apa hasil yang didapat dari pendampingan oleh tim MI.
Hanya saja, secara fakta, banyak perubahan yang dialami oleh para warga binaan yayasan itu.
Selain itu, kini mulai banyak elemen masyarakat lain yang ikut menunjukkan kepeduliannya terhadap para ODGJ di yayasan itu.
Masyarakat itu tidak membawa uang untuk membantu pemenuhan biaya Shodikin menampung para ODGJ. Kepedulian itu ditunjukkan dengan hadirnya masyarakat yang memberikan pelatihan keterampilan hidup, seperti pelatihan membuat sandal. Ada juga yang datang membawa tim band untuk menghibur.
Baca juga: Artiikel - Melindungi penyu dari selatan Pulau Solor
Terkait lamanya penanganan, Ridho dan tim memang tidak ingin terjebak pada hasrat (target), harus sembuh berapa orang dan sembuh dalam berapa bulan.
Mereka tidak ingin terjebak pada hasrat pencapaian yang dapat mengganggu semangat untuk melayani para ODGJ itu untuk menjadi manusia normal dan diterima secara sosial.
Baca juga: Artikel - Jalan Panjang YLAI lahirkan literasi gemilang untuk tanah Merapu
Baca juga: Artikel - Negeri Jahetan Layar: Nuansa bahari dari puncak Kutai Lama
"Kami datang untuk menebarkan sifat rahman dan rahimnya Tuhan untuk mereka yang selama ini tersisihkan. Hasilnya, kami ikhlaskan pada Tahun sang pemilik jiwa dan semua aspek kehidupan. Kami berterima kasih kepada Pak Shodikin yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk berbuat dan bermakna bagi kehidupan," kata Ridho.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membersamai ODGJ dengan cinta
Tanpa sikap welas asih, yang merupakan perwujudan dari cinta kasih total, Shodikin, pemilik rumah pemulihan pasien sakit jiwa, tidak akan mampu bertahan beberapa tahun untuk membersamai mereka yang secara sosial dianggap orang sakit jiwa itu
Apalagi, membersamai para ODGJ itu tidak bisa ditentukan targetnya, kapan seseorang bisa sembuh dan normal, sehingga bisa diterima kembali oleh keluarga dan masyarakat.
"Jadi, banyak pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa, mereka sering kambuh, sementara keluarganya tidak tahu cara penanganan berkelanjutan. Kalau mereka di rumah ngamuk, perilakunya masih jorok, keluarganya hanya bingung dan memberi stigma negatif," kata pendiri dan pemilik Yayasan Al Hafis, Shodikin, ketika berbincang dengan ANTARA.
Melihat banyaknya kenyataan itu, pria yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, Surabaya, itu terpanggil untuk membuat tempat bagi pasien ODGJ, yang secara medis sudah dinyatakan sembuh, namun masih sering kambuh.
Maka, dibuatlah yayasan yang operasionalnya ia biayai sendiri, tanpa meminta bantuan pihak lain.
Beruntung, sejak 2022, yayasan itu mendapat perhatian dari Majelis Ilmu (MI), komunitas pembelajar ilmu kesadaran yang digerakkan oleh Prof Ridho Bayuaji ST, MT, PhD, guru besar teknik infrastruktur sipil di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.
Meskipun bidang keilmuannya di bidang teknik sipil, dalam beberapa tahun terakhir, Ridho Bayuaji belajar ilmu kesadaran yang diampu oleh Aswar, akrab disapa Bang Aswar.
Kalau rumah sakit jiwa menangani pasien ODGJ, dengan cara medis dan menggunakan obat, maka di yayasan itu lebih ke pendampingan jiwa, dilengkapi dengan spiritualitas sejak berkolaborasi dengan MI.
Saat ini, yayasan tersebut mengasuh 25 orang, ada sudah ratusan orang yang dapat tertangani dengan baik, sehingga sembuh total dan kembali ke masyarakat.
Sementara Ridho Bayuaji mengemukakan bahwa dirinya dan tim hadir untuk menebarkan kasih sayang yang tulus bagi mereka yang sudah dicap sakit jiwa dan keberadaan mereka di sosial sering dianggap tidak berguna itu.
Bagi Ridho, sebagaimana ilmu kesadaran yang dipelajarinya, setiap orang itu hadir ke dunia bukan karena kebetulan, melainkan memiliki tugas dan potensi unik dari Tuhan.
Karena itu, kedatangan tim MI dengan beberapa mentor tidak pernah terjebak pada hasrat ingin segera mengentaskan para pasien agar cepat sembuh dan jiwanya segera normal kembali.
"Kami hadir untuk menyapa jiwa mereka dan menunjukkan kepedulian, sehingga kepercayaan diri mereka kembali bangkit. Kami menghargai mereka apa adanya sebagai makhluk Tuhan, yang di dalam jiwanya ada sifat-sifat keilahian," kata Ridho.
