Kupang (Antara NTT) - Pengamat Pertanian Agribisnis dari Universitas Nusa Cendana Kupang Leta Rafael Levis, mengatakan, perlu disusun rangkaian kebijakan pertanian menyeluruh dalam mengantisipasi kondisi anomali/penyimpangan iklim yang dikhawatirkan berdampak terhadap usaha pertanian lahan kering.
Konkritnya perlu pengembangan sistem deteksi dini anomali iklim berupa prediksi iklim yang meliputi waktu kejadian, lama kejadian, tingkat anomali, potensi dampak terhadap ketersediaan air dan produksi pangan, dan sebaran wilayah rawan, katanya di Kupang, Senin.
Hal itu disampaikan, terkait nasib para petani lahan kering dan antisipasi fenomena iklim ekstrim dari pemerintah daerah setempat.
Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang itu, mengatakan, sistem deteksi dini yang dibangun harus harus mengantisipasi serangan hama penyakit di masa mendatang, yang rentan terjadi selama periode iklim ekstrim.
Ia mengatakan cuaca ekstrim telah berlangsung dalam dua tahun terakhir dan telah berkontribusi terhadap target produksi pangan petani di Nusa Tenggara Timur.
Kemudian, sebagai sektor tumpuan sebagian besar penduduk propinsi ini, maka kebijakan untuk antisipasi penting dilakukan selain sistem deteksi dini.
"Juga perlu prediksi dan pemodelan iklim harus terus dilakukan untuk meningkatkan akurasi dan mengembangkan sistem diseminasi informasi iklim secara cepat dengan jangkuan luas terhadap petani dan berbagai pihak dengan didukung oleh kelembagaan yang kuat," katanya.
Tidak hanya itu, perlu juga mengembangkan, mendesiminasikan dan memfasilitasi petani lewat sekolah lapang iklim atau sekolah lapang pertanian, untuk dapat menerapkan pola dan teknik budidaya yang adaptif di NTT.
Ia memberikan contoh, seperti mengatur pola tanam Padi-Padi-Palawija atau Padi-Palawija-Palawija untuk kasus La Nina dan pola tanam Padi-Palawija atau Palawija-Palawija untuk kasus El Nino.
Perubahan iklim yang semakin dirasakan di wilayah Indonesia seperti kenaikan rata-rata suhu udara, perubahan volume curah hujan dan pola musimannya, musim kering yang lebih lama dan hujan yang semakin lebat serta kenaikan permukaan air laut telah berdampak terhadap aktivitas masyarakat dari waktu ke waktu.
Ia menyebut target produksi jagung pada 2010 sebanyak 846.719 ton atau 21 persen dari total produksi jagung pada 2009 sebanyak 699.145 ton, namun target itu hingga Juni 2011 belum tercapai atau baru 19 persen lebih.
Dia juga menyebut angka tetap produksi 2010 sebesar 653.620 ton pipilan kering. Angka ramalan III 2011 memperkirakan produksi jagung menurun 19,9 persen atau 522.970 ton.
Hal tersebut diakibatkan oleh cuaca ekstrim yang berdampak pada penurunan produktifitas sebesar 20,9 persen yaitu dari 26,71 kw/ha di tahun 2010 menjadi 21,11 kw/ha 2011.
Menurut dia, Pertanian di Nusa Tenggara Timur merupakan sektor andalan masyarakat yang paling rentan terhadap resiko iklim ekstrim.
Pada kondisi sangat ekstrim, La Nina (fenomena basah) menyebabkan kerusakan tanaman akibat banjir dan meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit.
"Fenomena La Nina ini menyebabkan kelembaban dan curah hujan tinggi yang sangat disukai Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)," katanya.
"Pada daerah rawan banjir, kehadiran La Nina menyebabkan gagal panen akibat terendamnya tanaman dan Nusa Tenggara Timur dengan tipe curah hujan `moonsonal` (memiliki satu puncak hujan), tidak luput dari fenomena ini," katanya.
Menurut dia, pengaruh kelebihan air terhadap tanaman akan lebih sensitif pada tanaman muda dibandingkan tanaman dewasa sehingga tingkat kerentanan terhadap La Nina juga tergantung pada saat kejadiannya, apakah anomali iklim terjadi pada fase awal perkembangan tanaman atau pada tahap dewasa.
Ia mengatakan meskipun memiliki sisi negatif, kehadiran La Nina secara keseluruhan berdampak positif bagi sektor pertanian NTT.
Dia menyebut basis data Statistik Departemen Pertanian 2010 menunjukkan peningkatan produktivitas tanaman dan perluasan area panen tercatat setiap kejadian La Nina.
Periode La Nina pada 1998/1999, 2000 dan 2007/2008 menyebabkan rata-rata produktivitas padi meningkat hampir 12 persen, sementara produktivitas jagung mengalami peningkatan hingga 11 persen.
Dia juga menyebut penambahan luas panen yang cukup nyata terjadi pada pertanaman padi yaitu 16 persen.
