Kupang (ANTARA) - Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tubahelan SH.MHum mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan ruang bagi mantan narapidana koruptor ikut mencalonkan diri dalam pilkada adalah putusan yang tidak memberikan rasa keadilan.
"Putusan seperti ini tidak memberikan rasa keadilan, karena pilkada adalah mekanisme seleksi pejabat, dimana calon yang buruk dikesampingkan dan yang baik dipilih," kata Johanes Tubahelan kepada Antara di Kupang, Jumat (13/12).
Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan putusan MK yang membolehkan mantan napi koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
UU tersebut tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-undang.
Baca juga: Apapun putusan MK, kami siap melaksanakan
Salah satu poin yang menjadi putusan MK adalah mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.
Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu menambahkan, pilkada adalah salah satu mekanisme untuk melakukan seleksi terhadap pejabat dan memilih figur yang baik.
"Maka pada tahap pencalonan harus diseleksi memang yakni mantan napi koruptor adalah yang buruk, maka harus dibuang," kata Johanes Tuba Helan.
Dia mengatakan, bayangkan seorang mantan napi koruptor boleh menjadi calon, jika terpilih maka kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian adalah mantan napi koruptor.
"Bagaimana dia bisa membina pegawai negeri sipil sebagai bawahannya, kalau kepala daerahnya adalah mantan narapidana koruptor. Karena itu, putusan MK tersebut sama sekali tidak memberikan rasa keadilan," demikian Johanes Tubahelan.
Baca juga: Kata Ahmad Atang, putusan MK soal eks napi koruptor kontraproduktif
Pemohon gugatan nomor perkara 58/PUU-XVII/2019 Tsamara Armany (tengah) mengikuti sidang dengan agenda pembacaan amar putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/12/2019). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp).
"Putusan seperti ini tidak memberikan rasa keadilan, karena pilkada adalah mekanisme seleksi pejabat, dimana calon yang buruk dikesampingkan dan yang baik dipilih," kata Johanes Tubahelan kepada Antara di Kupang, Jumat (13/12).
Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan putusan MK yang membolehkan mantan napi koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
UU tersebut tentang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-undang.
Baca juga: Apapun putusan MK, kami siap melaksanakan
Salah satu poin yang menjadi putusan MK adalah mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.
Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu menambahkan, pilkada adalah salah satu mekanisme untuk melakukan seleksi terhadap pejabat dan memilih figur yang baik.
"Maka pada tahap pencalonan harus diseleksi memang yakni mantan napi koruptor adalah yang buruk, maka harus dibuang," kata Johanes Tuba Helan.
Dia mengatakan, bayangkan seorang mantan napi koruptor boleh menjadi calon, jika terpilih maka kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian adalah mantan napi koruptor.
"Bagaimana dia bisa membina pegawai negeri sipil sebagai bawahannya, kalau kepala daerahnya adalah mantan narapidana koruptor. Karena itu, putusan MK tersebut sama sekali tidak memberikan rasa keadilan," demikian Johanes Tubahelan.
Baca juga: Kata Ahmad Atang, putusan MK soal eks napi koruptor kontraproduktif