Tim itu memandang bahwa setiap jiwa memiliki nilai mulia di hadapan Tuhan, sehingga kita sudah selayaknya memberikan perhatian yang sama antara ODGJ dengan orang pada umumnya.
Ridho mengakui bahwa selama 2 tahun membersamai para ODGJ itu, dirinya belum memiliki metode khusus untuk diterapkan. Meskipun demikian, sebagaimana diakui Shodikin, telah banyak perubahan yang dialami oleh "anak asuhannya" itu.
Beberapa dari mereka sudah ada yang sembuh dan kembali ke keluarga dalam kondisi yang sangat baik, sementara yang lainnya juga menunjukkan tanda-tanda membaik.
Beberapa perubahan itu, terlihat, misalnya, awalnya mereka acuh pada orang lain, termasuk pada mentor dari MI, kini sudah mulai bersahabat.
"Dulu ada yang ketika kami ajak jabat tangan saja, gemetar, kini mereka mulai nyaman dan bisa diajak ngobrol," kata Ridho.
Masuk ke lingkungan ODGJ itu, Ridho pernah mengalami kejadian lucu. Saat itu, ada warga binaan, Ah, yang mendekati Ridho dan langsung menyampaikan pertanyaan.
"Sampean kan profesor ya? Kalau profesor kan pasti tahu caranya agar saya cepat sembuh," kata Ah, ditirukan oleh Ridho.
Ridho tidak memberikan jawaban langsung, melainkan memberikan pertanyaan balik, apa makna sembuh bagi Ah.
Di luar dugaan, Ah menjawab bahwa sembuh itu berarti dia sudah tidak lagi minum obat dan setelah itu dia diterima kembali oleh masyarakat dan keluarganya.
Ridho dengan tegas mengemukakan bahwa Ah dan teman-temannya pasti cepat sembuh. Mengapa begitu?
"Karena di dalam diri sampean semua ada ruhnya Allah. Kalau ada ruhnya Allah, bagi Allah, semuanya tidak ada yang sulit. Apalagi cuma untuk menyembuhkan sampean semua," kata Ridho memberikan penjelasan.
Mendapatkan jawaban seperti itu, tampak wajah para pasien itu lebih semringah.
Dalam perjalanan waktu, beberapa dari mereka sudah mampu mengurangi ketergantungan pada obat kimia, namun jiwanya tidak lagi mengalami guncangan.
Sebagai bentuk perhatian dan penghargaan terhadap jiwa mereka, Ridho dan tim selalu berupaya untuk meladeni apa yang mereka inginkan. Ketika mereka minta untuk bernyanyi, maka bernyanyilah para mentor MI itu bersama para ODGJ.
Tim MI juga tidak segan membawa makanan ringan atau camilan dan pensil warna atau spidol untuk mereka gunakan menggambar.
Dengan pelayanan seperti itu, jiwa mereka menjadi lebih rileks dan damai. Mereka seakan menemukan "harga diri"-nya yang selama ini hilang karena cap sosial yang dianggap sebagai orang tidak berguna.
Mereka juga diajak untuk berkebun di wilayah Batu, Jawa Timur, sehingga jiwanya menjadi lebih bebas, tidak terkungkung oleh tembok dan ruangan.
Sebagaimana disampaikan Ridho, secara teori ilmu jiwa yang dipelajari oleh Shodikin, memang tidak bisa diukur apa hasil yang didapat dari pendampingan oleh tim MI.
Hanya saja, secara fakta, banyak perubahan yang dialami oleh para warga binaan yayasan itu.
Selain itu, kini mulai banyak elemen masyarakat lain yang ikut menunjukkan kepeduliannya terhadap para ODGJ di yayasan itu.
Masyarakat itu tidak membawa uang untuk membantu pemenuhan biaya Shodikin menampung para ODGJ. Kepedulian itu ditunjukkan dengan hadirnya masyarakat yang memberikan pelatihan keterampilan hidup, seperti pelatihan membuat sandal. Ada juga yang datang membawa tim band untuk menghibur.
Baca juga: Artiikel - Melindungi penyu dari selatan Pulau Solor
Terkait lamanya penanganan, Ridho dan tim memang tidak ingin terjebak pada hasrat (target), harus sembuh berapa orang dan sembuh dalam berapa bulan.
Mereka tidak ingin terjebak pada hasrat pencapaian yang dapat mengganggu semangat untuk melayani para ODGJ itu untuk menjadi manusia normal dan diterima secara sosial.
Baca juga: Artikel - Jalan Panjang YLAI lahirkan literasi gemilang untuk tanah Merapu
Baca juga: Artikel - Negeri Jahetan Layar: Nuansa bahari dari puncak Kutai Lama
"Kami datang untuk menebarkan sifat rahman dan rahimnya Tuhan untuk mereka yang selama ini tersisihkan. Hasilnya, kami ikhlaskan pada Tahun sang pemilik jiwa dan semua aspek kehidupan. Kami berterima kasih kepada Pak Shodikin yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk berbuat dan bermakna bagi kehidupan," kata Ridho.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Membersamai ODGJ dengan cinta