Kupang (Antara NTT) - Pengamat politik dari Universitas Muhammadya Kupang Dr Ahmad Atang menilai, sikap pasangan calon yang tidak menggunakan hak untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) patut diapresiasi.
"Saya kira hanya hasil pilkada di Nusa Tenggara Timur saja yang tidak digugat ke MK. Sikap pasangan calon ini merupakan bentuk penghargaan terhadap kedaulatan rakyat dan patut diapresiasi," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Rabu.
Pilkada yang berlangsung serentak di tiga daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, masing-masing Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Kota Kupang sudah selesai sejak pesta demokrasi rakyat itu digelar pada 15 Februari 2017.
Tidak ada satu pasangan calonpun yang menggugat Komisi Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun menurut dia, sikap politik pasangan calon yang kalah bertarung dalam pesta demokrasi lima tahunan itu, bukan bearti bahwa kualitas demokrasi sudah semakin baik, tetapi karena pasangan calon menghargai pilihan rakyat.
Ahmad Atang menjelaskan, gugatan sengketa hasil pilkada merupakan hak pasangan calon yang kalah. Ruang hukum tersebut selalu digunakan oleh pasangan calon yang kalah untuk mencari keadilan.
Hasil pilkada kabupaten/kota di NTT terbetik kabar bahwa pasangan calon yang kalah tidak mengajukan gugatan ke Mahkama Konstitusi.
Keengganan pasangan untuk melakukan gugatan ke MK dapat diduga karena beberapa hal. Pertama, berdasarkan pengalaman bahwa gugatan pasangan calon yang kalah tidak serta merta dikabulkan oleh MK.
Pasangan calon yang kalah harus memiliki bukti yang benar-benar valid. Pada titik ini pasangan calon justru punya kekurangan soal alat bukti.
Kedua, MK telah membatasi pengajuan gugatan sengketa selisih suara hasil pilkada manakala terjadi selisi suara kurang dari dua persen, apabila lebih dari itu maka gugatan akan ditolak.
Dengan begitu, maka pasangan calon yang kalah dengan selisi suara lebih dari dua persen tentu tidak punya ruang hukum. Ketiga, sidang gugatan selalu menguras tenaga, biaya dan waktu.
Jika bersandar pada tiga hal tersebut dengan melihat tidak adanya gugatan ke MK, maka hasil selisih suara Kota Kupang dan Kabupaten Lembata justru melebih dua persen antara pasangan yang kalah dengan pasangan calon menang.
Sedangkan untuk kasus Flores Timur memenuhi syarat untuk digugat selisih suara, namun pasangan calon yang kalah justru menerima hasil Pilkada.
Hal yang sama dengan Kota Kupang, di mana pasangan calon yang kalah secara elegan menerima kekalahan.
Menurut dia, sikap ini menunjukan bahwa pasangan calon menghormati pilihan rakyat. Sikap politik yang demikian telah memberikan pendidikan politik yang baik dalam membangun sebuah budaya politik yang beradab.
"Pasangan calon telah menghargai kedaulatan rakyat di atas segalanya. Sikap ini patut diapresiasi," kata Ahmad Atang.
"Saya kira hanya hasil pilkada di Nusa Tenggara Timur saja yang tidak digugat ke MK. Sikap pasangan calon ini merupakan bentuk penghargaan terhadap kedaulatan rakyat dan patut diapresiasi," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Rabu.
Pilkada yang berlangsung serentak di tiga daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, masing-masing Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Kota Kupang sudah selesai sejak pesta demokrasi rakyat itu digelar pada 15 Februari 2017.
Tidak ada satu pasangan calonpun yang menggugat Komisi Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun menurut dia, sikap politik pasangan calon yang kalah bertarung dalam pesta demokrasi lima tahunan itu, bukan bearti bahwa kualitas demokrasi sudah semakin baik, tetapi karena pasangan calon menghargai pilihan rakyat.
Ahmad Atang menjelaskan, gugatan sengketa hasil pilkada merupakan hak pasangan calon yang kalah. Ruang hukum tersebut selalu digunakan oleh pasangan calon yang kalah untuk mencari keadilan.
Hasil pilkada kabupaten/kota di NTT terbetik kabar bahwa pasangan calon yang kalah tidak mengajukan gugatan ke Mahkama Konstitusi.
Keengganan pasangan untuk melakukan gugatan ke MK dapat diduga karena beberapa hal. Pertama, berdasarkan pengalaman bahwa gugatan pasangan calon yang kalah tidak serta merta dikabulkan oleh MK.
Pasangan calon yang kalah harus memiliki bukti yang benar-benar valid. Pada titik ini pasangan calon justru punya kekurangan soal alat bukti.
Kedua, MK telah membatasi pengajuan gugatan sengketa selisih suara hasil pilkada manakala terjadi selisi suara kurang dari dua persen, apabila lebih dari itu maka gugatan akan ditolak.
Dengan begitu, maka pasangan calon yang kalah dengan selisi suara lebih dari dua persen tentu tidak punya ruang hukum. Ketiga, sidang gugatan selalu menguras tenaga, biaya dan waktu.
Jika bersandar pada tiga hal tersebut dengan melihat tidak adanya gugatan ke MK, maka hasil selisih suara Kota Kupang dan Kabupaten Lembata justru melebih dua persen antara pasangan yang kalah dengan pasangan calon menang.
Sedangkan untuk kasus Flores Timur memenuhi syarat untuk digugat selisih suara, namun pasangan calon yang kalah justru menerima hasil Pilkada.
Hal yang sama dengan Kota Kupang, di mana pasangan calon yang kalah secara elegan menerima kekalahan.
Menurut dia, sikap ini menunjukan bahwa pasangan calon menghormati pilihan rakyat. Sikap politik yang demikian telah memberikan pendidikan politik yang baik dalam membangun sebuah budaya politik yang beradab.
"Pasangan calon telah menghargai kedaulatan rakyat di atas segalanya. Sikap ini patut diapresiasi," kata Ahmad Atang.