Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Yohanes Tuba Helan SH.MHum mengatakan, pelayanan publik di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih buruk.
"UU No.25 tahun 2019, tentang pelayanan publik sudah berlaku selama sepuluh tahun, tetapi di NTT pelayanan publik masih buruk," kata mantan Ketua Ombudsman RI NTT-NTB itu di Kupang, Kamis (28/3).
Dia mengemukakan hal itu, pada kegiatan Forum Koordinasi dan Konsultasi (FKK) peningkatan pelayanan publik, percepatan pelaksanaan kepatuhan standar pelayanan publik guna terwujudnya pelayanan publik yang efektif, efisien dan transparan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kegiatan ini diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Yohanes Tuba Helan mengatakan, pelayanan yang masih buruk ini terjadi pada hampir seluruh pemerintahan kabupaten/kota di provinsi berbasis kepulauan itu.
"Saya urus kartu keluarga (KK) pada tahun 2017 tetapi sampai pertengahan 2018 baru keluar. Ini contoh dan masih banyak lain," kata staf pengajar Fakultas Hukum Undana Kupang itu.
Selain itu, di NTT ini ada daerah yang tidak punya angkutan kota. Hanya ada angkutan desa, serta ada kabupaten yang tidak punya air minum dari PDAM.
Di daerah ini, masyarakat mencari sendiri, atau membeli sesuai dengan keinginan penjual. "Ini adalah contoh-contoh konkret pelayanan yang buruk, yang memang kami alami dan melihat sendiri," kata Yohanes Tuba Helan.
Dia menambahkan, dalam survei Ombudsman, kepatuhan pelayanan di Pemerintah Provinsi NTT memang mendapat zona hijau, tetapi itu hanya terjadi pada kantor satu atap pelayanan. Lainnya tidak.
"Artinya, Pemerintah Provinsi NTT belum menunjukkan komitmen yang optimal dalam menjalankan kepatuhan dalam memberikan pelayanan kepada publik," demikian Yohanes Tuba Helan.
Baca juga: Investasi terhambat akibat rendahnya kepatuhan dalam pelayanan
Baca juga: Ombudsman minta penerima rastra tidak dibebankan biaya tambahan
"UU No.25 tahun 2019, tentang pelayanan publik sudah berlaku selama sepuluh tahun, tetapi di NTT pelayanan publik masih buruk," kata mantan Ketua Ombudsman RI NTT-NTB itu di Kupang, Kamis (28/3).
Dia mengemukakan hal itu, pada kegiatan Forum Koordinasi dan Konsultasi (FKK) peningkatan pelayanan publik, percepatan pelaksanaan kepatuhan standar pelayanan publik guna terwujudnya pelayanan publik yang efektif, efisien dan transparan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kegiatan ini diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Yohanes Tuba Helan mengatakan, pelayanan yang masih buruk ini terjadi pada hampir seluruh pemerintahan kabupaten/kota di provinsi berbasis kepulauan itu.
"Saya urus kartu keluarga (KK) pada tahun 2017 tetapi sampai pertengahan 2018 baru keluar. Ini contoh dan masih banyak lain," kata staf pengajar Fakultas Hukum Undana Kupang itu.
Selain itu, di NTT ini ada daerah yang tidak punya angkutan kota. Hanya ada angkutan desa, serta ada kabupaten yang tidak punya air minum dari PDAM.
Di daerah ini, masyarakat mencari sendiri, atau membeli sesuai dengan keinginan penjual. "Ini adalah contoh-contoh konkret pelayanan yang buruk, yang memang kami alami dan melihat sendiri," kata Yohanes Tuba Helan.
Dia menambahkan, dalam survei Ombudsman, kepatuhan pelayanan di Pemerintah Provinsi NTT memang mendapat zona hijau, tetapi itu hanya terjadi pada kantor satu atap pelayanan. Lainnya tidak.
"Artinya, Pemerintah Provinsi NTT belum menunjukkan komitmen yang optimal dalam menjalankan kepatuhan dalam memberikan pelayanan kepada publik," demikian Yohanes Tuba Helan.
Baca juga: Investasi terhambat akibat rendahnya kepatuhan dalam pelayanan
Baca juga: Ombudsman minta penerima rastra tidak dibebankan biaya tambahan