Sumba Barat Daya , NTT (ANTARA) - Sumba Barat Daya, seperti juga wilayah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai tempat yang memiliki budaya seni tenun dengan corak dan warna yang khas.
Dalam keseharian, mudah menemukan perempuan-perempuan yang duduk menenun dengan tekun di beranda rumah mereka, baik untuk kepentingan pribadi maupun sebagai salah satu matapencaharian.
Adalah Lusiana Limono, perempuan asal kota Malang, Jawa Timur yang pada bulan Juli hingga awal September berkesempatan mengulik seni tenun Sumba Barat Daya melalui program Seniman Mengajar 2019, dikirim oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama tiga seniman lain.
“Di Sumba lebih tepat saya melakukan riset dan pendokumentasian seni tenun, bukan mengajar,” kata lulusan seni rupa jurusan Kriya Tekstil dari Institut Kesenian Jakarta ini.
Alhasil selama 40 hari lebih Lusiana keluar masuk kampung di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) untuk menemui para penenun dan mendokumentasikan corak ragam dan proses pembuatan kain tenun, juga anyaman dan kerajinan kulit kayu.
Kabupaten SBD memiliki tiga suku besar yaitu suku Kodi, Wewewa (baca: Wejewa) dan Loura yang masing-masing mempunyai corak tenun yang khas.
Lusiana mencatat ada tiga jenis tenun yaitu tenun ikat atau makete dalam Bahasa setempat, disebut demikian karena dalam proses pembuatannya memakai Teknik ikat seperti yang banyak dijumpai di Flores, Sabu dan beberapa wilayah lain di NTT.
Berikutnya adalah tenun songket yang disebut Lambaleko dan ketiga tenun sulam atau dalam Bahasa setempat disebut humbi/lumbi.
“Ketrampilan menenun dimiliki oleh perempuan Kodi, namun kekerabatan kawin-mawin membuat kemampuan ini berkembang, sehingga sekarang perempuan Loura dan Wewewa juga mahir menenun jenis lambaleko,” kata Lusiana.
Teknik ikat dan sulam dikuasai oleh perempuan Kodi sedangkan perempuan Wewewa dan Loura biasa menenun jenis songket lambaleko.
Pada masa lalu, para penenun memintal sendiri kapas menjadi benang untuk keperluan pembuatan kain tenun dan juga mencelup benang-benang itu dengan pewarna alam dari tumbuhan.
Masuknya benang buatan pabrik yang menyediakan aneka pilihan warna membuat pekerjaan lebih praktis sehingga lambat laun proses memintal benang juga ditinggalkan karena ketersediaan kapas juga semakin langka.
Kain tenun Sumba Barat Daya kebanyakan menggunakan corak ragam mamuli, yaitu simbol kemurnian dan kesuburan juga gambar Uma Kalada atau rumah besar khas bangunan tradisional dengan atap menara.
Gambar-gambar lain misalnya belah ketupat yang melambangkan isi rumah juga garis sulur, titik-titik membentuk komposisi belah ketupat dan bunga enam kelopak yang disebut bunga keris.
Seni tenun di Sumba pada umumnya sangat menarik perhatian, terutama seni tenun Sumba Timur dengan desain motif yang beragam, menggunakan pewarna alami yang sangat kaya.
Banyak orang mengira seluruh tenunan di Sumba adalah seperti yang terdapat di Sumba Timur, namun pada kenyataannya tidaklah demikian.
Tenunan di Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan Sumba Tengah lebih sederhana dan memiliki karakternya masing-masing.
Keunggulan seni tenun Sumba, terlihat di Sumba Timur, karena masih kuat tradisi warna alamnya, dengan motif yang luar biasa pula.
Sedang, untuk Sumba Barat Daya, keunggulannya menggunakan kapas pintal dan pewarna alam masih bisa ditemukan di wilayah Kodi, meskipun hanya motif bergaris ataupun motif ikat yang sederhana.
Seorang wanita Sumba sedang menenun saat berlangsungnya Festival Tenun Ikat Sumba di Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, Kamis (12/7).(ANTARA FOTO/Kornelis Kaha).
