Kupang (ANTARA) - Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak 2020, sudah pernah mengalami penundaan dari jadwal semula pada 29 September 2020 menjadi 9 Desember 2020 karena alasan pandemi COVID-19.
Kini muncul lagi gagasan untuk menunda pesta demokrasi lima tahunan bagi rakyat untuk menentukan nasib wilayahnya itu, dengan alasan dapat menjadi titik baru penyebaran COVID-19.
Bahkan survei menunjukkan bahwa publik meminta agar Pilkada Serentak 2020 ditunda, karena khawatir kerumunan massa dalam Pilkada akan menciptakan klaster baru COVID-19.
Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto mengatakan, temuan survei menunjukkan publik lebih memilih opsi Pilkada Serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen responden.
Pilkada 2020 digelar di 270 daerah, mencakup 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Setidaknya ada 738 pasangan calon yang bakal berlaga memperebutkan posisi kepala daerah pada 9 Desember 2020.
"Bisa dibayangkan luasnya daerah yang menggelar pilkada dan banyaknya kontestan yang akan beradu merebut suara pemilih di tiap daerah," ujar Dendik Rulianto.
Perpendek tahapan
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang mengatakan, tahapan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 dapat diperpendek, jika situasinya dianggap membahayakan warga masyarakat.
"Proses dan tahapan pilkada bisa diperpendek menjadi pilihan dalam situasi emergensi saat ini," kata Ahmad Atang.
Menurut dia, pelaksanaan pilkada di tengah pendemi COVID-19 bagaikan buah simalakama.
Di satu sisi tidak ada yang bisa menjamin kapan COVID-19 akan berakhir sehingga nasib pilkada menjadi tidak menentu.
Sebaliknya di sisi yang lain tidak ada yang bisa menjamin bahwa pelaksanaan pilkada akan membebaskan masyarakat dari ancaman COVID-19.
Oleh karena itu, opsi yang dipilih pemerintah dan DPR untuk melaksanakan pilkada tanggal 9 Desember mendatang hanya memberi kepastian terhadap kekuasaan lokal.
Sementara trend penyebaran COVID-19 hari-hari ini secara nasional meningkat signifikan, termasuk di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Prinsipnya, jika memang dianggap sebagai situasi yang membahayakan warga masyarakat, maka wacana penundaan pilkada perlu dikaji untuk memastikan keselamatan masyarakat, kata Ahmad Atang.
Akan tetapi jika pilkada tetap berlangsung sesuai agenda dan tahapan yang telah ditetapkan, maka perlu diperketat pemberlakuan protokol kesehatan.
Pemerintah dan penyelenggara harus merumuskan mekanisme yang menjamin proses demokrasi berjalan secara baik tanpa resiko.
"Kita masih punya waktu dua bulan sambil memantau penyebaran COVID dan merumuskan langkah antisipasi, jika memamg pilkada tetap jalan pada bulan desember mendatang," katanya menambahkan.
Terlalu generalis
Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mihkael Raja Muda Bataona mengatakan, apabila ide penundaan Pilkada adalah demi menghentikan penyebaran COVID-19 maka bagi saya argumentasinya sangat lemah.
Mengapa, karena gagasan tersebut tidak terkonstruksi secara kuat, dengan basis penelitian empirik.
Menurut Pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang itu, ide penundaan Pilkada 2020 dengan alasan kenaikan tren penularan COVID-19 terlalu generalis dan menggampangkan persoalan.
"Urusan bernegara, apalagi menyangkut nasib banyak orang di ratusan kabupaten/kota yang harus menentukan nasib wilayahnya, bukanlah urusan yang gampang dan sederhana," katanya.
Dia juga mempertanyakan apakah sudah ada bukti bahwa Pilkada 2020 ini terbukti menjadi pusat penyebaran COVID-19.
"Proses politik dengan melibatkan sekian banyak pihak dengan menelan biaya yang tidak kecil, tidak boleh disederhanakan seperti kita menunda sebuah pesta pernikahan di kampung," katanya.
Ketaatan masyarakat
Hal yang paling penting menurut dia adalah bagaimana KPU dan seluruh pihak melakukan mitigasi terkait ancaman penyebaran COVID-19 ini.
