Kupang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur meminta enam kepala keluarga (KK) yang bermukim di kawasan hutan Besipae di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) agar segera keluar dari areal tersebut.
Kepala Badan Pengelola Aset dan Pendapatan Daerah NTT Zet Sony Libing kepada wartawan, di Kupang, Senin (24/2), mengatakan bahwa kurang lebih enam kepala keluarga saat ini menguasai kawasan tersebut.
"Mereka sudah 12 tahun menguasai gedung-gedung yang terletak di hutan Besipae. Gedung-gedung tersebut merupakan pusat pengembangan ternak sapi. Kalau tidak salah sejak tahun 2008 lalu," katanya.
Enam kepala keluarga yang menguasai gedung milik Dinas Peternakan itu, kata dia, menggarap lahan di daerah itu seenaknya tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah provinsi atau Dinas Peternakan NTT.
Lahan seluas 3.700 hektare itu, kata dia, diserahkan oleh Usif atau Raja Nabuasa kepada Pemprov NTT sejak tahun 1982 lalu, dan kini sudah menjadi milik Pemprov NTT.
Sejak diberikan kepada Pemprov NTT, kawasan seluas 3.700 hektare itu kemudian dijadikan sebagai lokasi percontohan intensifikasi peternakan sapi.
Program itu bekerja sama dengan Pemerintah Australia sampai dengan tahun 1986. Namun, usai kerja sama itu selesai, tanah itu tidak dimanfaatkan secara maksimal, sehingga pada akhirnya diambil alih oleh warga sekitar beserta dengan bangunan yang ada di hutan itu. Enam KK itu pun diminta untuk segera meninggalkan kawasan itu.
Pasalnya, sedang direncanakan pada tahun ini akan ditata untuk dijadikan lahan pengembangan peternakan terpadu, pakan ternak, dan laboratorium.
Enam warga yang masih bertahan di gedung tersebut, kata dia, akan melayangkan gugatan ke pengadilan. Namun, kata Libing, hal itu tak akan berhasil karena sertifikat hak pakai yang diberikan kepada pemprov tak bisa digugurkan oleh pengadilan.
Kepala Badan Pengelola Aset dan Pendapatan Daerah NTT Zet Sony Libing kepada wartawan, di Kupang, Senin (24/2), mengatakan bahwa kurang lebih enam kepala keluarga saat ini menguasai kawasan tersebut.
"Mereka sudah 12 tahun menguasai gedung-gedung yang terletak di hutan Besipae. Gedung-gedung tersebut merupakan pusat pengembangan ternak sapi. Kalau tidak salah sejak tahun 2008 lalu," katanya.
Enam kepala keluarga yang menguasai gedung milik Dinas Peternakan itu, kata dia, menggarap lahan di daerah itu seenaknya tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah provinsi atau Dinas Peternakan NTT.
Lahan seluas 3.700 hektare itu, kata dia, diserahkan oleh Usif atau Raja Nabuasa kepada Pemprov NTT sejak tahun 1982 lalu, dan kini sudah menjadi milik Pemprov NTT.
Sejak diberikan kepada Pemprov NTT, kawasan seluas 3.700 hektare itu kemudian dijadikan sebagai lokasi percontohan intensifikasi peternakan sapi.
Program itu bekerja sama dengan Pemerintah Australia sampai dengan tahun 1986. Namun, usai kerja sama itu selesai, tanah itu tidak dimanfaatkan secara maksimal, sehingga pada akhirnya diambil alih oleh warga sekitar beserta dengan bangunan yang ada di hutan itu. Enam KK itu pun diminta untuk segera meninggalkan kawasan itu.
Pasalnya, sedang direncanakan pada tahun ini akan ditata untuk dijadikan lahan pengembangan peternakan terpadu, pakan ternak, dan laboratorium.
Enam warga yang masih bertahan di gedung tersebut, kata dia, akan melayangkan gugatan ke pengadilan. Namun, kata Libing, hal itu tak akan berhasil karena sertifikat hak pakai yang diberikan kepada pemprov tak bisa digugurkan oleh pengadilan.