Kupang (ANTARA) - Sejumlah petani rumput laut di Oesina, Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang mengeluhkan budidaya rumput laut mereka terserang penyakit semenjak perusahaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Timor 1 membangun jembatan tak jauh dari lokasi budidaya rumput laut.
Epsan Lette (40) seorang petani rumput laut yang ditemui di pesisir pantai Oesina, Desa Lifuleo, Minggu, (21/6) mengatakan pembangunan jembatan yang letaknya sekitar 1 kilometer dari lokasi budidaya itu tak hanya membuat rumput laut mereka rusak tetapi juga bibit rumput laut juga ikut terserang penyakit.
"Debu dari jembatan yang sedang dibangun oleh PLTU itu jatuh ke laut, kemudian terbawa arus menuju ke tempat budidaya rumput laut kami, sehingga banyak yang terkena penyakit, bahkan bibitnya juga ikut rusak," katanya.
Baca juga: Harga rumput laut di Kupang anjlok hingga Rp20 ribu perkilogram
Baca juga: Sumba Timur dorong petani terus budidayakan rumput laut
Epsan yang juga kepala dusun di daerah itu mengatakan, untuk menjaga agar rumput laut tetap mempunyai nilai jual, para petani desa itu lebih cepat panen.
"Biasanya sekali sebulan kita panen, tetapi semenjak ada banyak sekali rumput laut kami yang kena penyakit maka proses panennya terjadi lebih cepat yakni di minggu ke tiga dalam bulan," ujar dia.
Menurut dia, memang setiap kali membudidayakan rumput laut selalu ada hama, namun kali ini berbeda karena rumput laut yang sudah dipanen justru dipenuhi oleh debu-debu yang dibawa dari lokasi pembuatan jembatan.
Beberapa warga di desa itu kata dia sebenarnya sudah sempat mengeluhkan kasus itu, dan juga sudah ada respon baik dari pihak PLTU untuk melihat langsung rumput laut yang ada di dekat pabrik itu.
"Bulan Mei kemarin beberapa perwakilan dari PLTU sempat datang untuk mengambil sampel rumput laut yang terkena penyakit itu, namun sampai saat ini kami tidak tahu hasilnya," tutur dia.
Yoram petani rumput laut yang ditemui di tempat yang sama juga mengaku dengan rusaknya bibit rumput laut di pesisir pantai Oesina itu, membuat mereka harus mencari bibit baru agar bisa kembali membudidayakan.
"Tetapi kalau masih ada pembangunan jembatan itu dan debunya masih ada tentu saja kami tak akan bisa lagi menanamnya," ujar dia.
Dia mengaku hampir seluruh warga di desa Oesina berprofesi sebagai petani rumput laut secara turun temurun. Dari hasil jual rumput laut mereka bisa menyekolahkan dan menguliahkan anak-anak mereka.
"Kita harap ada solusi untuk ini. Karena sejak Mei kemarin sampai dengan saat ini belum ada lagi jalan keluar soal masalah ini," tambah dia.
Baca juga: Produksi rumput laut ditargetkan 2,3 juta ton
Pewarta ANTARA berusaha menghubungi pihak yang bertanggung jawab atas keluhan sejumlah petani rumput laut itu, namun sampai dengan berita ini diturunkan belum pihak PLTU belum bisa dihubungi.
Epsan Lette (40) seorang petani rumput laut yang ditemui di pesisir pantai Oesina, Desa Lifuleo, Minggu, (21/6) mengatakan pembangunan jembatan yang letaknya sekitar 1 kilometer dari lokasi budidaya itu tak hanya membuat rumput laut mereka rusak tetapi juga bibit rumput laut juga ikut terserang penyakit.
"Debu dari jembatan yang sedang dibangun oleh PLTU itu jatuh ke laut, kemudian terbawa arus menuju ke tempat budidaya rumput laut kami, sehingga banyak yang terkena penyakit, bahkan bibitnya juga ikut rusak," katanya.
Baca juga: Harga rumput laut di Kupang anjlok hingga Rp20 ribu perkilogram
Baca juga: Sumba Timur dorong petani terus budidayakan rumput laut
Epsan yang juga kepala dusun di daerah itu mengatakan, untuk menjaga agar rumput laut tetap mempunyai nilai jual, para petani desa itu lebih cepat panen.
"Biasanya sekali sebulan kita panen, tetapi semenjak ada banyak sekali rumput laut kami yang kena penyakit maka proses panennya terjadi lebih cepat yakni di minggu ke tiga dalam bulan," ujar dia.
Menurut dia, memang setiap kali membudidayakan rumput laut selalu ada hama, namun kali ini berbeda karena rumput laut yang sudah dipanen justru dipenuhi oleh debu-debu yang dibawa dari lokasi pembuatan jembatan.
Beberapa warga di desa itu kata dia sebenarnya sudah sempat mengeluhkan kasus itu, dan juga sudah ada respon baik dari pihak PLTU untuk melihat langsung rumput laut yang ada di dekat pabrik itu.
"Bulan Mei kemarin beberapa perwakilan dari PLTU sempat datang untuk mengambil sampel rumput laut yang terkena penyakit itu, namun sampai saat ini kami tidak tahu hasilnya," tutur dia.
Yoram petani rumput laut yang ditemui di tempat yang sama juga mengaku dengan rusaknya bibit rumput laut di pesisir pantai Oesina itu, membuat mereka harus mencari bibit baru agar bisa kembali membudidayakan.
"Tetapi kalau masih ada pembangunan jembatan itu dan debunya masih ada tentu saja kami tak akan bisa lagi menanamnya," ujar dia.
Dia mengaku hampir seluruh warga di desa Oesina berprofesi sebagai petani rumput laut secara turun temurun. Dari hasil jual rumput laut mereka bisa menyekolahkan dan menguliahkan anak-anak mereka.
"Kita harap ada solusi untuk ini. Karena sejak Mei kemarin sampai dengan saat ini belum ada lagi jalan keluar soal masalah ini," tambah dia.
Baca juga: Produksi rumput laut ditargetkan 2,3 juta ton
Pewarta ANTARA berusaha menghubungi pihak yang bertanggung jawab atas keluhan sejumlah petani rumput laut itu, namun sampai dengan berita ini diturunkan belum pihak PLTU belum bisa dihubungi.