Kupang (ANTARA) - Pengesahan Revisi Undang-Undang KPK yang telah dilakukan dalam rapat paripurna DPR dinilai tidak sah oleh pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Johanes Tuba Helan, SH, MHum.
"Alasannya karena rapat pengambilan keputusan tidak memenuhi kuorum yakni hanya 80 anggota DPR yang hadir dari 565 orang," kata Johanes Tuba Helan kepada ANTARA di Kupang, Kamis (19/9) menanggapi pengesahan revisi UU KPK oleh parlemen.
"Menurut saya, secara formal UU yang sudah disahkan itu tidak sah karena rapat pengambilan keputusan tidak memenuhi kuorum," kata mantan Kepala Ombudsman Perakilan NTB-NTT itu.
Mengenai isi dari UU KPK hasil revisi, Tuba Helan berpendapat semuanya melemahkan posisi KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi di negeri ini. "Isi dari UU hasil revisi ini melemahkan KPK, seperti adanya dewan pengawas KPK, izin sadap dan surat pemberhentian penyidikan (SP3)," katanya.
Menurut dia, seharusnya tidak perlu ada dewan pengawas yang bertugas mengawasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sudah diawasi oleh pengadian, yakni dalam proses perkara korupsi yang diputuskan oleh pengadilan.
Baca juga: Benarkah KPK hanya membantu lembaga formal atasi korupsi?
Baca juga: Kata pengamat, tak perlu ada Dewan Pengawas KPK
Begitupun surat pemberhentian penyidikan (SP3), karena dengan tidak adanya SP3, KPK lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, katanya.
Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9).
Pengesahan Undang-Undang KPK ini merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perjalanan revisi ini berjalan sangat singkat karena DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.
Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan. Kemudian, Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR pada 11 September 2019.
Pembahasan berlanjut pada 12 September 2019 saat perwakilan pemerintah membahasnya bersama Badan Legislasi DPR. Hingga kemudian, pimpinan DPR menyetujui pengesahan revisi UU KPK menjadi UU KPK pada rapat paripurna, Selasa (17/9).
Baca juga: Presiden Jokowi tidak setuju dengan DPR terkait RUU KPK
Baca juga: Harapan terhadap Ketua KPK yang baru Irjen Pol Firli Bahuri
"Alasannya karena rapat pengambilan keputusan tidak memenuhi kuorum yakni hanya 80 anggota DPR yang hadir dari 565 orang," kata Johanes Tuba Helan kepada ANTARA di Kupang, Kamis (19/9) menanggapi pengesahan revisi UU KPK oleh parlemen.
"Menurut saya, secara formal UU yang sudah disahkan itu tidak sah karena rapat pengambilan keputusan tidak memenuhi kuorum," kata mantan Kepala Ombudsman Perakilan NTB-NTT itu.
Mengenai isi dari UU KPK hasil revisi, Tuba Helan berpendapat semuanya melemahkan posisi KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi di negeri ini. "Isi dari UU hasil revisi ini melemahkan KPK, seperti adanya dewan pengawas KPK, izin sadap dan surat pemberhentian penyidikan (SP3)," katanya.
Menurut dia, seharusnya tidak perlu ada dewan pengawas yang bertugas mengawasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sudah diawasi oleh pengadian, yakni dalam proses perkara korupsi yang diputuskan oleh pengadilan.
Baca juga: Benarkah KPK hanya membantu lembaga formal atasi korupsi?
Baca juga: Kata pengamat, tak perlu ada Dewan Pengawas KPK
Begitupun surat pemberhentian penyidikan (SP3), karena dengan tidak adanya SP3, KPK lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, katanya.
Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) telah mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9).
Pengesahan Undang-Undang KPK ini merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perjalanan revisi ini berjalan sangat singkat karena DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019.
Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan. Kemudian, Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR pada 11 September 2019.
Pembahasan berlanjut pada 12 September 2019 saat perwakilan pemerintah membahasnya bersama Badan Legislasi DPR. Hingga kemudian, pimpinan DPR menyetujui pengesahan revisi UU KPK menjadi UU KPK pada rapat paripurna, Selasa (17/9).
Baca juga: Presiden Jokowi tidak setuju dengan DPR terkait RUU KPK
Baca juga: Harapan terhadap Ketua KPK yang baru Irjen Pol Firli Bahuri