Hubungan keluarga
“Melihat motif kain yang terhubung dengan rumah dan isinya, lambing laki-laki dan perempuan, ini menunjukkan bahasa komunikasi yang terselubung bahwa semua aktivitas orang Sumba terpusat pada keluaga,” kata Lusiana.
Dalam kehidupan sehari-hari unsur kekerabatan memegang peran utama, segala peristiwa besar dibicarakan dan diputuskan melalui pembicaraan keluarga.
Kain juga menjadi alat untuk ungkapan sukacita dan duka cita, karena pada peristiwa pernikahan dan kematian, lembar-lembar kain tenun juga menjadi benda yang dipersembahkan pada keluarga yang mengalami peristiwa tersebut.
Para perempuan biasanya mengenakan sarung yang terbuat dari kain tenun yang dijahit bersusun, dilengkapi dengan tabelo yaitu hiasan kepala berbentuk tanduk kerbau, kalung dengan manik-manik anahhida berwarna jingga dengan liontin berbentuk mamuli, juga anting mamuli.
Busana laki-laki berupa kain lebar yang dililitkan di pinggang di bagian luar celana pendek (bukan celana Panjang), serta selempang kain dan ikat kepala yang disebut kapouta dari kain ataupun selendang kulit kayu.
Busana adat ini dipakai untuk acara-acara adat dan sekarang juga ada hari wajib memakai busana adat untuk ke kantor bagi ASN di SBD.
Lusiana menyayangkan minimnya regenerasi seni tenun karena banyak perempuan muda yang tidak meminatinya.
Menipisnya bahan baku alami mulai dari kapas, pewarna indigo (tanaman tarum), akar mengkudu untuk warna jingga, dan lainnya disebabkan oleh tidak ada upaya dari masyarakat dan pemerintah untuk membudidayakan tanaman-tanaman tersebut.
“Ketidakjelian pemerintah melihat potensi ini berimbas pada keengganan penenun mewarisi tradisi dan ketrampilan yang sesungguhnya sangat bernilai, sehingga berakibat pula pada tingginya harga kain tenun tradisional,” ujarnya.
Kondisi tersebut yang semakin memicu pudarnya seni tenun dengan pewarna alam, apabila tidak segera digiatkan kembali.
"Saya berharap kehadiran ahlinya mampu memberikan tambahan pengetahuan kepada para penenun Sumba akan cara membuat ikatan yang rapat agar kain tidak mudah robek," demikian antara lain harapan seorang warga Waitabula, Ana Angela Lele Biri tentang program Seniman Mengajar 2019.
Seorang wanita Sumba sedang menenun dalam Festival Tenun Ikat Sumba yang berlangsung di Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, Kamis (12/7). (ANTARA FOTO/Aloysius Lewokeda)
Seniman Mengajar
“Kegiatan ini memberi saya kesempatan untuk memperkaya khasanah batin, wawasan dan pengetahuan yang berkaitan langsung dengan bidang kerja seni yang saya tekuni,” tutur Lusiana mengenai program dari Direktorat Kesenian dan Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.
Program tersebut membuatnya bisa langsung terjun ke lapangan untuk bertemu dengan narasumber ahli di wilayah yang jauh dari jangkauannya.
Sebab, titik lokasi Seniman Mengajar mengutamakan lokasi 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal), wilayah Terdampak Bencana, dan wilayah Rawan Konflik yang mempunyai potensi seni dan kekayaan budaya yang luar biasa.
Lusiana yang juga terpilih mengikuti program Seniman Mengajar 2018 untuk berkarya di Kabupaten Lembata, Flores Timur menambahkan bahwa sisi yang bisa ditingkatkan adalah menggiatkan pemakaian warna alam untuk tenunan lambaleko, sehingga perlahan akan tercipta pasar dan keunikan tenun Sumba Barat Daya.
“Kehadiran seniman mengajar khususnya untuk tenun ini bisa membantu membuka wawasan dan pengetahuan tentang situasi terkini berikut permasalahannya,” kata Heindrich Dinge, Direktur Radio Komunitas Max FM di kota Waingapu, Sumba Timur yang berkesempatan membuat wawancara da siaran tentang tenun Bersama Lusiana Limono selama satu jam.
