Kupang (Antara NTT) - WWF Indonesia sangat bergembira karena mendapatkan populasi hiu di perairan Flores Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT) terjaga dengan baik, bahkan cenderung meningkat.
"Pada setiap spot penyelaman ada sebanyak hampir 35 kali kami mendapatkan lintasan hiu. Pada penyelaman saat pendataan ekologi tahun 2014 silam di spot sama di perairan Flores Timur hanya sekitar 15 kali lintasan saja," kata Koordinator Monitoring Biota Laut WWF Indonesia di Kupang Khaifin, Sabtu.
Menurut dia, fakta itu menujuk bahwa ekosistem dan populasi hiu yang dalam 10 tahun terakhir terganggu oleh upaya penangkapan dan penjualan ke luar negarei telah kembali dirawat dan dijaga ketat.
Pemerintah Kabupaten Flores Timur dinilai sudah mampu mengeluarkan regulasi pembatasan dan pelarangan penangkapan ikan hiu yang biasa diperdagangkan siripnya ke luar negeri.
"Kami memberikan apresiasi itu dan diharap akan terus diawasi dan ditegakkan sehingga populasi hiu di perairan Flores Timur dan sekitarnya tetap terjaga," katanya.
Karena jenis hiu menjadi salah satu bagian dari rangkaian rantai makanan ekologi kehidupan di lauit, maka penting bagi semua pihak menjaga dan merawat populasinya sehingga tidak musnah.
WWF Indonesia bersama Yayasan Reef Check bersama sejumlah lembaga terkait lakukan pendataan ekologi di 73 titik dalam kawasan maupun di luar kawasan konservasi perairan Alor dan Flores Timur dalam ekspedisi konservasi yang digelarnya.
Sebanyak 73 titik itu meliputi kawasan Pulau Alor, Pantar, Lembata, Adonara, Solor serta sebagian Folres bagian timur.
WWF Indonesia secara kelembagaan menggandeng sejumlah lembaga melakukan ekspedisi konservasi di perairan konservasi Alor dan Perairan Flores Timur untuk memastikan kondisi dan status ekologi serta ekosistem terumbu karang di perairan tersebut.
Betapa pentingnya kegiatan itu maka WWF Indonesia menetapkan 73 titik yang menjadi sasaran penelitian dalam ekspedisi tersebut.
Dengan demikian maka akan diharap menemukan hasil dari sejumlah dampak konservasi di dua kawasan itu terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.
WWF Indonesia melibatkan sejumlah pihak untuk bergabung dalam tim ekspedisi itu antara lain, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Timur, DKP Kabupaten Alor, DKP Kabupaten Flores Timur, Universitas Muhammadyah Kupang, dan University Consortium for Sustainable Fisheries (UNICONSUFISH) Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Menurut Khaifin, tim saat ini masih melakukan perampungan hasil kegiatan untuk selanjutnya dipublikasi untuk kepentingan perhatian bersama semua masyarakat terkait kondisi bawah air di kawasan perairan itu.
"Yang kami sebut soal kondisi populasi hiu itu merupakan laporan kasat mata dan tentu ini telah memberi petunjuk yang positif terkait populasi hiu yang ada di perairan itu," katanya.
Dia menjelaskan, kawasan konservasi perairan banyak digunakan sebagai alat pengelolaan wilayah perairan di seluruh dunia, tetapi banyak variasi dalam capaian ekologinya.
Pada 16 Juni 2015, Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Alor ditetapkan seluas 276.693,38 hektare dengan nama Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan laut sekitarnya. Penetapan kawasan konservasi itu dilakukan berdasar Kepmen KP No.35/2015.
Sementara itu, pada Juni 2013, KKPD Flores Timur seluas 150.000 hektare resmi dicadangkan dengan nama SAP Flores Timur, melalui SK Bupati Flores Timur No 4/2013.
Dikatakannya, dua kawasan tersebut dikenal memiliki kekayaan hayati perikanan yang tinggi dan banyak dimanfaatkan untuk wisata bahari.
Hal ini sering kali menarik banyak nelayan dari luar kawasan untuk mengeksploitasi, sehingga tekanan pada sumber daya alam semakin tinggi.
Menurut dia, menetapkan kawasan konservasi perairan tidak mudah. Hal sama juga berlaku kepada upaya pengelolaannya yang harus benar, sehingga bermanfaat, efektif, dan efisien.
"Setelah ditetapkan perlu dipastikan ada langkah-langkah pengelolaan yang efektif, salah satunya adalah melakukan pemantauan berkala untuk mengukur kondisi biofisik, khususnya pada terumbu karang sebagai aset utama alam," katanya.
Disebutkannya dengan ekspedisi ini akan diperoleh data kondisi terumbu karang dan ekologi yang akan membantu memastikan kedua kawasan konservasi perairan dapat bermanfaat secara ekologis, kemudian memberi manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat.
Dia menambahkan, dari total sembilan kawasan konservasi perairan yang ada di provinsi berbasis kepulauan itu, tiga diantaranya masih berstatus dicadangkan.
Di 2017 ini, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menargetkan ditetapkannya dua kawasan konservasi, yaitu SAP Flores Timur dan KKPD Teluk Maumere.
