Kupang (Antara NTT) - Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Flores Timur Bernard Beda Keda mengatakan upaya untuk memulihkan kegiatan belajar mengajar (KBM) di daerah konflik antara warga Desa Lewonara dan Lewobunga di Pulau Adonara, sulit untuk diwujudkan.
"Sejak meletusnya perang tanding antara kedua desa di wilayah Kecamatan Adonara Timur itu, kami sudah melakukan koordinasi dengan berbagi pihak untuk mencari solusi agar KBM tetap berjalan, tetapi tetap saja tidak terwujud," katanya ketika dihubungi dari Kupang, Minggu.
Ia mengatakan salah satu solusi yang dicapai adalah mengalihkan ratusan siswa SMA Negeri Adonara Timur ke SMA Surya Mandala dan SMP Katolik Paladyah Waiwerang untuk melangsungkan KBM di dua gedung sekolah tersebut.
"Namun, para orangtua tidak mau melepaskan anaknya ke sekolah, karena situasi di daerah konflik itu terus bergolak. Selain itu, para guru juga tidak mau mengambil risiko di tengah konflik yang terus membara tersebut," kata Beda Keda.
Sementara, siswa SD Inpres Kiwangona, katanya menambahkan, juga terpaksa diliburkan, karena sebagian besar siswanya berasal dari Desa Riangbunga, dimana warganya sedang menghadapi perang tanding dengan warga Desa Lewonara.
"Siswa SD Kiwangona yang berasal dari Desa Lewoloba, juga dilarang orangtuanya masuk sekolah, karena masih terus berlangsungnya perang tanding antara kedua warga desa tersebut dalam memperebutkan tanah ulayat," ujar Beda Keda yang mengaku sedang bertugas di Surabaya, Jawa Timur saat dikonformasi tentang masalah ini.
Ia menambahkan SMA Negeri Adonara Timur yang terletak di Desa Riangbunga, masuk dalam kawasan sengketa sehingga membuat para siswa dan guru tidak berani untuk melakukan KBM di sekolah tersebut, apalagi hampir sebagian rumah penduduk di sekitar sekolah itu sudah dibakar warga Desa Lewonara.
"Situasinya sangat mencekam. Kami sudah berupaya maksimal untuk menyelamatkan anak-anak sekolah, terutama siswa SMA kelas III yang sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional, tetapi tak ada satu orangtua pun yang ikhlas melepaskan anaknya ke sekolah di tengah situasi yang serba tidak menentu itu," katanya.
"Entah sampai kapan, anak-anak sekolah itu diliburkan, saya juga tidak bisa memastikan, apalagi sudah ada korban berjatuhan dari warga Desa Lewonara yang berhak atas tanah ulayat yang ditempati warga Desa Riangbunga saat ini," demikian Bernard Beda Keda.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya juga menyesal terjadinya konflik berdarah di Pulau Adonara tersebut, karena membawa dampak buruk terhadap nasib anak-anak sekolah yang tidak bisa lagi mengikuti KBM menyusul pecahnya perang tanding di antara kedua desa bertetangga itu.
"Saya menyesal, anak-anak sekolah diliburkan. Mereka tidak bisa mengikuti proses belajar mengajar, karena memanasnya perang tanding di wilayah Adonara Timur itu," kata Lebu Raya dalam pertemuan dengan masyarakat Pulau Adonara di Kupang, Jumat (5/10) malam.
Gubernur Lebu Raya berharap agar konflik berdarah di Pulau Adonara yang melibatkan warga Desa Lewonara dan Lewobunga segera berakhir, agar para siswa dan guru kembali melaksanakan KBM seperti sedia kala.
"Saya terus melakukan komunikasi melalui telepon dengan berbagai tokoh agama dan juga tokoh masyarakat di Flores Timur. Saya minta bantuan mereka untuk mencari solusi penyelesaian agar tercipta situasi yang aman dan nyaman bagi masyarakat," katanya.
"Sejak meletusnya perang tanding antara kedua desa di wilayah Kecamatan Adonara Timur itu, kami sudah melakukan koordinasi dengan berbagi pihak untuk mencari solusi agar KBM tetap berjalan, tetapi tetap saja tidak terwujud," katanya ketika dihubungi dari Kupang, Minggu.
Ia mengatakan salah satu solusi yang dicapai adalah mengalihkan ratusan siswa SMA Negeri Adonara Timur ke SMA Surya Mandala dan SMP Katolik Paladyah Waiwerang untuk melangsungkan KBM di dua gedung sekolah tersebut.
"Namun, para orangtua tidak mau melepaskan anaknya ke sekolah, karena situasi di daerah konflik itu terus bergolak. Selain itu, para guru juga tidak mau mengambil risiko di tengah konflik yang terus membara tersebut," kata Beda Keda.
Sementara, siswa SD Inpres Kiwangona, katanya menambahkan, juga terpaksa diliburkan, karena sebagian besar siswanya berasal dari Desa Riangbunga, dimana warganya sedang menghadapi perang tanding dengan warga Desa Lewonara.
"Siswa SD Kiwangona yang berasal dari Desa Lewoloba, juga dilarang orangtuanya masuk sekolah, karena masih terus berlangsungnya perang tanding antara kedua warga desa tersebut dalam memperebutkan tanah ulayat," ujar Beda Keda yang mengaku sedang bertugas di Surabaya, Jawa Timur saat dikonformasi tentang masalah ini.
Ia menambahkan SMA Negeri Adonara Timur yang terletak di Desa Riangbunga, masuk dalam kawasan sengketa sehingga membuat para siswa dan guru tidak berani untuk melakukan KBM di sekolah tersebut, apalagi hampir sebagian rumah penduduk di sekitar sekolah itu sudah dibakar warga Desa Lewonara.
"Situasinya sangat mencekam. Kami sudah berupaya maksimal untuk menyelamatkan anak-anak sekolah, terutama siswa SMA kelas III yang sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional, tetapi tak ada satu orangtua pun yang ikhlas melepaskan anaknya ke sekolah di tengah situasi yang serba tidak menentu itu," katanya.
"Entah sampai kapan, anak-anak sekolah itu diliburkan, saya juga tidak bisa memastikan, apalagi sudah ada korban berjatuhan dari warga Desa Lewonara yang berhak atas tanah ulayat yang ditempati warga Desa Riangbunga saat ini," demikian Bernard Beda Keda.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya juga menyesal terjadinya konflik berdarah di Pulau Adonara tersebut, karena membawa dampak buruk terhadap nasib anak-anak sekolah yang tidak bisa lagi mengikuti KBM menyusul pecahnya perang tanding di antara kedua desa bertetangga itu.
"Saya menyesal, anak-anak sekolah diliburkan. Mereka tidak bisa mengikuti proses belajar mengajar, karena memanasnya perang tanding di wilayah Adonara Timur itu," kata Lebu Raya dalam pertemuan dengan masyarakat Pulau Adonara di Kupang, Jumat (5/10) malam.
Gubernur Lebu Raya berharap agar konflik berdarah di Pulau Adonara yang melibatkan warga Desa Lewonara dan Lewobunga segera berakhir, agar para siswa dan guru kembali melaksanakan KBM seperti sedia kala.
"Saya terus melakukan komunikasi melalui telepon dengan berbagai tokoh agama dan juga tokoh masyarakat di Flores Timur. Saya minta bantuan mereka untuk mencari solusi penyelesaian agar tercipta situasi yang aman dan nyaman bagi masyarakat," katanya.