Kupang (ANTARA) - Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD mengusulkan agar para petugas Kelompok Penyelenggara Pemilu Serentak (KPPS) yang wafat dalam upaya menyukseskan penyelenggaraan pemilu serentak 2019 dinobatkan sebagai Pahlawan Demokrasi.
"Hemat saya sangat tepat jika pemerintah mengambil alih musibah politik ini dengan memberi uang santunan. Mereka yang meninggal harus disebut sebagai Pahlawan Demokrasi oleh karena mereka berkorban demi terus terciptanya alam demokrasi di Indonesia yang sehat dan bertanggungjawab," kata Rohaniawan Katolik itu kepada Antara di Kupang, Jumat (26/4).
Menurut Pater Gregorius, Pemilu 2019 telah meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi bangsa, karena lebih dari 100 orang petugas (KPPS) meninggal, dan sementara itu masih ada ratusan yang menderita sakit penyakit dan sedang dirawat di rumah sakit.
Ia menilai para petugas KPPS dan anggota Polri yang meninggal sudah sewajarnya diberikan penghargaan yang setimpal dengan jasa mereka. "Bayangkan saja, jika tidak ada KPPS tentunya pelaksanaan Pemilu serentak di Indonesia, khususnya di pelosok-pelosok daerah tidak berjalan dengan baik," katanya.
Pater Gregorius menambahkan bahwa petugas KPPS yang sakit dan meninggal juga harus diberikan santunan yang sesuai dengan pengorbanan mereka. "Santunan memang sangat perlu diberikan. Tetapi menurut saya santunan Rp30-36 juta bagi anggota KPPS yang meninggal tidak akan cukup," ujar dia.
Baca juga: Kemenkeu setuju petugas KPPS yang meninggal diberi santunan
Karena hal tersebut berkaitan dengan nyawa orang, dan keluarga yang ditinggalkan akibat meninggal dunia. "Saya setuju jika pelaksanaan Pemilu 2024 tidak lagi terjadi seperti tahun 2019 ini, karena sangat berat dan rumit," ujarnya.
Menurut dia, perlu dilakukan seleksi yang ketak bagi mereka yang akan menjadi anggota KPPS, mulai dari kesehatan fisik dan lainnya, agar bisa bertahan sampai injuri time penghitungan surat suara.
Baca juga: Satu lagi anggota KPPS di Kabupaten Kupang wafat
Baca juga: Lagi-lagi penyelenggara Pemilu di NTT meninggal dunia
"Hemat saya sangat tepat jika pemerintah mengambil alih musibah politik ini dengan memberi uang santunan. Mereka yang meninggal harus disebut sebagai Pahlawan Demokrasi oleh karena mereka berkorban demi terus terciptanya alam demokrasi di Indonesia yang sehat dan bertanggungjawab," kata Rohaniawan Katolik itu kepada Antara di Kupang, Jumat (26/4).
Menurut Pater Gregorius, Pemilu 2019 telah meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi bangsa, karena lebih dari 100 orang petugas (KPPS) meninggal, dan sementara itu masih ada ratusan yang menderita sakit penyakit dan sedang dirawat di rumah sakit.
Ia menilai para petugas KPPS dan anggota Polri yang meninggal sudah sewajarnya diberikan penghargaan yang setimpal dengan jasa mereka. "Bayangkan saja, jika tidak ada KPPS tentunya pelaksanaan Pemilu serentak di Indonesia, khususnya di pelosok-pelosok daerah tidak berjalan dengan baik," katanya.
Pater Gregorius menambahkan bahwa petugas KPPS yang sakit dan meninggal juga harus diberikan santunan yang sesuai dengan pengorbanan mereka. "Santunan memang sangat perlu diberikan. Tetapi menurut saya santunan Rp30-36 juta bagi anggota KPPS yang meninggal tidak akan cukup," ujar dia.
Baca juga: Kemenkeu setuju petugas KPPS yang meninggal diberi santunan
Karena hal tersebut berkaitan dengan nyawa orang, dan keluarga yang ditinggalkan akibat meninggal dunia. "Saya setuju jika pelaksanaan Pemilu 2024 tidak lagi terjadi seperti tahun 2019 ini, karena sangat berat dan rumit," ujarnya.
Menurut dia, perlu dilakukan seleksi yang ketak bagi mereka yang akan menjadi anggota KPPS, mulai dari kesehatan fisik dan lainnya, agar bisa bertahan sampai injuri time penghitungan surat suara.
Baca juga: Satu lagi anggota KPPS di Kabupaten Kupang wafat
Baca juga: Lagi-lagi penyelenggara Pemilu di NTT meninggal dunia