"Hasil evaluasi dampak ekologi dari ekspedisi ini, akan digunakan untuk menyusun program dan rencana pengelolaan serta zonasi kawasan," katanya.
"Pada setiap spot penyelaman ada sebanyak hampir 35 kali kami mendapatkan lintasan hiu. Pada penyelaman saat pendataan ekologi tahun 2014 silam di spot sama di perairan Flores Timur hanya sekitar 15 kali lintasan saja," kata Koordinator Monitoring Biota Laut WWF Indonesia di Kupang Khaifin, Sabtu.
Menurut dia, fakta itu menujuk bahwa ekosistem dan populasi hiu yang dalam 10 tahun terakhir terganggu oleh upaya penangkapan dan penjualan ke luar negarei telah kembali dirawat dan dijaga ketat.
Pemerintah Kabupaten Flores Timur dinilai sudah mampu mengeluarkan regulasi pembatasan dan pelarangan penangkapan ikan hiu yang biasa diperdagangkan siripnya ke luar negeri.
"Kami memberikan apresiasi itu dan diharap akan terus diawasi dan ditegakkan sehingga populasi hiu di perairan Flores Timur dan sekitarnya tetap terjaga," katanya.
Karena jenis hiu menjadi salah satu bagian dari rangkaian rantai makanan ekologi kehidupan di lauit, maka penting bagi semua pihak menjaga dan merawat populasinya sehingga tidak musnah.
WWF Indonesia bersama Yayasan Reef Check bersama sejumlah lembaga terkait lakukan pendataan ekologi di 73 titik dalam kawasan maupun di luar kawasan konservasi perairan Alor dan Flores Timur dalam ekspedisi konservasi yang digelarnya.
Sebanyak 73 titik itu meliputi kawasan Pulau Alor, Pantar, Lembata, Adonara, Solor serta sebagian Folres bagian timur.
WWF Indonesia secara kelembagaan menggandeng sejumlah lembaga melakukan ekspedisi konservasi di perairan konservasi Alor dan Perairan Flores Timur untuk memastikan kondisi dan status ekologi serta ekosistem terumbu karang di perairan tersebut.
Betapa pentingnya kegiatan itu maka WWF Indonesia menetapkan 73 titik yang menjadi sasaran penelitian dalam ekspedisi tersebut.
Dengan demikian maka akan diharap menemukan hasil dari sejumlah dampak konservasi di dua kawasan itu terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.
WWF Indonesia melibatkan sejumlah pihak untuk bergabung dalam tim ekspedisi itu antara lain, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Timur, DKP Kabupaten Alor, DKP Kabupaten Flores Timur, Universitas Muhammadyah Kupang, dan University Consortium for Sustainable Fisheries (UNICONSUFISH) Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Menurut Khaifin, tim saat ini masih melakukan perampungan hasil kegiatan untuk selanjutnya dipublikasi untuk kepentingan perhatian bersama semua masyarakat terkait kondisi bawah air di kawasan perairan itu.
"Yang kami sebut soal kondisi populasi hiu itu merupakan laporan kasat mata dan tentu ini telah memberi petunjuk yang positif terkait populasi hiu yang ada di perairan itu," katanya.
Dia menjelaskan, kawasan konservasi perairan banyak digunakan sebagai alat pengelolaan wilayah perairan di seluruh dunia, tetapi banyak variasi dalam capaian ekologinya.
Pada 16 Juni 2015, Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Alor ditetapkan seluas 276.693,38 hektare dengan nama Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan laut sekitarnya. Penetapan kawasan konservasi itu dilakukan berdasar Kepmen KP No.35/2015.
Sementara itu, pada Juni 2013, KKPD Flores Timur seluas 150.000 hektare resmi dicadangkan dengan nama SAP Flores Timur, melalui SK Bupati Flores Timur No 4/2013.
Dikatakannya, dua kawasan tersebut dikenal memiliki kekayaan hayati perikanan yang tinggi dan banyak dimanfaatkan untuk wisata bahari.
Hal ini sering kali menarik banyak nelayan dari luar kawasan untuk mengeksploitasi, sehingga tekanan pada sumber daya alam semakin tinggi.
Menurut dia, menetapkan kawasan konservasi perairan tidak mudah. Hal sama juga berlaku kepada upaya pengelolaannya yang harus benar, sehingga bermanfaat, efektif, dan efisien.
"Setelah ditetapkan perlu dipastikan ada langkah-langkah pengelolaan yang efektif, salah satunya adalah melakukan pemantauan berkala untuk mengukur kondisi biofisik, khususnya pada terumbu karang sebagai aset utama alam," katanya.
Disebutkannya dengan ekspedisi ini akan diperoleh data kondisi terumbu karang dan ekologi yang akan membantu memastikan kedua kawasan konservasi perairan dapat bermanfaat secara ekologis, kemudian memberi manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat.
Dia menambahkan, dari total sembilan kawasan konservasi perairan yang ada di provinsi berbasis kepulauan itu, tiga diantaranya masih berstatus dicadangkan.
Di 2017 ini, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur menargetkan ditetapkannya dua kawasan konservasi, yaitu SAP Flores Timur dan KKPD Teluk Maumere.
"Hasil evaluasi dampak ekologi dari ekspedisi ini, akan digunakan untuk menyusun program dan rencana pengelolaan serta zonasi kawasan," katanya.