"Seniman Mengajar dapat mengumpulkan data primer dan riil di lapangan dan menemukan denyut-denyut kebudayaan yang ada dari seluruh titik yang sulit dijangkau oleh birokrasi," kata Lusiana.
"Pernah menjadi pemenang Concours Des Jeunes Creatures De Mode dan karya saya diperagakan di Paris yang difasilitasi majalah Femina," katanya mengenang.
Pengiriman seniman profesional di bidangnya dalam kegiatan ini sekaligus sebagai pemantik bagi perkembangan seni di daerah, sehingga masing-masing daerah bisa tetap menjaga api semangat yang mungkin muncul setelah kegiatan Seniman Mengajar di daerahnya.
“Saya mau dan suka terlibat karena bisa mengalami langsung geliat seni di masyarakat, yang mana sulit saya alami ketika datang ke suatu tempat untuk berlibur".
"Dengan tinggal di tengah-tengah masyarakat dan komunitas seni, maka denyut kebudayaan bisa saya rasakan secara langsung," katanya.
Dengan program SM ini menjadi sangat memungkinkan bagi para peneliti, pegiat, praktisi seni untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan, kata Lusiana yang dibesarkan di lingkungan pekerja, keluarga penjahit dan tukang kayu dari pihak mama yang keturunan Cina Kanton – Jawa.
Alasannya karena lokasi-lokasi tujuan merupakan tempat yang “seksi” untuk diteliti dan diangkat seni dan budayanya secara nasional.
Dengan akar budaya yang kuat, namun dilupakan, belum dikenal secara luas oleh bangsa sendiri, tetapi lebih dikenal oleh orang asing, lokasi yang kemungkinannya sangat kecil untuk didatangi dengan biaya sendiri, karena jauh, biaya transportasi dan akomodasi yang cukup tinggi.
“Kelanjutan dan harapan saya adalah agar pemerintah melakukan pendampingan yang sangat dibutuhkan oleh sanggar, kelompok tenun, penganyam, dan komunitas serupa untuk terus bergerak. Tidak bisa, komunitas dibiarkan bergerak sendiri tanpa didampingi," kata Lusiana.”
Seorang penenun tenun ikat di Pulau Sumba mempergakan kegiatan menenun dalam festival tenun ikat Sumba yang digelar di Lapangan Pahlawan, Kelurahan Hambala, Kota Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba, Kamis (12/7). (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha).
Dalam keseharian, mudah menemukan perempuan-perempuan yang duduk menenun dengan tekun di beranda rumah mereka, baik untuk kepentingan pribadi maupun sebagai salah satu matapencaharian.
Adalah Lusiana Limono, perempuan asal kota Malang, Jawa Timur yang pada bulan Juli hingga awal September berkesempatan mengulik seni tenun Sumba Barat Daya melalui program Seniman Mengajar 2019, dikirim oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama tiga seniman lain.
“Di Sumba lebih tepat saya melakukan riset dan pendokumentasian seni tenun, bukan mengajar,” kata lulusan seni rupa jurusan Kriya Tekstil dari Institut Kesenian Jakarta ini.
Alhasil selama 40 hari lebih Lusiana keluar masuk kampung di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) untuk menemui para penenun dan mendokumentasikan corak ragam dan proses pembuatan kain tenun, juga anyaman dan kerajinan kulit kayu.
Kabupaten SBD memiliki tiga suku besar yaitu suku Kodi, Wewewa (baca: Wejewa) dan Loura yang masing-masing mempunyai corak tenun yang khas.
Lusiana mencatat ada tiga jenis tenun yaitu tenun ikat atau makete dalam Bahasa setempat, disebut demikian karena dalam proses pembuatannya memakai Teknik ikat seperti yang banyak dijumpai di Flores, Sabu dan beberapa wilayah lain di NTT.
Berikutnya adalah tenun songket yang disebut Lambaleko dan ketiga tenun sulam atau dalam Bahasa setempat disebut humbi/lumbi.
