Kuningan (ANTARA) -
Ade Suryana (27) merasakan pengalaman luar biasa yang tidak pernah terlupakan saat mengunjungi kawasan Palutungan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
 
Aktivitas berkemah yang dilakoninya pada Ahad (28/7) pagi, telah membawanya untuk menyaksikan fenomena baru di dalam hidupnya. Kala itu Ade bersama tiga rekannya sedang duduk santai di depan tenda, sembari menyeruput kopi hangat.  
 
Mereka tengah menikmati kedamaian di balik lebatnya hutan tropis Gunung Ciremai. Namun, keheningan itu tiba-tiba pecah oleh kehadiran seekor satwa langka.
 
Pelancong asal Cirebon ini melihat penampakan seekor burung terbang cukup rendah di ketinggian, dengan sayap yang terbentang lebar.
 
Bulu cokelat burung ini yang terpolarisasi menambah pesona, mata tajamnya menelisik, seolah mengawasi gerak-gerik hewan kecil yang menjadi mangsa buruannya.
 
Ade yang melihatnya segera mengenali satwa tersebut sebagai elang Jawa. Burung ini merupakan penguasa langit di Gunung Ciremai yang menjadi lambang kerentanan alam.
 
Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) adalah spesies burung langka yang pertama kali diidentifikasi oleh peneliti berkebangsaan Jerman, Max Eduard Gottlieb Bartels, pada abad ke-19.
 
Melihat elang jawa di habitat alaminya menjadi pengalaman langka dan tak ternilai. Ade mengungkapkan rasa syukurnya atas kesempatan menyaksikan keindahan burung ini secara langsung.
 
"Momen tersebut sangat berarti bagi saya. Saya merasa sangat beruntung bisa menyaksikan keindahan elang jawa di habitat alaminya," kata Ade saat mengisahkan pengalamannya itu.  Ilustrasi burung elang Jawa di Gunung Ciremai, Jawa Barat. (ANTARA/HO-Balai TNGC)
Ade dan teman-temannya terkesima oleh pemandangan tersebut, yang memberikan mereka lebih dari sekadar rasa bangga, tetapi juga sebuah pelajaran penting tentang tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.
 
Saat elang jawa terbang menjauh di horizon, mereka merasakan kekaguman serta menyadari betapa pentingnya menjaga habitat alam agar tetap lestari.
 
“Ya, ini momen langka. Walaupun kebetulan, tetapi saya merasa sangat senang melihat elang jawa di sekitar Gunung Ciremai. Artinya keberadaan hewan ini masih ada,” ungkapnya.
 
Satwa yang menjadi inspirasi dari simbol negara ini, sering dijumpai terbang di cakrawala Gunung Ciremai. Tepatnya pada kawasan peralihan antara daratan dan pegunungan.
 
Dari sejumlah keterangan penduduk setempat yang berhasil dihimpun, elang jawa kerap menampakkan diri pada pagi menjelang siang. Umumnya hewan tersebut bakal mengitari kawasan hutan untuk mencari makan.
 
Kehadirannya, meski sesaat, telah menyiratkan pesan penting kepada manusia tentang kondisi ekosistem alam yang kian rapuh.
 
Pelestarian dan konservasi

Gunung Ciremai, yang secara administratif terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, memiliki luas wilayah mencapai 14.840 hektare.
 
Ancala atau gunung tertinggi di Jawa Barat ini tidak hanya terkenal dengan keindahan lanskap alamnya, tetapi juga karena peran strategisnya yang mampu menampung air dalam jumlah banyak untuk kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Selain menyumbangkan air, Gunung Ciremai memiliki keanekaragaman hayati dan vegetasi tumbuhan yang sangat komplit.
 
Keberadaan Gunung Ciremai dengan peran vitalnya ini mendorong pihak berwenang, yang telah diberikan mandat oleh pemerintah, untuk terus menjaga dan melestarikan ekosistemnya.
 
Salah satu upaya yang dilakukan adalah memastikan keberadaan dan peningkatan populasi spesies prioritas yaitu macan tutul, surili serta elang jawa.
 
Ketiga spesies ini dianggap sebagai kunci dalam menjaga keseimbangan ekosistem, mengingat status mereka yang rentan dan terancam.
 
Elang Jawa di Gunung Ciremai merupakan salah satu predator puncak, yang kini menghadapi ancaman serius dari perburuan liar hingga kerusakan habitat alami.
 
Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Silvia Lucyanti menegaskan bahwa elang jawa merupakan hewan endemik yang statusnya terancam punah. Sehingga upaya pelestarian untuk menjaga populasi spesies ini perlu dilakukan.
 
Upaya pelestarian ini melibatkan berbagai kegiatan, mulai dari pemeliharaan ekosistem untuk menghindari kebakaran, perburuan liar, hingga perambahan hutan.
 
Dalam upaya menjaga populasi elang jawa, sejak 2015, TNGC rutin memantau kondisi ekosistem dengan metode konsentrasi, memetakan home range dan core habitat satwa tersebut.
 
Tim konservasi menggunakan teropong, binokuler, dan kamera untuk memantau sarang dari titik-titik tertentu.
 
Tim TNGC menghitung perjumpaan burung, mengamati pasangan jantan dan betina, serta memantau proses pengeraman telur hingga masa pengasuhan anakan.
 
“Kami melakukan dua kali pengamatan setiap tahun. Hasil pengamatan ini dicatat, kemudian didokumentasikan dan dilaporkan progresnya,” ujar Silvia.
 
Upaya pemulihan kawasan hutan yang terdegradasi juga dilakukan setiap tahun, dengan melibatkan masyarakat sekitar.
 