KPU harus melakukan mitigasi dalam tahapan-tahapan berikutnya, yang berpotensi adanya pengumpulan massa yang dilakukan oleh para peserta Pilkada.
Semua proses perlu diperketat dengan menaati protokol kesehatan. Itu intinya.
"Melakukan simulasi-simulasi awal tentang bagaimna kegiatan yang melibatkan banyak orang tetapi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan," katanya.
Semuanya perlu diantisipasi dari sekarang sebelum dilakukan oleh para calon dan pihak penyelenggara.
"Jadi masalah utamanya adalah soal ketaatan masyarakat pada protokol kesehatan, dan bukan pada pilkadanya, karena tanpa pilkada pun kasus COVID melonjak," katanya.
Artinya, tanpa Pilkada pun COVID-19 akan tetap ada dan bisa menyebar ketika warga tidak patuh pada protokol kesehatan. Bukan menunggu saat hari kampanye dan pencoblosan pilkada.
"Jadi terbukti ide menunda Pilkada gara-gara COVID-19 melonjak bukanlah argumentasi yang kuat. Itu sebuah argumentasi yang lemah," tambah pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.
Karena itu, bangsa ini harus belajar untuk tertib dalam menalar dan menganalisis setiap soal besar yang berkaitan dengan kepentingan umum.
"Kita tidak boleh terbiasa berbicara sekedar logis saja tanpa basis teori dan data empirik yang kuat. Sesuatu yang logis itu kan tidak selamanya benar. Banyak hal logis yang justru salah," katanya.
Jika Pilkada harus ditunda lagi, maka nasib Pilkada 2020 bisa jadi tidak menentu karena tidak ada yang bisa menjamin kapan COVID-19 akan berakhir.
Bisa dibayangkan pula bagaimana psikologi pemilih, bagaimana psikologi para calon? bagaimana eksesnya secara ekonomi pada pertumbuhan ekonomi di semua daerah yang akan melaksanakan pilkada?.
Bukankah uang yang berputar selama berlangsung proses Pilkada 2020 akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat?.
Semuanya perlu dipikirkan, sebab kita tidak bisa menjadi manusia supra historis yang menembus ruang dan waktu untuk memastikan masa depan.
Kini muncul lagi gagasan untuk menunda pesta demokrasi lima tahunan bagi rakyat untuk menentukan nasib wilayahnya itu, dengan alasan dapat menjadi titik baru penyebaran COVID-19.
Bahkan survei menunjukkan bahwa publik meminta agar Pilkada Serentak 2020 ditunda, karena khawatir kerumunan massa dalam Pilkada akan menciptakan klaster baru COVID-19.
Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto mengatakan, temuan survei menunjukkan publik lebih memilih opsi Pilkada Serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen responden.
Pilkada 2020 digelar di 270 daerah, mencakup 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Setidaknya ada 738 pasangan calon yang bakal berlaga memperebutkan posisi kepala daerah pada 9 Desember 2020.
"Bisa dibayangkan luasnya daerah yang menggelar pilkada dan banyaknya kontestan yang akan beradu merebut suara pemilih di tiap daerah," ujar Dendik Rulianto.
Perpendek tahapan
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang mengatakan, tahapan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 dapat diperpendek, jika situasinya dianggap membahayakan warga masyarakat.
"Proses dan tahapan pilkada bisa diperpendek menjadi pilihan dalam situasi emergensi saat ini," kata Ahmad Atang.
Menurut dia, pelaksanaan pilkada di tengah pendemi COVID-19 bagaikan buah simalakama.
Di satu sisi tidak ada yang bisa menjamin kapan COVID-19 akan berakhir sehingga nasib pilkada menjadi tidak menentu.
Sebaliknya di sisi yang lain tidak ada yang bisa menjamin bahwa pelaksanaan pilkada akan membebaskan masyarakat dari ancaman COVID-19.
Oleh karena itu, opsi yang dipilih pemerintah dan DPR untuk melaksanakan pilkada tanggal 9 Desember mendatang hanya memberi kepastian terhadap kekuasaan lokal.