“Ketrampilan menenun dimiliki oleh perempuan Kodi, namun kekerabatan kawin-mawin membuat kemampuan ini berkembang, sehingga sekarang perempuan Loura dan Wewewa juga mahir menenun jenis lambaleko,” kata Lusiana.
Teknik ikat dan sulam dikuasai oleh perempuan Kodi sedangkan perempuan Wewewa dan Loura biasa menenun jenis songket lambaleko.
Pada masa lalu, para penenun memintal sendiri kapas menjadi benang untuk keperluan pembuatan kain tenun dan juga mencelup benang-benang itu dengan pewarna alam dari tumbuhan.
Masuknya benang buatan pabrik yang menyediakan aneka pilihan warna membuat pekerjaan lebih praktis sehingga lambat laun proses memintal benang juga ditinggalkan karena ketersediaan kapas juga semakin langka.
Kain tenun Sumba Barat Daya kebanyakan menggunakan corak ragam mamuli, yaitu simbol kemurnian dan kesuburan juga gambar Uma Kalada atau rumah besar khas bangunan tradisional dengan atap menara.
Gambar-gambar lain misalnya belah ketupat yang melambangkan isi rumah juga garis sulur, titik-titik membentuk komposisi belah ketupat dan bunga enam kelopak yang disebut bunga keris.
Seni tenun di Sumba pada umumnya sangat menarik perhatian, terutama seni tenun Sumba Timur dengan desain motif yang beragam, menggunakan pewarna alami yang sangat kaya.
Banyak orang mengira seluruh tenunan di Sumba adalah seperti yang terdapat di Sumba Timur, namun pada kenyataannya tidaklah demikian.
Tenunan di Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan Sumba Tengah lebih sederhana dan memiliki karakternya masing-masing.
Keunggulan seni tenun Sumba, terlihat di Sumba Timur, karena masih kuat tradisi warna alamnya, dengan motif yang luar biasa pula.
Sedang, untuk Sumba Barat Daya, keunggulannya menggunakan kapas pintal dan pewarna alam masih bisa ditemukan di wilayah Kodi, meskipun hanya motif bergaris ataupun motif ikat yang sederhana.
“Melihat motif kain yang terhubung dengan rumah dan isinya, lambing laki-laki dan perempuan, ini menunjukkan bahasa komunikasi yang terselubung bahwa semua aktivitas orang Sumba terpusat pada keluaga,” kata Lusiana.
Dalam kehidupan sehari-hari unsur kekerabatan memegang peran utama, segala peristiwa besar dibicarakan dan diputuskan melalui pembicaraan keluarga.
Kain juga menjadi alat untuk ungkapan sukacita dan duka cita, karena pada peristiwa pernikahan dan kematian, lembar-lembar kain tenun juga menjadi benda yang dipersembahkan pada keluarga yang mengalami peristiwa tersebut.
Para perempuan biasanya mengenakan sarung yang terbuat dari kain tenun yang dijahit bersusun, dilengkapi dengan tabelo yaitu hiasan kepala berbentuk tanduk kerbau, kalung dengan manik-manik anahhida berwarna jingga dengan liontin berbentuk mamuli, juga anting mamuli.
Busana laki-laki berupa kain lebar yang dililitkan di pinggang di bagian luar celana pendek (bukan celana Panjang), serta selempang kain dan ikat kepala yang disebut kapouta dari kain ataupun selendang kulit kayu.
Busana adat ini dipakai untuk acara-acara adat dan sekarang juga ada hari wajib memakai busana adat untuk ke kantor bagi ASN di SBD.
Lusiana menyayangkan minimnya regenerasi seni tenun karena banyak perempuan muda yang tidak meminatinya.
Menipisnya bahan baku alami mulai dari kapas, pewarna indigo (tanaman tarum), akar mengkudu untuk warna jingga, dan lainnya disebabkan oleh tidak ada upaya dari masyarakat dan pemerintah untuk membudidayakan tanaman-tanaman tersebut.
“Ketidakjelian pemerintah melihat potensi ini berimbas pada keengganan penenun mewarisi tradisi dan ketrampilan yang sesungguhnya sangat bernilai, sehingga berakibat pula pada tingginya harga kain tenun tradisional,” ujarnya.