Penduduk setempat diberdayakan untuk mengembangkan bibit tanaman dan melakukan penanaman, membentuk hubungan emosional yang kuat dengan hutan.
 
Hasilnya, populasi elang jawa di Gunung Ciremai kian terjaga serta menunjukkan bahwa habitatnya masih lestari, dengan satwa mangsa yang tersedia dan tingkat ancaman yang rendah.
 
Balai TNGC mencatat pada 2015, jumlah elang jawa yang terpantau di Gunung Ciremai hanya terpantau sebanyak 15 individu. Namun, berkat upaya konservasi berkelanjutan, populasi spesies ini meningkat menjadi sekitar 40 individu yang tersebar di 12 site monitoring.
 
Dari 40 individu yang ada, terdiri dari 27 dewasa, 12 remaja, dan satu anakan. Angka ini menunjukkan ekosistem hutan di Gunung Ciremai mampu mendukung perkembangbiakan elang jawa tanpa adanya gangguan berarti.
 
Keunikan Elang Jawa 

Di Gunung Ciremai, ditemukan fenomena menarik terkait reproduksi elang jawa. Biasanya, spesies ini berkembang biak setiap dua tahun sekali, tetapi di kawasan ini spesies tersebut cenderung melakukan perkawinan setahun sekali.
 
Selama periode 2018 hingga 2022, hampir setiap tahun ditemukan anakan elang jawa di sarang-sarang yang terpantau seperti di kawasan Cilengkrang, Cipari dan Bantar Agung (Majalengka).
 
Laporan Balai TNGC serta hasil penelitian menyebutkan anakan elang jawa yang lahir setahun sekali biasanya betina, karena proses pengasuhannya lebih cepat dibanding jantan yang membutuhkan waktu lebih lama untuk belajar berburu.
 
Keunikan elang jawa pun bisa terlihat pada pola perkembangbiakannya. Hewan ini dikenal sebagai spesies monogami yang setia pada satu pasangan.
 
Burung dengan kemampuan jelajah yang cukup hebat ini, hanya akan bereproduksi ketika usianya sudah memasuki tiga sampai empat tahun.
 
Menyitir laporan sebuah publikasi ilmiah yang dimuat di laman resmi Institut Pertanian Bogor (IPB), elang jawa kerap memilih pohon kedondong serta pinus sebagai lokasi bersarang dengan titiknya berada di perbatasan kawasan lembah dan perbukitan, serta dekat sumber air atau sungai.
 
Kemudian dari sisi perilaku, elang jawa dapat dipengaruhi oleh kondisi hutan di habitatnya. Apabila hutan dataran rendah rusak, spesies ini bakal pindah ke hutan yang lebih tinggi.
 
Perilaku yang paling umum ditunjukkan elang jawa di habitat alaminya yakni 80,16 persen beristirahat atau bertengger di pepohonan serta 45,88 persen dan sisanya berburu.
 
Membentuk generasi pelestari
 
Keberhasilan TNGC dalam mendukung perkembangbiakan elang jawa menunjukkan pentingnya upaya konservasi yang dilakukan.
 
Pemantauan yang teliti dan perawatan habitat menjadi kunci dalam memastikan spesies ini dapat terus berkembang biak, sehingga elang jawa bisa menjalankan fungsinya sebagai predator puncak yang menjaga keseimbangan ekosistem.
 
Kendati demikian, ancaman terhadap elang jawa tetap ada. Perburuan ilegal masih menjadi masalah serius, terutama karena harga anakan burung ini cukup tinggi di pasar gelap.
 
Selain itu, semakin berkurangnya habitat alami karena alih fungsi kawasan hutan menjadi permukiman penduduk juga menjadi ancaman bagi elang jawa.
 
Sementara upaya konservasi berjalan, pendidikan lingkungan hidup juga mendapatkan perhatian serius, khususnya di Kabupaten Kuningan
 
Pemerintah Kabupaten Kuningan sudah menyiapkan mata pelajaran muatan lokal (mulok) tentang Gunung Ciremai, yang akan diperkenalkan mulai semester genap tahun ajaran 2024/2025.
 
Penjabat (Pj) Bupati Kuningan Iip Hidajat menekankan bahwa kehadiran mulok Ciremai, adalah bentuk dukungan Kabupaten Kuningan terhadap konservasi.
 
Program ini bertujuan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan di kalangan pelajar, khususnya di 80 sekolah penggerak yang terpilih sebagai pilot project.
 
"Salah satu bentuk rasa syukur dan tanggung jawab kita adalah menghadirkan pembelajaran kepada anak cucu kita untuk menjaga lingkungan, terutama Gunung Ciremai," katanya.
 
Pihaknya berharap melalui pembelajaran tentang Ciremai, generasi mendatang dapat merawat dan menjaga Gunung Ciremai dengan sebaik-baiknya.

Baca juga: Artikel - Lamale, perambah bakau yang berubah jadi penebar berkah
 
Memanfaatkan dan merawat Gunung Ciremai sangat penting. Apalagi di kawasan tersebut terdapat sekitar 360 mata air yang digunakan untuk kebutuhan masyarakat luas. 

Baca juga: Artikel - Menyiapkan generasi perawat bumi Wakatobi
 
Di tengah perubahan zaman dan tantangan lingkungan, keberhasilan pelestarian elang jawa di Gunung Ciremai menjadi contoh nyata betapa pentingnya upaya bersama dalam menjaga keseimbangan alam untuk masa depan.






 


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjaga populasi elang jawa, sang penguasa langit di Gunung Ciremai

Pewarta : Fathnur Rohman
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024