Kupang (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa praktik " kawin tangkap" seperti di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, merupakan tindak kekerasan seksual, yaitu pemaksaan perkawinan.
"Oleh sebab itu hal ini melanggar hukum, karena memang korban dalam hal ini perempuan itu dirampas kebebasannya," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat dihubungi ANTARA dari Kupang, Kamis, (25/6).
Hal ini disampaikannya berkaitan dengan kembali terjadinya praktik kawin tangkap di Pulau Sumba yang videonya menyebar melalui sejumlah media sosial provinsi berbasis kepulauan itu.
Baca juga: Ketua DPRD NTT: Praktik kawin tangkap di Sumba harus dihentikan
Praktik kawin tangkap sendiri bagi masyarakat di Sumba, khususnya di daerah pedalaman dianggap sebagai budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun.
Siti mengatakan bahwa Komnas Perempuan sendiri mengenali bahwa perempuan korban kekerasan seksual tentu saja mengalami kerugian hak konstitusionalnya.
Hal tersebut tertuang dalam (Pasal 28G Ayat 1), yaitu hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B Ayat 1), terutama hak atas rasa aman dan untuk tidak takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya
Kemudian juga tertuang dalam pada pasal 10 Ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Siti menambahkan bahwa para pelaku kawin tangkap itu sendiri bisa dipidana hingga sembilan tahun penjara, sementara untuk perampasan kemerdekaan pelaku dapat diancam dengan pidana hingga 12 tahun penjara.
Baca juga: Antropolog sebut kawin tangkap di Sumba hanyalah tindakan pragmatis
Sebagai tindakan melawan hukum, sesuai Pasal 332 Ayat 2 KUHP, pelaku kawin tangkap ini dapat dipidana hingga sembilan tahun penjara. Sementara untuk perampasan kemerdekaan, sesuai pasal 333, pelaku diancam dengan pidana hingga 12 tahun penjara. "Hal ini tertuang dalam pasal 332 ayat 2 KUHP dan pasal 333 KUHP," ujar dia.
Ia juga mengatakan bahwa secara konstitusi negara menjamin hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Namun, dari kajian mengenai praktik-praktik budaya Komnas Perempuan mengenali bahwa seringkali adat atau tradisi dijadikan alasan pembenaran atas tindakan kekerasan terhadap perempuan.
"Upaya pembenaran tersebut menyembunyikan kontradiksi, penyelewengan ataupun pergeseran nilai-nilai luhur adat dan tradisi yang sejatinya memuliakan perempuan," katanya.
Baca juga: "Kawin tangkap" di Sumba timbulkan rasa takut bagi perempuan
Upaya untuk memperbaiki penyimpangan ini kerap dibenturkan sebagai tindakan melawan adat dan tradisi sehingga menghalangi langkah bersama untuk mengembalikan kearifan lokal yang menghadirkan perlindungan sejati bagi tiap-tiap anggota komunitas, termasuk perempuan, yang rentan diskriminasi dan kekerasan, tambahnya.
"Oleh sebab itu hal ini melanggar hukum, karena memang korban dalam hal ini perempuan itu dirampas kebebasannya," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat dihubungi ANTARA dari Kupang, Kamis, (25/6).
Hal ini disampaikannya berkaitan dengan kembali terjadinya praktik kawin tangkap di Pulau Sumba yang videonya menyebar melalui sejumlah media sosial provinsi berbasis kepulauan itu.
Baca juga: Ketua DPRD NTT: Praktik kawin tangkap di Sumba harus dihentikan
Praktik kawin tangkap sendiri bagi masyarakat di Sumba, khususnya di daerah pedalaman dianggap sebagai budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun.
Siti mengatakan bahwa Komnas Perempuan sendiri mengenali bahwa perempuan korban kekerasan seksual tentu saja mengalami kerugian hak konstitusionalnya.
Hal tersebut tertuang dalam (Pasal 28G Ayat 1), yaitu hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B Ayat 1), terutama hak atas rasa aman dan untuk tidak takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya
Kemudian juga tertuang dalam pada pasal 10 Ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Siti menambahkan bahwa para pelaku kawin tangkap itu sendiri bisa dipidana hingga sembilan tahun penjara, sementara untuk perampasan kemerdekaan pelaku dapat diancam dengan pidana hingga 12 tahun penjara.
Baca juga: Antropolog sebut kawin tangkap di Sumba hanyalah tindakan pragmatis
Sebagai tindakan melawan hukum, sesuai Pasal 332 Ayat 2 KUHP, pelaku kawin tangkap ini dapat dipidana hingga sembilan tahun penjara. Sementara untuk perampasan kemerdekaan, sesuai pasal 333, pelaku diancam dengan pidana hingga 12 tahun penjara. "Hal ini tertuang dalam pasal 332 ayat 2 KUHP dan pasal 333 KUHP," ujar dia.
Ia juga mengatakan bahwa secara konstitusi negara menjamin hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional. Namun, dari kajian mengenai praktik-praktik budaya Komnas Perempuan mengenali bahwa seringkali adat atau tradisi dijadikan alasan pembenaran atas tindakan kekerasan terhadap perempuan.
"Upaya pembenaran tersebut menyembunyikan kontradiksi, penyelewengan ataupun pergeseran nilai-nilai luhur adat dan tradisi yang sejatinya memuliakan perempuan," katanya.
Baca juga: "Kawin tangkap" di Sumba timbulkan rasa takut bagi perempuan
Upaya untuk memperbaiki penyimpangan ini kerap dibenturkan sebagai tindakan melawan adat dan tradisi sehingga menghalangi langkah bersama untuk mengembalikan kearifan lokal yang menghadirkan perlindungan sejati bagi tiap-tiap anggota komunitas, termasuk perempuan, yang rentan diskriminasi dan kekerasan, tambahnya.