Sementara trend penyebaran COVID-19 hari-hari ini secara nasional meningkat signifikan, termasuk di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Prinsipnya, jika memang dianggap sebagai situasi yang membahayakan warga masyarakat, maka wacana penundaan pilkada perlu dikaji untuk memastikan keselamatan masyarakat, kata Ahmad Atang.
Akan tetapi jika pilkada tetap berlangsung sesuai agenda dan tahapan yang telah ditetapkan, maka perlu diperketat pemberlakuan protokol kesehatan.
Pemerintah dan penyelenggara harus merumuskan mekanisme yang menjamin proses demokrasi berjalan secara baik tanpa resiko.
"Kita masih punya waktu dua bulan sambil memantau penyebaran COVID dan merumuskan langkah antisipasi, jika memamg pilkada tetap jalan pada bulan desember mendatang," katanya menambahkan.
Terlalu generalis
Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mihkael Raja Muda Bataona mengatakan, apabila ide penundaan Pilkada adalah demi menghentikan penyebaran COVID-19 maka bagi saya argumentasinya sangat lemah.
Mengapa, karena gagasan tersebut tidak terkonstruksi secara kuat, dengan basis penelitian empirik.
Menurut Pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang itu, ide penundaan Pilkada 2020 dengan alasan kenaikan tren penularan COVID-19 terlalu generalis dan menggampangkan persoalan.
"Urusan bernegara, apalagi menyangkut nasib banyak orang di ratusan kabupaten/kota yang harus menentukan nasib wilayahnya, bukanlah urusan yang gampang dan sederhana," katanya.
Dia juga mempertanyakan apakah sudah ada bukti bahwa Pilkada 2020 ini terbukti menjadi pusat penyebaran COVID-19.
"Proses politik dengan melibatkan sekian banyak pihak dengan menelan biaya yang tidak kecil, tidak boleh disederhanakan seperti kita menunda sebuah pesta pernikahan di kampung," katanya.
Ketaatan masyarakat
Hal yang paling penting menurut dia adalah bagaimana KPU dan seluruh pihak melakukan mitigasi terkait ancaman penyebaran COVID-19 ini.
KPU harus melakukan mitigasi dalam tahapan-tahapan berikutnya, yang berpotensi adanya pengumpulan massa yang dilakukan oleh para peserta Pilkada.
Semua proses perlu diperketat dengan menaati protokol kesehatan. Itu intinya.
"Melakukan simulasi-simulasi awal tentang bagaimna kegiatan yang melibatkan banyak orang tetapi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan," katanya.
Semuanya perlu diantisipasi dari sekarang sebelum dilakukan oleh para calon dan pihak penyelenggara.
"Jadi masalah utamanya adalah soal ketaatan masyarakat pada protokol kesehatan, dan bukan pada pilkadanya, karena tanpa pilkada pun kasus COVID melonjak," katanya.
Artinya, tanpa Pilkada pun COVID-19 akan tetap ada dan bisa menyebar ketika warga tidak patuh pada protokol kesehatan. Bukan menunggu saat hari kampanye dan pencoblosan pilkada.
"Jadi terbukti ide menunda Pilkada gara-gara COVID-19 melonjak bukanlah argumentasi yang kuat. Itu sebuah argumentasi yang lemah," tambah pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu.
Karena itu, bangsa ini harus belajar untuk tertib dalam menalar dan menganalisis setiap soal besar yang berkaitan dengan kepentingan umum.
"Kita tidak boleh terbiasa berbicara sekedar logis saja tanpa basis teori dan data empirik yang kuat. Sesuatu yang logis itu kan tidak selamanya benar. Banyak hal logis yang justru salah," katanya.
Jika Pilkada harus ditunda lagi, maka nasib Pilkada 2020 bisa jadi tidak menentu karena tidak ada yang bisa menjamin kapan COVID-19 akan berakhir.
Bisa dibayangkan pula bagaimana psikologi pemilih, bagaimana psikologi para calon? bagaimana eksesnya secara ekonomi pada pertumbuhan ekonomi di semua daerah yang akan melaksanakan pilkada?.
Bukankah uang yang berputar selama berlangsung proses Pilkada 2020 akan berpengaruh pada ekonomi masyarakat?.
Semuanya perlu dipikirkan, sebab kita tidak bisa menjadi manusia supra historis yang menembus ruang dan waktu untuk memastikan masa depan.