Kupang (Antara NTT) - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi berpendapat usulan persyaratan calon presiden 20-25 persen sesungguhnya untuk memperkuat legitimasi politik.
"Ambang batas 20-25 persen ini tidak lain agar bangsa ini bisa mendapatkan figur pemimpin yang mumpuni dengan legitimasih politik yang kuat," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Rabu, terkait ambang batas pencalonan presiden.
Persoalan yang krusial dalam pembahasan undang-undang pemilu, salah satunya adalah masalah ambang batas partai atau gabungan partai dalam mengusulkan calon presiden pada Pilpres 2019.
Pemerintah mengusulkan ambang batas 20 hingga 25 persen partai atau gabungan partai yang berhak mengajukan pasangan calon presiden, tetapi sebagian fraksi di DPR menghendaki tidak perlu ada ambang batas.
Menurut dia, jika menggunakan ambang batas partai politik atau gabungan partai politik 20-25 persen dalam mengusulkan calon presiden, maka pemimpin yang dihasilkan dalam Pemilu Presiden 2019 mendapat dukungan kuat di parlemen.
"Artinya, secara otomatis akan menguatkan sistem presidensial di Indonesia, selain menguatkan posisi presiden terpilih dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan karena mendapat dukungan mayoritas parlemen sebagai pemegang hak bugdet, katanya.
Nilai positif lain adalah memungkinkan terbentuknya pemerintahan minoritas sangat kecil karena presiden terpilih harus mempertimbangkan masukan dari partai-partai pendukung pemerintahan.
Hanya saja, menurut dia, menjadi tidak rasional jika ambang batas partai politik atau gabungan parpol mengusungkan calon presiden ditentukan hari ini, tetapi DPR belum terpilih.
Artinya, katanya, di sini terjadi kerancuan berpikir pemerintah dan DPR jika memaksakan kehendak dengan ambang batas yang saat ini sedang dibahas bersama di parlemen.
Dia menambahkan jika pemerintah menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai dasar penetapan ambang batas juga tidak relevan karena kekuatan politik telah terbelah sehingga dikhawatirkan akan lahir calon tunggal.
"Karena itu, katanya, pemerintah harus buka diri dan berpikir lebih moderat agar tidak terjadi jalan buntu," kata Ahmad Atang yang juga staf pengajar ilmu komunikasi politik pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Nusa Cendana itu.
Perkembangan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, dijadwalkan ada hasil tim perumus pada 6-8 Juli sebelum diambil keputusan pada 10 Juli 2017 tentang lima hal yang masih menjadi isu krusial.
Lima hal itu adalah soal ambang batas perolehan kursi parlemen, ambang batas pencalonan preiden, sistem pemilu, daerah pemilihan, dan konversi suara ke kursi parlemen.
"Ambang batas 20-25 persen ini tidak lain agar bangsa ini bisa mendapatkan figur pemimpin yang mumpuni dengan legitimasih politik yang kuat," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Rabu, terkait ambang batas pencalonan presiden.
Persoalan yang krusial dalam pembahasan undang-undang pemilu, salah satunya adalah masalah ambang batas partai atau gabungan partai dalam mengusulkan calon presiden pada Pilpres 2019.
Pemerintah mengusulkan ambang batas 20 hingga 25 persen partai atau gabungan partai yang berhak mengajukan pasangan calon presiden, tetapi sebagian fraksi di DPR menghendaki tidak perlu ada ambang batas.
Menurut dia, jika menggunakan ambang batas partai politik atau gabungan partai politik 20-25 persen dalam mengusulkan calon presiden, maka pemimpin yang dihasilkan dalam Pemilu Presiden 2019 mendapat dukungan kuat di parlemen.
"Artinya, secara otomatis akan menguatkan sistem presidensial di Indonesia, selain menguatkan posisi presiden terpilih dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan karena mendapat dukungan mayoritas parlemen sebagai pemegang hak bugdet, katanya.
Nilai positif lain adalah memungkinkan terbentuknya pemerintahan minoritas sangat kecil karena presiden terpilih harus mempertimbangkan masukan dari partai-partai pendukung pemerintahan.
Hanya saja, menurut dia, menjadi tidak rasional jika ambang batas partai politik atau gabungan parpol mengusungkan calon presiden ditentukan hari ini, tetapi DPR belum terpilih.
Artinya, katanya, di sini terjadi kerancuan berpikir pemerintah dan DPR jika memaksakan kehendak dengan ambang batas yang saat ini sedang dibahas bersama di parlemen.
Dia menambahkan jika pemerintah menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai dasar penetapan ambang batas juga tidak relevan karena kekuatan politik telah terbelah sehingga dikhawatirkan akan lahir calon tunggal.
"Karena itu, katanya, pemerintah harus buka diri dan berpikir lebih moderat agar tidak terjadi jalan buntu," kata Ahmad Atang yang juga staf pengajar ilmu komunikasi politik pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Nusa Cendana itu.
Perkembangan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, dijadwalkan ada hasil tim perumus pada 6-8 Juli sebelum diambil keputusan pada 10 Juli 2017 tentang lima hal yang masih menjadi isu krusial.
Lima hal itu adalah soal ambang batas perolehan kursi parlemen, ambang batas pencalonan preiden, sistem pemilu, daerah pemilihan, dan konversi suara ke kursi parlemen.