Hal ini menunjukkan pengaruh positif peningkatan curah hujan, mengingat padi merupakan tanaman pangan dengan kebutuhan irigasi tertinggi.
Konkritnya perlu pengembangan sistem deteksi dini anomali iklim berupa prediksi iklim yang meliputi waktu kejadian, lama kejadian, tingkat anomali, potensi dampak terhadap ketersediaan air dan produksi pangan, dan sebaran wilayah rawan, katanya di Kupang, Senin.
Hal itu disampaikan, terkait nasib para petani lahan kering dan antisipasi fenomena iklim ekstrim dari pemerintah daerah setempat.
Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang itu, mengatakan, sistem deteksi dini yang dibangun harus harus mengantisipasi serangan hama penyakit di masa mendatang, yang rentan terjadi selama periode iklim ekstrim.
Ia mengatakan cuaca ekstrim telah berlangsung dalam dua tahun terakhir dan telah berkontribusi terhadap target produksi pangan petani di Nusa Tenggara Timur.
Kemudian, sebagai sektor tumpuan sebagian besar penduduk propinsi ini, maka kebijakan untuk antisipasi penting dilakukan selain sistem deteksi dini.
"Juga perlu prediksi dan pemodelan iklim harus terus dilakukan untuk meningkatkan akurasi dan mengembangkan sistem diseminasi informasi iklim secara cepat dengan jangkuan luas terhadap petani dan berbagai pihak dengan didukung oleh kelembagaan yang kuat," katanya.
Tidak hanya itu, perlu juga mengembangkan, mendesiminasikan dan memfasilitasi petani lewat sekolah lapang iklim atau sekolah lapang pertanian, untuk dapat menerapkan pola dan teknik budidaya yang adaptif di NTT.
Ia memberikan contoh, seperti mengatur pola tanam Padi-Padi-Palawija atau Padi-Palawija-Palawija untuk kasus La Nina dan pola tanam Padi-Palawija atau Palawija-Palawija untuk kasus El Nino.
Perubahan iklim yang semakin dirasakan di wilayah Indonesia seperti kenaikan rata-rata suhu udara, perubahan volume curah hujan dan pola musimannya, musim kering yang lebih lama dan hujan yang semakin lebat serta kenaikan permukaan air laut telah berdampak terhadap aktivitas masyarakat dari waktu ke waktu.
Ia menyebut target produksi jagung pada 2010 sebanyak 846.719 ton atau 21 persen dari total produksi jagung pada 2009 sebanyak 699.145 ton, namun target itu hingga Juni 2011 belum tercapai atau baru 19 persen lebih.
Dia juga menyebut angka tetap produksi 2010 sebesar 653.620 ton pipilan kering. Angka ramalan III 2011 memperkirakan produksi jagung menurun 19,9 persen atau 522.970 ton.
Hal tersebut diakibatkan oleh cuaca ekstrim yang berdampak pada penurunan produktifitas sebesar 20,9 persen yaitu dari 26,71 kw/ha di tahun 2010 menjadi 21,11 kw/ha 2011.
Menurut dia, Pertanian di Nusa Tenggara Timur merupakan sektor andalan masyarakat yang paling rentan terhadap resiko iklim ekstrim.
Pada kondisi sangat ekstrim, La Nina (fenomena basah) menyebabkan kerusakan tanaman akibat banjir dan meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit.
"Fenomena La Nina ini menyebabkan kelembaban dan curah hujan tinggi yang sangat disukai Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)," katanya.
"Pada daerah rawan banjir, kehadiran La Nina menyebabkan gagal panen akibat terendamnya tanaman dan Nusa Tenggara Timur dengan tipe curah hujan `moonsonal` (memiliki satu puncak hujan), tidak luput dari fenomena ini," katanya.
Menurut dia, pengaruh kelebihan air terhadap tanaman akan lebih sensitif pada tanaman muda dibandingkan tanaman dewasa sehingga tingkat kerentanan terhadap La Nina juga tergantung pada saat kejadiannya, apakah anomali iklim terjadi pada fase awal perkembangan tanaman atau pada tahap dewasa.
Ia mengatakan meskipun memiliki sisi negatif, kehadiran La Nina secara keseluruhan berdampak positif bagi sektor pertanian NTT.
Dia menyebut basis data Statistik Departemen Pertanian 2010 menunjukkan peningkatan produktivitas tanaman dan perluasan area panen tercatat setiap kejadian La Nina.
Periode La Nina pada 1998/1999, 2000 dan 2007/2008 menyebabkan rata-rata produktivitas padi meningkat hampir 12 persen, sementara produktivitas jagung mengalami peningkatan hingga 11 persen.
Dia juga menyebut penambahan luas panen yang cukup nyata terjadi pada pertanaman padi yaitu 16 persen.
Hal ini menunjukkan pengaruh positif peningkatan curah hujan, mengingat padi merupakan tanaman pangan dengan kebutuhan irigasi tertinggi.