Kondisi tersebut yang semakin memicu pudarnya seni tenun dengan pewarna alam, apabila tidak segera digiatkan kembali.
"Saya berharap kehadiran ahlinya mampu memberikan tambahan pengetahuan kepada para penenun Sumba akan cara membuat ikatan yang rapat agar kain tidak mudah robek," demikian antara lain harapan seorang warga Waitabula, Ana Angela Lele Biri tentang program Seniman Mengajar 2019.
“Kegiatan ini memberi saya kesempatan untuk memperkaya khasanah batin, wawasan dan pengetahuan yang berkaitan langsung dengan bidang kerja seni yang saya tekuni,” tutur Lusiana mengenai program dari Direktorat Kesenian dan Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.
Program tersebut membuatnya bisa langsung terjun ke lapangan untuk bertemu dengan narasumber ahli di wilayah yang jauh dari jangkauannya.
Sebab, titik lokasi Seniman Mengajar mengutamakan lokasi 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal), wilayah Terdampak Bencana, dan wilayah Rawan Konflik yang mempunyai potensi seni dan kekayaan budaya yang luar biasa.
Lusiana yang juga terpilih mengikuti program Seniman Mengajar 2018 untuk berkarya di Kabupaten Lembata, Flores Timur menambahkan bahwa sisi yang bisa ditingkatkan adalah menggiatkan pemakaian warna alam untuk tenunan lambaleko, sehingga perlahan akan tercipta pasar dan keunikan tenun Sumba Barat Daya.
“Kehadiran seniman mengajar khususnya untuk tenun ini bisa membantu membuka wawasan dan pengetahuan tentang situasi terkini berikut permasalahannya,” kata Heindrich Dinge, Direktur Radio Komunitas Max FM di kota Waingapu, Sumba Timur yang berkesempatan membuat wawancara da siaran tentang tenun Bersama Lusiana Limono selama satu jam.
"Seniman Mengajar dapat mengumpulkan data primer dan riil di lapangan dan menemukan denyut-denyut kebudayaan yang ada dari seluruh titik yang sulit dijangkau oleh birokrasi," kata Lusiana.
"Pernah menjadi pemenang Concours Des Jeunes Creatures De Mode dan karya saya diperagakan di Paris yang difasilitasi majalah Femina," katanya mengenang.
Pengiriman seniman profesional di bidangnya dalam kegiatan ini sekaligus sebagai pemantik bagi perkembangan seni di daerah, sehingga masing-masing daerah bisa tetap menjaga api semangat yang mungkin muncul setelah kegiatan Seniman Mengajar di daerahnya.
“Saya mau dan suka terlibat karena bisa mengalami langsung geliat seni di masyarakat, yang mana sulit saya alami ketika datang ke suatu tempat untuk berlibur".
"Dengan tinggal di tengah-tengah masyarakat dan komunitas seni, maka denyut kebudayaan bisa saya rasakan secara langsung," katanya.
Dengan program SM ini menjadi sangat memungkinkan bagi para peneliti, pegiat, praktisi seni untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan, kata Lusiana yang dibesarkan di lingkungan pekerja, keluarga penjahit dan tukang kayu dari pihak mama yang keturunan Cina Kanton – Jawa.
Alasannya karena lokasi-lokasi tujuan merupakan tempat yang “seksi” untuk diteliti dan diangkat seni dan budayanya secara nasional.
Dengan akar budaya yang kuat, namun dilupakan, belum dikenal secara luas oleh bangsa sendiri, tetapi lebih dikenal oleh orang asing, lokasi yang kemungkinannya sangat kecil untuk didatangi dengan biaya sendiri, karena jauh, biaya transportasi dan akomodasi yang cukup tinggi.
“Kelanjutan dan harapan saya adalah agar pemerintah melakukan pendampingan yang sangat dibutuhkan oleh sanggar, kelompok tenun, penganyam, dan komunitas serupa untuk terus bergerak. Tidak bisa, komunitas dibiarkan bergerak sendiri tanpa didampingi," kata Lusiana.”