Kupang (ANTARA) - Analis yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan, sikap DPR yang akhirnya membatalkan pengesahan UU Pilkada adalah respon pragmatis dan taktis politis untuk meredam amarah rakyat.
"Jika dibaca secara cermat, sikap DPR yang akhirnya membatalkan pengesahan UU Pilkada adalah respon pragmatis dan taktis politis untuk meredam amarah rakyat," kata Bataona di Kupang, Jumat, (23/8) terkait sikap DPR membatalkan pengesahan RUU Pilkada.
Menurut dia, kemarahan rakyat dapat menjadi sebuah turbulensi politik yang bisa menjadi boomerang bagi ekesistensi DPR. Rakyat yang dalam teori demokrasi menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, melawan sikap para wakil mereka yang buta hati terhadap luka demokrasi yang diciptakan rezim Jokowi dan KIM plus.
Pertaruhannya bukan hanya soal marwah lembaga DPR tapi juga negara, perekonomian negara, wibawa lembaga-lembaga tinggi negara, konstitusi dan UUD 45 serta demorkasi itu sendiri.
Karena itu DPR memang ketakutan dan membaca situasi terkini yang sudah hampir chaos dengan adanya tekanan dan amarah rakyat di mana-mana, lalu memutuskan untuk membatalkan proses politik itu dan mengikuti putusan MK.
"Jadi, pembatalan ini ekspresi ketakutan DPR terhadap gelombang protes rakyat yang sangat marah dan kecewa. Ini fenomena kelompok bungkam yang bangkit dan marah lalu menyuarakan pandangan mereka," katanya.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori spiral keheningan atau spiral of silence bahwa rakyat yang selama ini punya opini minoritas, umumnya memilih diam, tapi lama kelamaan, kelompok yang bungkam ini lalu mendapat momentum untuk menyuarakan opini mereka yang sudah lama tidak didengarkan elit.
"Nah, kemarin dan hari ini, fenomena itu terkonfirmasi di mana rakyat dan para akademisi, civil society, kaum buruh, mahasiswa, juga kelas menengah kota yang terdidik, yang selama ini bungkam, akhirnya mendapat momentum untuk bangkit dan melawan kezaliman dan penodaan terhadap konstitusi yang dilakukan para elit, dengan turun ke jalan-jalan melalukan protes hebat," katanya.
"Saya juga membaca secara akademik bahwa pembatalan ini menjadi sebuah bukti bahwa demokrasi kita, dalam dekade ini, dalam beberapa kasus, sudah merepresentasikan praksis demokrasi deliberative, di mana, dalam teori Diskursus dan demokrasi deliberatif Habermas, Kedaulatan rakyat model Rousseau tidak memang bisa diterapkan lagi dalam masyarakat moderen yang kompleks dan terdiferensiasi," kata Bataona.
Kedaulatan rakyat itu, oleh Habermas, diradikalkan ke dalam bentuk "kontrol atas pemerintah melalui opini publik, sehingga tidak harus menunggu pemilu, tapi demokrasi perwakilan plus vitalisasi ruang publik politis.
Di mana, protes yang luar biasa spontan dari publik di media sosial lewat tagar darurat demokrasi juga ribuan rakyat yang turun ke jalan-jalan adalah buah dari vitalisasi ruang publik ini.
Protes di media sosial dan demonstrasi kemarin dan hari ini memastikan kedaulatan rakyat itu, karena rakyat hanya benar-benar berdaulat, jika lembaga-lembaga legislatif, ekesekutif dan yudikatif, tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini, di mana, kemarin dan hari ini, aspirasi dan tekanan opini publik yang luar biasa itu sukses membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada dan pembegalan konstitusi, demikian Mikhael Raja Muda Bataona.
"Jika dibaca secara cermat, sikap DPR yang akhirnya membatalkan pengesahan UU Pilkada adalah respon pragmatis dan taktis politis untuk meredam amarah rakyat," kata Bataona di Kupang, Jumat, (23/8) terkait sikap DPR membatalkan pengesahan RUU Pilkada.
Menurut dia, kemarahan rakyat dapat menjadi sebuah turbulensi politik yang bisa menjadi boomerang bagi ekesistensi DPR. Rakyat yang dalam teori demokrasi menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, melawan sikap para wakil mereka yang buta hati terhadap luka demokrasi yang diciptakan rezim Jokowi dan KIM plus.
Pertaruhannya bukan hanya soal marwah lembaga DPR tapi juga negara, perekonomian negara, wibawa lembaga-lembaga tinggi negara, konstitusi dan UUD 45 serta demorkasi itu sendiri.
Karena itu DPR memang ketakutan dan membaca situasi terkini yang sudah hampir chaos dengan adanya tekanan dan amarah rakyat di mana-mana, lalu memutuskan untuk membatalkan proses politik itu dan mengikuti putusan MK.
"Jadi, pembatalan ini ekspresi ketakutan DPR terhadap gelombang protes rakyat yang sangat marah dan kecewa. Ini fenomena kelompok bungkam yang bangkit dan marah lalu menyuarakan pandangan mereka," katanya.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori spiral keheningan atau spiral of silence bahwa rakyat yang selama ini punya opini minoritas, umumnya memilih diam, tapi lama kelamaan, kelompok yang bungkam ini lalu mendapat momentum untuk menyuarakan opini mereka yang sudah lama tidak didengarkan elit.
"Nah, kemarin dan hari ini, fenomena itu terkonfirmasi di mana rakyat dan para akademisi, civil society, kaum buruh, mahasiswa, juga kelas menengah kota yang terdidik, yang selama ini bungkam, akhirnya mendapat momentum untuk bangkit dan melawan kezaliman dan penodaan terhadap konstitusi yang dilakukan para elit, dengan turun ke jalan-jalan melalukan protes hebat," katanya.
"Saya juga membaca secara akademik bahwa pembatalan ini menjadi sebuah bukti bahwa demokrasi kita, dalam dekade ini, dalam beberapa kasus, sudah merepresentasikan praksis demokrasi deliberative, di mana, dalam teori Diskursus dan demokrasi deliberatif Habermas, Kedaulatan rakyat model Rousseau tidak memang bisa diterapkan lagi dalam masyarakat moderen yang kompleks dan terdiferensiasi," kata Bataona.
Kedaulatan rakyat itu, oleh Habermas, diradikalkan ke dalam bentuk "kontrol atas pemerintah melalui opini publik, sehingga tidak harus menunggu pemilu, tapi demokrasi perwakilan plus vitalisasi ruang publik politis.
Di mana, protes yang luar biasa spontan dari publik di media sosial lewat tagar darurat demokrasi juga ribuan rakyat yang turun ke jalan-jalan adalah buah dari vitalisasi ruang publik ini.
Protes di media sosial dan demonstrasi kemarin dan hari ini memastikan kedaulatan rakyat itu, karena rakyat hanya benar-benar berdaulat, jika lembaga-lembaga legislatif, ekesekutif dan yudikatif, tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini, di mana, kemarin dan hari ini, aspirasi dan tekanan opini publik yang luar biasa itu sukses membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada dan pembegalan konstitusi, demikian Mikhael Raja Muda Bataona.